Aya terdiam dalam lamunannya, sambil menatap dua bungkus kripik singkong balado yang salah satunya telah hancur isinya.
"Banyak uang kamu." bunda berkata sambil melihat-lihat kripik singkong yang ada dimeja belajarnya.
"Dari Aji, Bun."
Bunda menatapnya, kripik ditangannya pun ditaruh dengan kasar, "Gak malu kamu?"
"kan-"
"Harganya berapa sih sampai kamu minta gitu ke kembaran kamu? Bunda pernah ngajarin kamu minta-minta gitu? Gak tau diri kamu! Jangan mentang-mentang kamu perempuan dan pengeluaran kamu lebih banyak sampai berani pakai uang Aji kayak gini!"
Jika ia boleh meminta, setidaknya izinkan dia beristirahat sejenak.
Ia tidak meminta untuk pergi, ia hanya ingin beristirahat dengan tenang.
Biarkan dia bernafas tanpa mengkhawatirkan apa yang akan bunda lakukan padanya hari ini.
Membanting pintu, menggebrak meja, menendang tempat sampah disebelah meja belajarnya, membentaknya, berteriak, dan banyak hal yang membawanya kepada tekanan.
Ia tahu, menjadi single parent bukanlah sesuatu yang mudah. Apalagi membesarkan dua orang anak yang kini pengeluarannya sedang besar-besarnya mengingat Aya dan Aji kini sedang menempuh perkuliahan. Sudah pasti bunda lelah, memikirkan ekonomi keluarga, mengurus pekerjaan kantor, belum lagi jika ada keperluan keluar kota.
Terkadang, rasa lelah yang menumpuk malah membuat kita sendiri kehilangan kontrol emosi. Tanpa sadar bersikap kasar, memaki, mencoba melampiaskan pada apapun agar perasaan yang terkurung itu bisa lepas dan tidak membuat diri sesak.
Aya selalu berpikir seperti itu, setiap kali bunda memarahinya atau berlaku kasar ia akan berpikir bunda sedang lelah. Berat menjadi seorang ibu dua anak tanpa seorang ayah sepertinya.
Maka sebisa mungkin ia menurut, setidaknya meringankan perkerjaan bunda.
Sampai pada satu titik, ia merasa asing pada dirinya sendiri.
Ia sudah melaksanakan apa yang bunda minta tapi kenapa ia masih kena imbas?
Bunda berkata untuk pulang pada pukul tujuh, ia sudah tiba dirumah tiga puluh menit sebelum pukul tujuh. Bunda meminta untuk membersihkan halaman depan, ia tetap menurut walaupun harusnya ia belajar untuk ulangan esok hari. Bunda menyuruhnya membelikan obat di apotek depan, masih ia lakukan walau saat itu sedang hujan petir.
Bunda lupa? Aya takut petir. - Aya
Bahkan sekalipun bunda pernah menguncinya semalaman didepan pintu saat hujan petir, Aya tidak pernah marah padanya.
Setidaknya jika ia tidak bisa mendapatkan apa yang Aji dapatkan, tolong jangan beri dia rasa sakit. Mengaku itu semua adalah bentuk dari didikkannya agar tidak menjadi gadis yang lemah, didikan apa yang menyiksa batin seperti ini?
Mungkin bunda tidak pernah berlaku kasar dengannya secara fisik, namun batinnya tersayat. Perkataan sumpah serampah serta amarah yang katanya mendidik malah membuatnya mati secara perlahan dari dalam.
Ia tidak pernah diberi kesempatan berbicara, ia tidak pernah dipandang benar, ia tidak pernah diberi kebebasan. Selalu saja, tersekat dalam batas yang mengurungnya yang mungkin saja memang sengaja dibuat untuk membuatnya mati.
"Ayah, jangan marah ya. Aya mau nyusul Ayah."
Di kamar sebelah, Aji mengepalkan tangannya. Meredam segala rasa yang ia rasakan saat ini, menahan diri untuk tidak berlaku apa-apa. Earphone yang terpasang di telinganya sudah hampir dalam volume penuh, dengan niatan agar ia tidak mendengar apapun yang dapat memancing emosinya namun ternyata itu tidak mampu sama sekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
[1] 𝘴𝘦𝘬𝘢𝘵.𝘢 ✓
Fanfiction[TELAH TERBIT, beberapa bagian tidak dipublikasikan untuk kepentingan penerbitan. | Tersedia di Shopee ppentertainment ] "Bunda maunya punya anak cowok, tapi malah dapet bonus satu." © lilrenyeou 070421 - 290921