Tema: Insecure

7 2 0
                                    

Ipen Wiken, 20 Februari

Tema: Insecure

Majas: Hiperbola

Kata Kunci:
Makhluk bayangan
180 derajat
Pengambil jiwa
Ada Aqua?
Lewat tengah malam

PseuCom
DafaHen_

***

Bapak mati terlindas truk. Jeroannya sampai berceceran di jalan. Tidak bisa ditengok tubuhnya yang tak lagi utuh di peti. Segera setelah dijemput dari rumah sakit, Bapak dikebumikan.

Kata orang, Bapak mati tidak wajar. Banyak yang sering lihat Bapak bengong sambil menyulut keretek. Kadang, Bapak cengengesan sendiri. Pernah ada yang menegur ketika Bapak begitu, tetapi tidak digubris. Kemungkinan Bapak dijerat lelembut pengambil jiwa yang konon mendiami halte. Ada juga yang bilang, Bapak memang bunuh diri karena stres. Keseringan dibentak dan dituntut ini-itu. Memang, setiap kali Ibu nyap-nyap, Bapak tidak lagi membantah, juga tidak terlihat kesal. Aneh, reaksinya malah tersenyum dan bertutur lembut.

"Kenapa, sih, Pak? Kenapa?"

Di kamarnya, Ibu masih meratap. Sudah empat puluh hari, tetapi semakin waktu berlalu Ibu semakin tenggelam dalam kubangan putus asa. Dari kanan berbisik, kalau memang semua salah Ibu. Sebelah kiri berujar pelan, tidak seharusnya Ibu memaksa Bapak tarik ojek dari pagi sampai malam. Yang belakang masih berkisah tentang dedemit di halte. Dan yang di depan selalu berkata lantang, baiknya Ibu introspeksi alih-alih terus menyangkal.

Seharusnya mereka peka, Ibu tidak sudi menyandang gelar janda. Ibu juga tidak mau selalu cekcok soal duit acap kali Bapak pulang. Namun, kehidupan mereka yang berubah 180 derajat setelah Bapak kena PHK, sedang kebutuhan terus merongrong, dan dua anak mereka tak dapat disumpal dengan kata-kata, membuat batin Ibu juga terkena lelah. Belum lagi cekokan sekeliling yang pamer si suami sudah diterima di pabrik ini, ada yang di pabrik itu. Sementara Bapak masih bengong menunggu bantuan teman. Yang dinanti malah sudah mulai menggembungkan dompet.

Ibu tidak menampik, jika ada hasrat ingin menjajarkan lagi langkah dengan mereka. Ingin keluar dari cangkang dan kembali duduk bersama sembari menikmati rujak. Bagaimanapun, semasa Bapak masih kerja di pabrik, Ibu menjabat sebagai kepala PKK, melengserkan ibu RW. Semua melihatnya sebagai seorang ibu yang modis, yang tiap bulan ganti tas dan banyak emas. Semua juga memandangnya dengan segan, yang jika memiliki urusan selalu dinomorsatukan. Namun, semenjak Bapak berdiam diri di rumah, satu per satu emasnya dijual. Motornya pun turut lenyap, bahkan surat rumah digadaikan agar bisa makan. Semua pengorbanan harta itu, yang sebagian untuk modal usaha, malah berbalik kerugian yang mencekik.

Memang tidak ada yang bicara secara blak-blakan, tetapi Ibu dengar. Ada mulut yang berucap, Ibu bangkrut. Bahkan untuk jajan anak saja, dia mengutang dulu. Mulut-mulut itu tidak akan puas membanding-bandingkan selama umpan masih ada. Malah terus berkobar omongan mereka, jika ada yang bakar. Ibu sadar, cahayanya yang mulai redup di tengah pergaulan sedikit demi sedikit menggusur statusnya. Ibu bukan lagi ketua PKK. Meski tidak ada yang minta begitu, Ibu tahu diri. Ibu yang sudah jarang mengisi formulir santunan anak yatim pun, jadi sering absen ke majelis taklim. Ibu juga tidak lagi ikut arisan RT dan RW. Sepanjang hari, yang biasa Ibu lewati dengan obrolan di depan warung, kini lebih senang menyendiri di rumah agar tidak meledak amarahnya.

"Ayo, Bu, ikut senam lagi."

Selalu ada yang menawarkan, tetapi Ibu merasa tidak punya tempat. Sudah habis emas dan kusam kulitnya. Melihat bagaimana kawan-kawannya berdandan dan berpakaian, Ibu merasa bakal ada yang mengatai. Tidak terang-terangan, tapi pasti ada bisikan. Kembali Ibu menggeleng. Ibu ingin mencari aman bagi telinga. Bisa tambah hancur batinnya, kalau tanpa sengaja mendengar ucapan yang tidak enak. Beralasan menjaga bocah-bocah, Ibu lagi-lagi mendekam di rumah.

Sempat Ibu berpikir untuk hidup di kampung. Menempati rumah peninggalan orang tuanya di tengah-tengah sawah. Meski kadang ada ular yang bertandang; melata di halaman rumah, setidaknya yang dia tempati di sana bukan kontrakan. Mau mandi pun tinggal mengambil di waduk. Jika ingin meminum air kelapa, ada pohonnya tak jauh dari rumah. Udara juga jauh lebih sejuk karena dekat gunung dan mata bisa dimanjakan dengan hamparan padi yang mulai menguning. Setiap hari, dibanding melancong sana-sini, banyak yang menuntun anak melihat orang melempar jaring tipis dari sampan di waduk. Tiap kali mereka berhasil menjaring ikan, kadang kebagian. Potret dalam bayangan itu memang menggelitik lidah Ibu untuk bilang ke Bapak.

Namun, di sana adik Ibu sudah sukses. Sudah punya lumbung padi yang besar. Sementara, kakaknya berhasil jadi lurah dua periode. Kalau Ibu kembali dalam keadaan begini, bisa-bisa makin terkubur dia dalam malu. Lagi pula, yang orang kampung tahu Ibu adalah istri pekerja pabrik kota yang punya gaji besar dan tunjangan. Tidak satu pun mereka yang sadar Bapak sudah jadi pengangguran. Berulang kali Bapak bilang, agar Ibu jujur saja. Katakan ke mereka yang sebenarnya. Siapa tahu ada yang mau bantu.

"Mau taruh di mana muka aku, Pak? Lagian aku enggak enak sama mereka! Pokoknya, sebelum kita bisa bangkit lagi, aku enggak mau telepon apalagi ke kampung!"

Mengingat itu, Ibu semakin meraung. Sudah lewat tengah malam, masih tersedu-sedu dia di atas kasur. Ingin rasanya membagi beban, tetapi pada siapa? Sudah lama Ibu tidak keluar kandang. Lagi pula, kebanyakan mereka hanya ingin tahu. Bersimpati sebentar, kemudian kembali menggerogoti lewat kabar dari mulut ke mulut. Ditambah, bisikan soal penyebab kematian Bapak semakin nyaring terdengar. Menyadarkannya lewat tamparan keras, kalau dia tidak punya teman.

"Bu ...."

Ibu menoleh. Didapatinya si sulung dan si bungsu.

"Ada Aqua?"

Dipaksakannya senyum, Ibu menghampiri ambang pintu. "Enggak ada. Minum air yang tadi direbus aja, yah?"

Si sulung dan si bungsu mengangguk. Ibu langsung beranjak ke dapur, disusul dua bocah.

"Bu, Bu ...."

Sambil menuangkan air dari ceret ke gelas plastik, Ibu menoleh.

"Tadi dede masa lihat Bapak. Tapi, kayak makhluk bayangan gitu, Bu. Iya, 'kan, Kak?"

Si sulung mengangkat bahu. "Kakak, mah, enggak lihat."

Ibu kembali meletakkan ceret. "Nak," dia berbalik dan menatap si sulung kemudian si bungsu, "kalau pergi ke tempat Bapak, mau?" Tapi, kemudian Ibu tersenyum lagi. "Bapak pasti enggak senang, kalau kita susul."

Event MingguanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang