3. Sekolah tua

99 20 0
                                    

Siang itu, tepat setelah bel istirahat berbunyi, para manusia berhamburan keluar dari kelas dan berbondong-bondong pergi menuju kafetaria sekolah tua kami.

Aku terpaku, menatap papan tulis putih dengan kosong. Buku catatan bahasaku terbuka, menampakkan guratan tulisan kasar warna-warni dengan tambahan sticky note di beberapa sudut.

Hela napas keluar perlahan dari mulutku, kelas sepi senyap dengan cepat hingga suara Hela napasku menggema. Mereka semua memilih pergi daripada tinggal. Jelas, waktu makan siang hanya sebentar.

"Sudah aku duga kamu disini," ujung mataku menatap ke arah pintu kelas, disana Sunwoo berdiri dengan beberapa orang--anteknya--mengikuti langkahnya.

"Makan, jangan kemari,"karena isi kepalaku akan mulai berisik jika kamu tetap disini. Lanjut ku dalam hati.

Sunwoo justru melangkah mendekat lalu duduk di kursi kosong di depan meja ku. Dua anteknya menaruh makanan disekitar  mejaku, sepertinya dia kembali memesan makanan dari luar sekolah. Setelah menaruh makanan, kedua anteknya ijin pamit dan langsung disanggupi oleh Sunwoo.

Dia tidak berubah, masih keras kepala sekeras batu.

Lelaki itu menumpu wajah, menatap ku Lamat dengan senyuman segaris lalu berbisik diantara senyap, "cantik." Aku ikut menumpu wajah, "makan, jangan kelaparan."

Dia tidak berubah, selalu memuji apa yang menurutnya pantas dipuji.

Sosok dengan netra setajam elang dan sepekat jelaga malam itu terkekeh, "aku masih punya bibir mu." Tangan ku mulai membuka makanan yang dia pesan, "makan makanan layak selagi bisa, Sunwoo, bukan bibir ku."

Dia tidak berubah, suka sekali dengan bibir.

Sebab waktunya untuk berpijak di dunia tidak lebih dari 80 hari kedepan. Jadi sebisa mungkin dia harus makan dengan baik.

"Aku bisa. Hidup ku lama, aku masih bisa makan apapun yang aku mau, tapi sekarang aku ingin gula-gula di bibir mu."

Semesta tertawa, sekolah tua jadi saksinya, saksi dimana ucapan Sunwoo adalah sebuah kekonyolan belaka. Ruang kelas ku senyap, Sunwoo berdiri, lalu mendekatkan wajah, aku melengos ke samping, "makan dulu,"

"Aku tidak suka di perintah." Kedua alis Sunwoo bertaut, tangannya mengelus pipi ku pelan dengan seringaian. "Aku selalu mendapat yang aku mau."

"Aku bukan manusia mu, sekarang duduk di tempat mu dan makan."

Dia sungguhan tidak mendengarkan ku, berpura-pura tuli dan seenaknya kembali mempertemukan bibir kami dalam sebuah cumbuan. Bibir ku terkantup rapat, tidak peduli bahkan ketika Sunwoo menggigit ujung bibir ku cukup keras hingga sepertinya berdarah, isi kepalaku semakin berisik.

Dia selalu seperti itu padahal nyawanya bisa bertahan dengan hitungan jari.

Dia benar-benar seenaknya, pantas semesta menghukumnya.

Jangan mau dicium, lawan.

Aku mendorong dadanya, sementara dia makin menekan tengkuk ku, "menja--hmmp."

Aku mendorongnya keras-keras lalu berusaha menormalkan deru napas ku, "sialan, aku bilang menjauh," desis ku tajam. Ku tatap bengis lelaki dengan piercing di kedua telinganya itu lalu melangkah pergi.

Sraatt

Aku menghela napas pendek, gusar. Kenapa seseorang harus menghentikan langkah ku di tengah koridor ramai seperti ini?

"Mau kemana?" Aku menolehkan kepalaku, menatap Sunwoo datar. "Rooftop."

"Tidak. Ikut aku." Cengkraman tangannya makin menguat, netranya menggelap, makin tidak terbaca.

"Tidak. Aku ingin sendiri."

"Jangan buat aku marah."

Atensi sekitar mulai berkumpul pada kami, aku kembali menghela gusar. "Aku juga bisa marah."

Dalam sekali sentakan, tubuhku menabrak dada Sunwoo, cowok itu merendahkan kepala, berbisik tajam pada rungu ku.

"Kamu harus dihukum."

Dia tidak berubah, masih saja seenaknya.

—00—
©Nalovzz

Taste Of Memories|Kim Sunwoo| ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang