Ipen Wiken, 02 Mei 2021
Tema: Jam malam
Majas: Simile
Kata kunci:
Noda merah
Air comberan
Klimis
Donat
Kayu lapuk****
Ada peraturan yang mengikat di daerah sini, begitu Mak Laksmi memberi tahu. Beliau tidak menjabarkan secara terang-terangan. Masih ditemani secangkir teh dan kue apem, dia bilang lagi, kalau sudah habis isya tidak usah keluyuran ke sana-sini. Bagaimanapun keadaan, lebih baik menunggu hingga subuh datang.
Daerah tempat tinggal Mak Laksmi sudah seperti di kota besar. Seluruh ruas jalan diaspal, rumah-rumah berdinding bata dan bertingkat, banyak kendaraan yang lalu-lalang, juga toko-toko menjamur di sepanjang jalan. Membandingkan langsung dengan apa yang diwanti-wanti Mak Laksmi, rasanya sangat kuno. Boleh, kalau daerah ini masih berupa pemukiman tepat di kaki gunung yang diapit bukit-bukit dan hutan. Karena itu, ketika ada ajakan makan-makan di luar, aku terima saja.
Laksana komando upacara dengan tegas Mak Laksmi minta aku pulang sebelum magrib. Padahal, baru jalan setelah asar. Dan ini semacam acara perkenalan dengan teman-teman baru. Mengingat Mak Laksmi yang tegasnya masih seperti dulu, aku iyakan saja. Entah pulang nanti jam berapa yang penting legalisasi izin berjalan mulus.
Di toko donat aku bertegur sapa dengan mereka yang berasal dari kampus yang sama. Kami saling bertukar informasi. Aku katakan berasal dari Jakarta. Keputusanku berkuliah di daerah ini termasuk bujuk rayu ibuku. Beliau tidak ingin aku seperti bunga liar, yang bebas dihinggapi kumbang-kumbang tidak tahu malu dan layu sia-sia. Beliau ingin, aku belajar tentang lingkup adab dan adat yang masih kental. Meski sudah tujuh belas tahun, aku masih bisa dididik, katanya. Mendengar itu, salah satu teman berambut klimis bertanya di mana aku tinggal. Aku jawab, di rumah Mak Laksmi. Mak Laksmi adalah saudara jauh ibuku.
Di luar dugaan, mereka tahu Mak Laksmi. Mereka bilang, Mak Laksmi salah satu sesepuh yang dihormati. Larangannya adalah mutlak. Lalu, arah obrolan kami bukan lagi soal berapa banyak saudara kandung yang dimiliki atau usaha orang tua, melainkan soal sosok Mak Laksmi.
Mak Laksmi dipercaya sebagai orang pintar. Sewaktu pembuatan jalan dan toko-toko, Mak Laksmi yang paling berjasa. Dia yang memediasikan agar para makhluk gaib berkenan hidup berdampingan. Karena itu, sekarang daerah ini sudah serupa kota. Biar begitu, adat harus selalu dijunjung.
Termasuk larangan keluar malam.
Termasuk jam malam itu, sahut mereka.
Sesuai ketentuan, temu pertama di luar kampus itu berakhir sebelum magrib. Toko-toko juga sudah banyak yang tutup. Satu per satu mereka naik angkot ke tujuan masing-masing. Sementara aku, masih menunggu angkot di depan toko donat. Di jalan, orang-orang juga semakin bergegas. Bukan karena hujan, kurasa. Mereka seolah tidak peduli genangan air di jalan sudah tercampur dengan air comberan, langkah mereka tetap cepat. Sebagian berlari-lari kecil, menyeberang jalan sembarangan, hingga membuat beberapa mobil mengeluarkan suara klakson.
"Masih nunggu angkot, Mbak?" Seorang pramusaji di toko donat tadi berdiri di sebelahku. "Mending naik ojek, Mbak. Di dekat petunjuk jalan kayu lapuk sana," jempolnya mengarah ke seberang jalan, "ada pangkalan. Saya juga mau naik ojek."
Aku menolak secara halus. Lagi pula, payung yang dia bawa tidak cukup untuk dua orang. Dan aku berdiri sendirian lagi. Hujan semakin deras. Angin juga sudah berembus kencang. Samar-samar azan berkumandang. Jalanan juga sudah lenggang. Namun, angkotku belum juga terlihat bemper depannya.
Aku teringat raut wajah dan intonasi Mak Laksmi. Apa sebaiknya terobos saja dan naik ojek? Memang masih ada ojek? Seandainya tadi rasa tidak enak hatiku bisa ditekan, sekarang pasti sudah sampai rumah. Kalau larangan itu bersifat mutlak, apa yang akan terjadi? Bulu kudukku meremang bukan lagi karena hujan.
Jam tujuh, jalanan sudah benar-benar mati. Satu pun tidak ada kendaraan yang lewat. Hujan juga masih turun deras. Sekonyong-konyong deru halus kendaraan terdengar. Melongok sedikit, sorot cahaya lampu kendaraan perlahan mendekat. Bukan angkot yang aku tunggu, tetapi mobil itu berhenti tepat di depanku. Si sopir membuka kaca pintu hingga setengah. Dia menoleh dalam gerakan yang pelan. Aku merasa otot-ototku menentang. Saraf-sarafku mungkin kehilangan fungsi untuk bergerak.
Ada noda merah di kening sang sopir. Noda itu menjadi gumpalan dan menggulirkan cairan pekat yang luar biasa amis. Aku ingin muntah, tetapi tanganku tidak mampu bergerak. Lama kami bertatap-tatapan sebelum suara cekikikan terdengar. Jauh, entah dari mana. Tubuhku yang kaku mendadak lemas.
"Jangan dia! Dia keponakan saya! Pergi!"
Suara Mak Laksmi terselip di antara cekikikan itu. Apa benar Mak Laksmi?
"Maafkan dia. Dia orang baru di sini! Nanti saya ajarkan lagi! Sekarang pergi! Ayo, pergi!"
Benar, itu Mak Laksmi. Aku langsung terduduk. Mobil di hadapanku hilang, pun cekikikan itu. Dan tubuhku langsung diraup lengan Mak Laksmi. Entah apa yang dia komat-kamitkan. Mataku terasa berat. Lelah luar biasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Event Mingguan
Storie breviCerita yang disajikan akan berbeda-beda, sesuai dengan tema yang ditentukan ^_^