CINTA PERTAMAKU

3 0 0
                                    

Aya POP

Cinta pertama? Banyak orang yang ingin sekali bisa merasakannya. Katanya, cinta pertama itu susah dilupakan.  Seseorang merasa sangat beruntung jika bisa merasakan indahnya cinta pertama. Apalagi jika cinta pertamanya itu sekaligus menjadi cinta terakhirnya. Tapi, kurasa itu hanya ada dalam novel-novel romantis yang tentunya bersifat fiksi saja.

Tentang cinta pertama, aku sudah menemukannya. Dia adalah sosok pahlawan tak berkuda dalam hidupku. Orang yang selalu mencurahkan kasih sayangnya tanpa pamrih kepadaku. Orang yang rela mengorbankan jiwanya demiku. Orang yang menangkapku saat aku terjatuh ketika kaki ini belajar melangkah. Tangan kekarnya yang selalu mengenggam tangan mungil ini dan memastikannya agar selalu berada dalam jalan-Nya. Dia adalah sosok laki-laki yang sering ku panggil Abi. Seperti kata sebuah pepatah, Ayah adalah cinta pertama bagi anak perempuannya.  Ya, abiku adalah cinta pertamaku.

"Abi, ini tehnya di minum dulu, mumpung masih angat." Aku membuat secangkir teh hijau kesukaan abi.

Abi kurang menyukai kopi, namun lebih menyukai teh. Selain manfaatnya yang sangat luar biasa untuk imun tubuh, teh juga mempunyai sejarah yang sangat panjang dan unik. Konon katanya, dulu teh itu minuman kaum bangsawan saja.

"Kamu akan merasakan sesuatu yang luar biasa ketika meminum teh ini, kalau kamu tau legendanya." Ucap Abi kepadaku di suatu sore sambil menyaksikan matahari terbenam. Abi pun menceritakan sejarah panjang tradisi meminum teh di dunia hingga di Indonesia. Tapi kali ini aku tidak akan menceritakan sejarah teh karena terlalu panjang. Bisa-bisa satu buku ini tidak cukup untuk menjelaskannya.

Mendengarkan kisah dari Abi sudah menjadi hobiku. Aku bisa mengenal dunia luas hanya dari lisan Abi. Abi belum pernah merasakan bangku SMA apalagi perguruan tinggi. Abi hanya menyelesaikan pendidikan formalnya hingga SMP. Sebenarnya saat itu abi ingin melanjutkan ke SMA, namun kedua orang tua abi tidak mempunyai cukup uang untuk membiayai sekolah abi. Karena itu, abi memutuskan untuk masuk ke sebuah pesantren yang biayanya cukup terjangkau. Sambil pesantren, abi juga membantu orang tuanya mengurus ladang. Tapi, itu semua tidak menghalangi semangat abi untuk mempelajari ilmu umum. Abi sering menyempatkan waktu untuk membaca buku-buku umum yang dibelinya di toko buku bekas secara otodidak. Maka dari itu, tak heran jika abi mengetahui banyak hal tentang dunia luas.

"Terima kasih, nak." Ucap Abi kepadaku. Sedetik kemudian Abi menyeruput teh nya.

Di keluarga kecilku, aku sering di panggil 'teteh'. Panggilan yang berarti 'kakak' dalam Bahasa Sunda. Tepatnya setelah adikku lahir. Aku emang orang USA, alias Urang Sunda Asli. Dari jalur abi maupun umi, sampai ke kakek buyut, semuanya berdarah Sunda.

"Sama-sama, Bi." Ucapku pada Abi. Aku pun duduk di sampingnya. Meyra, adikku, sedang asyik menggambar. Sedangkan ummi sedang menggoreng pisang goreng di dapur.

"Ya ampun, tangan sama kaki abi kok dingin banget."

"Oh iya, tadi abi kehujanan pas di ladang. Tapi gak papa kok. Abi udah biasa."

"Jadi tadi abi keujanan di ladang?"

"Ia, tapi gak pa.." Belum selesai bicara, abi keburu bersin. "Alhamdulillah." Ucap abi.

"Yaa harmukaAllahu." Jawab aku dan Meyra bersamaan.

"Yaa Hadikumullah." Ucap abi lagi.

"Yuhsiba lakum." Ucapku, Abi, dan Meyra berbarengan. Itu adalah adab bagi seorang muslim ketika mendengar saudara muslim lainnya bersin.

"Tuh kan abi bersin. Bentar, Meyra ambilin sweater dulu." Meyra mengambil sweater dan memberikannya pada abi.

"Maafin Aya yah bi. Aya belum bisa bahagiain abi dan umi. Selama ini Aya hanya bisa merepotkan abi. Abi rela banting tulang kerja apa aja demi Aya dan Meyra. Bahkan abi sampai sakit begini." Saat ini aku merasa sangat bersalah sekali sama abi.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 23, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Melukis SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang