Harapan
Kini, Alzhaf telah duduk di kursi. Di hadapannya Fauzan sebagai wali. Di sampingnya, Aivana, wanuta yang akan dia nikahi tanpa persetujuannya. Pemuda itu yakin, Aivana mengutuk pernikahan ini.
Wanita itu menunduk, meremas gaunnya menahan kepedihan. Jika saja tidak memikirkan nama keluarganya, jika saja tidak dipaksa mempertahankan martabat keluarga, Aivana sudah lari dan mencari Lyla.
Seharusnya Lyla yang mengucap Qobul. Seharusnya Lyla yang menjadi imamnya. Bukan Alzhaf, lelaki yang bahkan tidak Aivana harapkan sedikit pun.
Penghulu mengisyaratkan untuk memulai akad, menuntun Fauzan untuk menjabat tangan Alzhaf. Pemuda yang tidak pernah bermimpi menikah hari ini itu menjabat tangan calon mertuanya. Sesekali melirik wanita di sampingnya, berharap jika wanits itu bisa menggagalkannya saat ini, sebelum Qobul dia lantangkan dengan satu helaan napas.
"Bissmillahirohmanirahim, saya nikahkan dan kawinkan engkau, Alzhaf Aradhana bin Dewanto, dengan putri kandung saya Aivana San Ahmed binti Fauzan Ahmed, dengan mas kawin kalung dan cincin berlian, dan seperangkat alat sholat, dibayar tunai!"
Alzhaf melirik Aivana. Menghela napas sebagai tanda ini adalah napas barunya nanti.
"Saya terima nikahnya, Aivana San Ahmed binti Fauzan Ahmed dengan mas kawin tersebut, dibayar tunai!"
Penghulu menanyakan para saksi, dan semua berucap 'sah'.
"Alhamdulillah!" Semua orang langsung membaca Hamdallah, tanda kelegaan.
Berbeda dengan Aivana, yang merasa itu adalah tanda kepedihannya dimulai. Dia menyadarkan diri, bahwa ini sungguh bukan mimpi. Memang Alzhaf yang mengucap Qobul tadi, dan pertanda dia adalah seorang istri Alzhaf Aradhana. Bukan Lyla Dewanto yang memenuhi perasaan dan pikirannya selama ini.
Sungguh, takdir yang tidak Aivana harapkan. Bahkan membayangkan pun tidak pernah. Namun, inilah akhirnya.
Aivana merasa kehilangan masa kecilnya dengan menikahi orang lain.
Anak laki-laki sepuluh tahun itu duduk di sebuah Timezone dengan menekuk kakinya. Aivana kecil yang baik hati itu akhirnya datang dengan berlari. Ia lantas memberi temannya itu beberapa koin untuk bermain dengannya. Tempat Timezone itu tidak jauh dari rumah, hingga gadis cantik itu sering kabur dari rumah hanya untuk bermain di sana bersama temannya yang dia temui di jembatan itu.
"Kamu ke sini sama siapa?" Anak laki-laki itu bertanya.
"Ssttt. Di luar ada pengawalku. Mereka lagi mencariku, jangan kasih tahu, ya? Ambil koin ini, ayo kita main!" ajak Aivana.
Keduanya lantas bermain bersama di timezone pinggir jalan itu. Tidak besar, dan hanya Bapak paruh baya yang menjaga tokonya.
Semenjak pertemuan pertama di jembatan, keduanya menjadi akrab. Kini, tantangan mengambil boneka itu terasa menyenangkan. Mereka akan tertawa saat gagal mengambil boneka di mesin Claw Machine itu.
Sejak itu, keduanya sering bertemu di sana.
"Ini akan jadi tempat rahasia kita. Oke?" Aivana kecil menarik jari temannya itu untuk berjanji.
KAMU SEDANG MEMBACA
DUGA (TERBIT)
General Fiction"Pada akhirnya, cuma dia pilihan terakhir," jawab Dewanto putus asa. "Enggak! Nggak bisa! Ini pernikahan anakku! Nggak bisa!" teriak Maharani. •••• Berawal dari sebuah perjodohan yang amat Aivana inginkan. Namun, pengantin pria melarikan diri tepat...