Dear Diary: Ennoshita

300 57 26
                                        

Dear Diary,

Hmmm, gue bingung mau nulis apaan. Sebenernya gue gak lagi pengen curhat sih. Tapi guru gue bilang untuk rajin menulis supaya kekreatifan lo terasah.

Yaudah, akhirnya gue beli buku tulis merk cahaya dunia buat jadi diary gue. Hekter bulat-bulat punya nyokap gue pinjem buat ngejetrek buku ini untuk gue bikin lobang kunci kayak buku diary cewek-cewek. Untuk kuncinya, gue pake kawat bekas yang gue lilit-lilit dari Pak Nono, tetangga sebelah.

Gile, belum nulis aja gue udah kreatif.

Eh, gak boleh riya. Hmmz, yaudah karena gue gak tau mau nulis apaan jadi gue udahin dulu ya. Tulisan ini cuma buat pembuka aja, nanti kapan-kapan kalau ada peristiwa menarik bakal gue ceritain di sini. Babai.

Ehhhhh, gue ada deh cerita wkwkwkwk. Tapi memalukan anjir wkwkwk. Ceritain gak yaaaa.

Cerita aja deh, lagian ini buku diary gue, yang nulis gue dan yang baca adalah gue. Dari gue, oleh gue dan untuk gue.

Jadi gini, gue adalah anak yang lahir di bumi dari kedua orang tua yang berbeda daerah, lo bisa bilang gue anak blaster lokal. Normalnya, kalo anak blaster pasti seenggaknya lahir dan tumbuh besar di salah satu daerah orang tuanya, entah itu daerah si Bapak atau si Ibu. Nah gue enggak, gue lahir di kota yang bukan tempat asal kedua orang tua gue karena pada saat gue di kandungan, mereka merantau atas tuntutan pekerjaan Bapak gue.

Lahir dan tumbuh besar di kota tersebut membuat gue jadi krisis identitas. Contohnya gini, ketika gue ditanya sama teman-teman darimana gue berasal, gue jadi bingung sendiri dan berakhir jadi menjelaskan ke mereka tentang pohon keluarga gue seperti sedang menjelaskan pelajaran sejarah keluarga kerajaan.

"Tapi gue lahir dan besar di sini, jadi gue orang sini kan?" tanya gue ke teman-teman gue.

"Tapi kan Bapak lo orang sana dan Mama lo orang situ. Terus lo orang mana dong?" Lah, kok dia malah balik nanya, anying.

"Orang-aring." Gue menjawab kzl.

"Teknisnya sih, ya lo jadi orang sini. Harusnya." kata Kino, temen gue yang agak bener.

"Dih, tapi kan dia cuma lahir dan besar doang, keluarganya gak ada yang berdarah daerah sini. Berarti dia bukan orang sini, Kin." Noya tetep kekeuh dengan pendiriannya.

"Iya sih emang, tapi kan dia asdfyuof'lkjgfhdnieteopsbs jadi bs@$&httpswwwhtmlblablablabla!"

"IYA GUE TAU, LO JANGAN NYOLOT DONG, KAN GUE BILANG DIA AIUEOBABIBUBEBO DAN DIA SASISUSESO LALU HANACARAKADATASAWALAPADHAJAYANYA!!!" Noya menggebrak lantai yang sedang kita duduki. Kasian lantai.

"YANG NYOLOT SIAPE HAHHH, LO DENGER GAK OMONGAN GUE YANG WAWAWAWAWAWAWAWAWA?!!!!"

Mereka pun ribut, gue ngupil.

Kira-kira begitu lah akhir dari setiap diskusi kita yang berawal nanyain asal-muasal diri gue.

Selain krisis identitas, hal yang gue sesali karena menjadi anak blaster lokal adalah gue jadi gak bisa bahasa daerah dari kedua orang tua gue. Pernah sih diajarin, tapi gak berakhir baik karena lingkungan gue yang tidak mengharuskan gue untuk menggunakan bahasa tersebut membuat gue kesulitan untuk mempraktekannya. Bapak gue sibuk kerja, kalau berangkat gue masih tidur, kalau pulang gue udah tidur. Sedangkan Mama gue walaupun seorang Ibu Rumah Tangga, beliau juga punya kesibukan sendiri dengan gabung ke komunitas Ibu-Ibu Komplek yang sering bikin acara. Sampai akhirnya ya udah gue gak bisa bahasa tersebut.

Gue juga jarang pulang kampung, berkomunikasi sama keluarga sana juga pake bahasa nasional, makin-makin aja deh.

Nah, gara-gara hal itu ada satu peristiwa yang bikin gue hampir dipecat jadi anak.

ENTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang