10. Cermin (Kiss-Miss)

49 6 0
                                    

Judul: Kiss-Miss
Penulis: Tasyayouth

"Mau ke mana?" tanyaku dengan kesadaran tipis—masih mengumpulkan nyawa. Mata yang berat sengaja kubuka hanya untuk melihat punggung telanjang nan tegap lelaki yang beberapa detik kemudian telah dilapisi kemeja biru tua.

"Kerja."

Aku diam, menjadi orang yang berpura-pura tidak peduli, seperti biasanya. Hubungan kami terlalu canggung, mungkin satu-satunya komunikasi terbaik adalah dengan 'bahasa tubuh'.

"Kapan kamu pulang?" tanyaku memberanikan diri. Laksa menoleh, bersamaan dengan tangannya yang mengancingkan ujung lengan baju. Wajah datar itu hanya berkata satu kalimat, "Minggu depan."

Aku mendesah pelan. Selalu seperti ini. Setahun sudah berlalu, sejak lamarannya yang 'dipaksa'. Entah karena kami berdua terlalu penurut hingga menerima perjodohan dari mulut ke mulut, atau memang untuk menghindari pertanyaan orang lain yang bertanya, "Kapan kalian menikah? Kalian cocok."

Begitulah hubungan pernikahan hambar kami dimulai, hingga terasa bosan. Dan, secara alamiah, bumbu-bumbu romansa telah kutaburkan tanpa sadar. Menyebar hingga aku mulai merasakan sesak yang tak tertahankan pagi ini. Laksa baru pulang kemarin, sehingga aku tidak rela ia pergi. Sebelum perasaan ini membuatku semakin sakit, aku memutuskan untuk berhenti. 

Aku membalut tubuh dengan selimut, cukup membuatku percaya diri untuk beringsut turun dari ranjang dan berjalan tertatih-tatih mendekatinya.

Matanya membelalak tatkala dengan kasarnya kucengkram wajahnya menghadapku. Beberapa detik kemudian, bibirku jatuh di atas benda lembut tersebut. Laksa akan menyangka bahwa ini ciuman selamat pagi, tetapi versi panas karena biasanya objek yang kujatuhi ciuman adalah pipi. Sayangnya, ciuman ini bukan untuk menunjukkan keagresifanku, melainkan ciuman terakhir sebagai tanda perpisahan.

Takada pergerakan, hanya tempelan. Namun, hatiku sakit mengingat bahwa Laksa mungkin tak pernah menginginkan ini. Aku takut, dia akan menolak ketika perasaan ini berkembang.

"Aku ingin pis—"

"Aku merindukanmu."

Aku mengernyit, sementara Laksa mengambil kesempatan untuk menjarah bibirku. Menekan benda lembut itu dengan kuat, membuatku kelimpungan. Begitu panas, hingga aku tidak bisa mengendalikan tubuhku sendiri. Jarahannya berarti, tetapi tidak bisa kutebak dengan pasti. Aku hanya menyadari dua emosi darinya, kemarahan dan kesedihan?

Ia melesakkan benda lembut lainnya, mengobrak-abrik setiap sudut tanpa ampun, membiarkanku menggigil di setiap pergerakan. Ini sangat panas dan otakku tidak bisa berpikir jernih. Terasa sangat familiar dan aku menginginkan lebih. Telah kotor! Sangat kotor!

Ketegangan itu berhenti. Kedua dahi yang melekat dengan napas tidak beraturan membuatku sadar pada akhirnya. Dalam napas yang terputus-putus, akhirnya ia bersuara, "Aku  tidak jadi pergi."

"Kenapa?"

Dia diam dan menatapku dalam. Otakku terus mendoktrin pertanyaan yang sama, hingga kutemukan sesuatu di matanya. Seolah berkata bahwa dirinya tidak bisa jauh dariku. Seolah menginginkanku untuk selalu berada di sampingnya. Dan, entah kenapa ... aku merasa dicintai?

"Karena aku merindukanmu."

Bolehkah aku beranggapan bahwa ia berkata, 'Karena aku mencintaimu'?

***

###
End

HALU MODE ON (Kumpulan cerpen) ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang