"Bunda maunya punya anak cowok, malah dapet bonus satu haha"
Aya kecil tertawa membalas lelucon bunda, saat itu umurnya masih enam tahun, bahkan terlalu dini untuk memahami bahwa ucapan lawan bicaranya adalah lelucon atau sebuah pengakuan.
Dulu, Aya tidak pernah iri saat bunda membelikan Aji kue pancong sedangkan dirinya tidak. Saat itu yang ada dipikirannya hanyalah mungkin uang bunda hanya cukup beli satu, tidak apa. Jika Aya ingin, ia bisa beli dengan uang pemberian Ayah yang selalu ia simpan.
anak sekecil itu sudah memahami orang dengan baik.
Dari kecil, ia di didik sama rata dengan Aji. Hanya saja beberapa kali ada perbedaan antara Aya dan Aji. Salah satunya ialah setiap menjelang ujian tengah semester dan ujian akhir semester. Bunda akan membiarkan Aji seharian belajar dikamar sedangkan Aya masih harus melakukan pekerjaan rumah.
"Perempuan itu harus pinter bersih-bersih, harus bisa masak, harus bisa juga mengatur keuangan." Bunda sering bilang begitu, hingga Aya menganggap semua perbedaan antara ia dan Aji adalah bentuk penyesuaian yang bunda ajarkan.
Sekali lagi, tidak apa pikirnya.
Walau pada akhirnya uang sakunya akan dipotong dengan alasan perempuan harus bisa mengatur keuangan dengan baik.
===== 𝓼𝓮𝓴𝓪𝓽.𝓪 =====
"Lo ngapain sih, Ji?""Melawan Hukum Gravitasi."
Aya tepuk kening, nafasnya sempat terhenti sejenak karena kelakuan kembarannya. Jantung siapa yang mendadak berhenti melihat saudaramu sendiri sedang melakukan handstand dalam kondisi cidera kaki?
Mana hanya memakai celana pendek, gambar keropi pula.
Dengan bangga, Aya perkenalkan. Saudara kembarnya yang sering berkelakuan tanpa batas.
Ajinanda Sunggara, sang pemberontak takdir katanya.
Jangan suruh Aya mendeskripsikan seorang Aji, remaja labil itu benar-benar tidak terdefinisikan. Kelakuannya benar-benar mengalahkan penghuni rumah sakit jiwa, berisiknya sama dengan penghuni kebun binatang, khususnya kandang monyet.
"Daripada lo gabut gitu malah yang ada itu kaki nanti lepas, mending lo turun deh. Dicariin bunda tuh, disuruh sarapan."
"Lo gak sarapan? bareng lah, hayuk."
Aya menggeleng, "Masih kenyang, duluan aja."
Aji merengek, kini tingkahnya semakin menjadi dengan duduk dilantai sambil menggerakan kakinya gusar. Mirip anak kecil yang kehilangan satu tangkai permen.
Sudah dibilang, Aji itu tanpa batas.
"AJI APAANSIH GELI, BANGUN LO BURU!!
"Gue maunya makan sama lo."
"Ihh, horor."
"Ayo napa, Ay~"
"Gak, ah. Gue diet."Bunda gak akan kasih gue makan, kalau lo belum makan, Ji. - Aya
"Cakap kau diat diet badan ketiup angin aja terbang lagaknya mau diet. Dah gue mau makan sama bunda aja, marah gue sama lo." Aji berlalu, dengan langkah yang dihentak-hentak dan jangan lupakan pinggul yang bergerak senada layaknya model.
"idih, kayak cewek"
Dulu, setiap sore sekitar pukul empat sampai setengah enam. Aya akan berjalan keliling komplek dengan Ayah, sambil sesekali mengisengi kucing atau ayam yang lewat. Pernah satu waktu, untuk pertama kali dalam hidupnya, Aya buka suara hatinya,
"Aya sama Aji beneran kembar kan, Yah?. Serasa di anak tirikan deh aku, hahaha."
Sebuah perasaan yang Aya selipkan dibalik gurauannya.
Ayahnya sampai menengok dan lantas tersenyum, "Kok bilang gitu?"
"Entah, kalau dilihat-lihat bunda sayang banget sama Aji. Baru seminggu yang lalu Aji minta ganti handphone, hari ini udah dibeliin."
"Aya mau juga?"
"Engga, kalaupun iya pasti bunda nyuruh aku nabung."
Secara tiba-tiba, Ayahnya menghentikan langkahnya. Berbalik lalu menghampiri Aya,
"Inget gak? Ayah pernah bilang kalau putri ayah itu pinter. Gak cuma pinter diakademik, tapi di kehidupannya sendiri pun bisa lebih. Kalau bunda nyuruh kamu nabung bukan berarti kamu dibedakan sama Aji. Engga sayang, anak-anak ayah itu semua sama rata. Bunda nyuruh kamu nabung berarti bunda percaya dan yakin kalau kamu itu bisa, coba inget lagi siapa yang bikin Aji nangis seharian gara-gara kamu pulang bawa anak ayam warna hijau?"
Ayah bohong -Aya
Suara debaman pintu mengagetkan Aya, kesadarannya perlahan kembali sambil menatap Bunda yang nampaknya kesal padanya.
"Punya telinga disumpel mulu, Bunda manggilin kamu daritadi, Aya!"
"Aya lagi kelas, Bun."
"Sengaja begitu biar gak bantuin bunda? Banyak alasan aja kamu jadi anak. Cuci piring sana, sekalian beresin kamar Aji sama ruang bawah. Bunda mau nganter Aji ke rumah sakit dulu."
"tapi aku-"
"Kelas? alasan lagi? ngelawan sama bunda?"
"Bunda."
"Males banget sih kamu jadi anak perempuan. Mau jadi apa kamu? lulus mau langsung nikah? Gak usah kuliah kalau gitu!"
Aya mengulum bibirnya, rasanya ia berhak marah, ia berhak bersuara, ia berhak atas semua.
Satu tarikan nafas ia buat, lantas berkata, "Iya, Bun. Nanti Aya bersihin."
Kembali pada satu label didalam dirinya, Aya yang penurut.
Lain halnya, sepertinya Bunda masih beum puas akan pernyataannya. Kali ini bukan pintu kamarnya lagi, tapi meja belajarnya yang digebrak.
"Kamu contoh Nandra, tetangga sebelah. Dia cowok, Aya!! Apa kamu gak malu sama-"
Bunda gak pernah kayak gini ke Aji, selalu Aya terus.
to be continue...
KAMU SEDANG MEMBACA
[1] 𝘴𝘦𝘬𝘢𝘵.𝘢 ✓
Fanfiction[TELAH TERBIT, beberapa bagian tidak dipublikasikan untuk kepentingan penerbitan. | Tersedia di Shopee ppentertainment ] "Bunda maunya punya anak cowok, tapi malah dapet bonus satu." © lilrenyeou 070421 - 290921