05 - About Promises

54 9 4
                                    

Alice berusia 19 tahun

Alice berjalan di koridor lantai satu milik kampusnya. Ia hendak pergi menuju kantin fakultasnya sembari menunggu Karina yang masih berada di kelasnya. Kantin tidak terlalu ramai. Kebanyakan mahasiswa berada di taman fakultas atau berada di kantin fakultas sebelah yang terdapat banyak cowok-cowok ganteng.

Alice memesan satu nasi goreng dan memandang ke arah taman. Tatapan nya tertuju kepada Bagas yang sedang bercanda gurau bersama teman-temannya. Pandangan mereka bertemu. Bagas tersenyum manis padanya. Alice membalas tidak kalah manis pula. Bagas kemudian memutuskan pandangan mereka dan kembali bercanda bersama teman-temannya. Alice terbatuk. Alice pun menitipkan barangnya sebentar kepada kepala kantin dan pergi menuju kamar mandi yang tidak jauh dari kantin.

Alice merasa sesak. Pernafasannya terhambat. Alice berusaha mengambil udara sebanyak yang ia bisa. Alice mencengkeram kuat dinding wastafel toilet kamar mandi. Alice terbatuk-batuk dan mengeluarkan kelopak bunga Anyelir putih. Alice hanya dapat tersenyum tipis. Alice mengambil kelopak bunga tersebut dan menyimpannya kemudian, Ia kembali ke kantin. Bahkan saat Bagas tersenyum kepadanya saja, sudah memberi efek baginya.

Di kantin, sudah ada Karina yang menunggunya dengan sedikit perasaan khawatir. "Ga usah khawatir gitu lah, Rin," ucap Alice yang sudah duduk di depan Karina.
"Lo sih! Gimana gue ga khawatir coba kalo lo makin kesakitan kaya gini!" seru Karina. Alice hanya dapat tertawa melihat Karina. "Udah udah. Ayo makan. Gue laper banget. Daritadi nungguin lo udah lumutan gue." Alice menyantap Nasi Goreng yang sudah berada di meja itu sedari tadi. Karina hanya dapat menahan kekesalan nya terhadap Alice yang selalu berpura-pura tegar.

"Oh iya, lo udah 19 tahun kan. Lo ingat kan apa yang harus lo lakuin?" ingat Karina pelan. Alice yang hendak menyuapkan nasi goreng ke dalam mulutnya, berhenti seketika. Alice selalu mengingat janji ini setiap Ia berulang tahun dan bertambah umur. Alice pun menganggukkan kepalanya. Alice menghela nafas panjang. Benar-benar berat rasanya.

Alice kembali ke rumah. "Alice pulang!" seru Alice. Terlihat Mama Alice datang dan memberi pelukan. "Akhirnya kamu pulang. Ayo makan dulu. Papa udah nungguin di meja makan sama kakak kamu," ucap Mama Alice. Alice hanya tersenyum. Alice pun menuruti Mama nya meski  Sebenarnya Ia sudah makan di kampus. Alice duduk di depan kakak nya, Bryan, yang sebentar lagi akan mendapat gelar sarjana.

"Gimana kuliahnya tadi?" tanya Papa Alice. "Baik kok, Pa," jawab Alice sambil tersenyum. Papa Alice hanya menganggukkan kepala pertanda mengerti. Seketika, suasana menjadi hening. Hanya ada suara dentingan sendok dan piring. Alice mengumpulkan semua keberaniannya hingga akhirnya...

"Alice mau bicara serius." Alice membuka suara. "Bicara saja, Nak," ucap Mama Alice. Alice menghela nafas panjang.

"Alice terkena hanahaki disease. Alice ga mau jelasin sama Papa, Mama sama Kakak juga ini itu penyakit apa. Sebaiknya, kalian mencari tahu sendiri. Jika sudah tahu, kalian dapat berbicara dengan Alice. Maaf," ungkap Alice dengan cepat. Alice pun mengambil tas nya dan pergi ke kamarnya. Ia mengunci pintu. Alice menangis. Cukup sulit baginya untuk mengungkapkan apa yang Ia pendam selama ini. Alice sebenarnya memilih untuk membawa pergi segala penderitaannya sendiri selama ini, daripada harus memberitahu orang-orang terdekatnya tentang apa yang Ia rasakan dan alami sejak lama.
Alice menatap jendela kamar nya. Tepatnya, menatap kamar Bagas. "Kenapa gue harus jatuh cinta sama lo sih, Gas?" gumam Alice pelan.

Tiba-tiba, jendela kamar Bagas terbuka. Alice dengan cepat, menutup jendela kamarnya. Pokoknya, gue harus cegah kebun bunga yang tumbuh di paru-paru gue. Makin lama, makin sesak rasanya tiap liat lo, Bagas, batin Alice.

Setelah beberapa jam kemudian, pintu kamar Alice diketuk. Alice yang berada di tempat tidur, merasa ragu untuk membuka pintu itu. Pintu di ketuk lagi. Alice pun beranjak dari tempat tidurnya dan membuka pintu kamarnya dengan pelan. Tanpa aba-aba, Mama langsung memeluk Alice. Alice diam. Bibirnya terasa kelu untuk mengucapkan sepatah-dua kata. Bryan dan Papa nya hanya dapat melihat Alice dengan mata berkaca-kaca.

"Sejak kapan, nak?" tanya Mama yang masih setia dengan tangisnya. Saat ini, mereka berkumpul di kamar Alice. "Sejak dari umur 14 tahun, Ma," jawab Alice yang hampir berbisik. "5 tahun Papa sama Mama tidak tahu bahwa kamu mengalaminya. Orang tua macam apa aku?!" Mama semakin menangis. Menyalahkan dirinya sebagai orang tua yang paling buruk di dunia. Papa hanya dapat terdiam. Tidak mengucapkan apa-apa. Bryan saja hanya dapat menunduk dan tidak berani menatap Alice. Alice ingin sekali menyuruh Bryan mengangkat wajahnya, menatap dirinya dan tidak terlalu menyalahkan diri karena Ia tidak berguna menjaga adiknya sendiri.

Alice meraih tangan Mamanya. Mengusapnya pelan dan penuh dengan kasih sayang. "Ma, di sini itu, Alice yang salah. Mama jangan terlalu menyalahkan diri. Begitu juga dengan Papa dan Kakak. Segala sesuatu yang Alice rasakan dan alami itu, murni dari Alice sendiri. Papa, Mama dan Kakak, sudah melakukan yang terbaik untuk menjaga Alice dan merawat Alice. Alice yang salah karena harus memilih jalan ini. Jangan terlalu menyalahkan diri ya," ungkap Alice dengan mata yang berkaca-kaca. Alice bahkan masih sempat tersenyum manis kepada mereka.

"Bukannya ada cara untuk mencegah atau menghilangkan penyakit ini?" Bryan angkat bicara. Alice tersenyum dan menganggukkan kepalanya. "Namun, ada 2 cara untuk menghilangkan penyakit ini. Pertama, orang yang Alice cintai, harus mencintai Alice kembali. Atau istilahnya, Ia harus membalas perasaan Alice. Dan yang kedua, dapat dilakukan operasi pengangkatan penyakit ini. Tetapi, seluruh perasaan Alice padanya akan hilang tepat setelah kebun bunga ini diangkat dari paru-paru Alice," jawab Alice.

"Dan kamu tidak mungkin memilih yang kedua. Aku tahu Alice bagaimana pikiranmu," sahut Bryan. Alice hanya menatap Bryan.
"Tetapi kenapa nak, kenapa kamu tidak ingin menjalankan operasi?" tanya Papa.

"Menghilangkan perasaan Alice yang tulus padanya itu, rasanya sebuah ketidakadilan tersendiri bagi Alice. Sulit untuk melepas perasaan yang sudah Aku tanam dalam-dalam di hati Aku. Ketika memilih untuk melepaskan dan menghilangkan perasaan itu, ada suatu ketidakrelaan tersendiri. Dan hal itu akhirnya menyisakan kehampaan di hati kita. Kalau Papa, Mama sama Kak Bryan tanya Alice pengen dioperasi, Alice sebenarnya mau. Pengennn banget. Tapi, karena alasan yang Alice jelasin tadi yang membuat Alice mengurungkan niat," jawab Alice panjang. Papa, Mama dan Bryan mengerti. Mama, Papa dan Bryan langsung memeluk Alice saat itu juga.

"Siapa orang yang membuat kamu seperti ini, nak? Biar Papa, Mama sama Kakak mu ini tahu," ujar Mama. Alice terdiam. Ia memandang jendela kamar Bagas sebentar, dan dengan jujur menjawab, "Bagas, Ma." Mama dan Papa terkejut. "Apa Bagas sudah memiliki pacar?" tanya Mama kepada Bryan. Bryan menganggukkan kepalanya pertanda iya. Mama terkejut lagi. "Pilihan pertama juga tidak akan memungkinkan lagi...." lirih Mama. Alice hanya dapat terdiam untuk ke sekian kalinya. Entah kenapa, Alice lebih menyukai diam untuk sekarang.

"Untuk itu, Mama, Papa dan Kakak, harus belajar untuk melepaskan dan merelakan Alice jika saat itu sudah datang, ya.... Alice mohon...." lirih Alice. Berat bagi Alice untuk mengatakan nya tetapi, Alice tidak memiliki pilihan. Katakan saja bahwa Alice bodoh. Ya, Alice tidak akan menyangkal hal itu. Namun, siapa yang akan rela kehilangan seluruh perasaan yang tulus kepada orang yang dicintai dalam sekejap? Bahkan manusia saja lebih memilih mengorbankan dirinya sendiri daripada perasaannya.

Mama, Papa dan Bryan hanya dapat terdiam. Mama pun beranjak pergi dari kamar Alice secara buru-buru, diikuti oleh Papa dan Bryan. Bryan sempat melirik Alice sebentar dan tersenyum tipis. Alice tersenyum juga. Pintu ditutup. Alice terdiam saat ini. Alice meyakinkan diri bahwa ini adalah hal terbaik yang Ia bisa. Ia sudah melakukan hal yang benar.

Untuk beberapa saat, rumah terasa sepi. Tidak ada yang berani membuka suara sedikit pun. Alice mengerti bahwa mereka tidak bisa menerima kenyataan. Bukan tidak tetapi, belum.

Hanahaki Byou 🥀Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang