Ipen Wiken, 13 Februari 2021
Tema: Adiktif
Majas: Simile
Kata Kunci:
Kayang mayang
Tungkus lumus
Adu untung
Abang berang
PaceklikTag yang punya wilayah dan wewenang: PseuCom
Yang bagiin event: tipingers*****
Orang hanya melihat itu sebatas tempat tunggu bus yang terbengkalai. Bangkunya sudah kehilangan warna cat. Kanopinya mulai berlubang karena digerogoti karat. Entah sudah berapa makhluk yang diam-diam kencing di pojokkan. Menurut kabar yang beredar, tempat itu tinggal menunggu tanggal untuk dirobohkan. Namun, baginya halte di pinggir jalan ini satu-satunya lokasi pembawa kedamaian di batin. Setelah seharian lagi-lagi tungkus lumus membuat pikirannya tidak mulus, bukan pada istrinya yang saban hari mengoceh dia kembali, tetapi di sinilah dia melepas penat.
Motornya yang diparkir di hadapan sudah dipasangi gembok alarm. Setidaknya, jika khayal kembali menjerat, di mana suara mesin bahkan klakson ditolak pendengaran, akan ada yang refleks menyelamatkan kendaraannya. Maka, disesaplah dalam-dalam sebatang keretek yang dia ambil dari kantong rompi. Bak kereta api uap, asap rokoknya terus mengepul. Sesekali asap rokoknya diarahkan ke lubang hidung, dihidu bareng pesing yang menyengat dan asap kendaraan. Matanya sampai terpejam menghirup aroma yang tercipta. Asap rokok dan kendaraan, pesing, serta samar bensin menjadi asin khas laut, seperti berhadapan langsung dengan ombak.
Sejak gagal adu untung di usaha rumahan, dia harus bergelut dengan keringat di jalan. Usianya tidak lagi muda. Tak lagi menarik rupa dan postur tubuhnya. Kalau bukan karena nyap-nyap si istri, lebih baik menunggu kabar dari teman sejawat daripada saban pagi ketemu malam cuma dapat omelan. Sekarang, dia tidak menyesal keluar seharian.
Punggungnya membungkuk. Kepul asap rokoknya masih bergelung-gelung, sedang suara kendaraan perlahan memudar. Hingga terganti semua bunyi dengan deru halus ombak yang menyapa pasir pantai, matanya baru terbuka. Halte di mana dia merokok bukan lagi tempat yang buruk rupa. Kanopi dan bangku seolah sudah direnovasi. Bukan pada tanah padat kakinya berpijak, melainkan lembek pasir. Hamparan jalanan yang ramai dilalui kendaraan pun sudah terganti laut tak berujung. Jalan layang hilang, yang ada luas langit biru redup yang tinggi, dan tumpukkan awan berpendar senja di bawah bulan sabit yang ditemani bintang-bintang kecil. Semilir angin membuat matanya tertutup lagi. Menarik-embus dalam aroma dan sejuk yang tercipta, dia enggan pulang.
Tiga bulan lebih dia begitu. Selalu duduk di halte terbengkalai kala lampu jalanan mulai menyala. Sendirian menghisap rokok hingga menarik lirik beberapa pengguna jalan. Dia menolak untuk berpikir soal terkaan mereka. Sehabis bertarung memperebutkan pelanggan, layaknya menang pakong, yang ada di pikirannya hanya kebahagiaan.
Pemandangan yang terpampang memang sebatas lukisan di matanya, yang apabila dua bungkus kereteknya habis, hilang sudah semua, dan kembali dia hadapi paceklik dompet. Setidaknya, selepas ini telinganya sudah lebih siap mendengar celetukan tajam istrinya. Sudah segar pula pikirannya untuk hari esok.
“Abang ke sini lagi?”
Masih menghisap rokok, dia menoleh. Didapatinya seorang perempuan serupa si istri waktu masih muda. Rambut pendek sebatas tengkuk, tubuh kurus, memakai baju dan celana pendek, serta menarik koper.
Si perempuan mengambil tempat di ujung bangku dan menghadap depan. “Lautnya tenang, yah, Bang.”
Omongan si perempuan membuat dia tersentak. Pikirnya, si perempuan hanya orang yang sekadar menumpang duduk. Apa orang lain juga sepertinya? Bisa melihat semua itu?
KAMU SEDANG MEMBACA
Event Mingguan
Cerita PendekCerita yang disajikan akan berbeda-beda, sesuai dengan tema yang ditentukan ^_^