Tema: Trauma

9 1 2
                                    

Ipen Wiken, 06 Maret 2021

Tema: Trauma

Majas: Ironi

Kata Kunci:
Tulus bulus
Ndelik kaku
Kabur dapur
Capcipcup huha
Tebal bibir

PseuCom
Nizalesi

****

Simbok pernah bilang, tidak semua manusia tulus ikhlas dalam bertindak. Ada sekelompok yang mengulurkan tangan tanpa diminta, tetapi di belakang berbeda muka. Pada pendengar mereka umbar apa yang sudah dilakukan. Sebagai contoh untuk ditiru, kata mereka. Setelah puas, mereka pelintir lidah; mengemukakan kekurangan orang yang ditolong. Untuk diambil hidayah, dalih mereka. Simbok menambahkan, orang-orang seperti itu menganut paham tulus bulus; sikap menolong yang dibumbui kemiskinan akhlak, dan aku diwanti-wanti menjauhi mereka.

Sepanjang masa sekolah, aku melakoni lakon sesuai kehendak Simbok. Menapaki jalan para calon penghuni surga. Simbok pun terus membekali dengan sugesti serupa, "Kalau kamu seperti mereka, kamu bisa masuk neraka. Jadi, Ndhuk, hindari mereka." Mungkin simbok lupa atau mungkin karena keburu sukmanya melayang, nasihatnya berujung tanpa praktik, sementara hidup di tengah masyarakat adalah medan nyata.

Aku dikepung tanpa persenjataan lengkap. Begitu masuk dunia kerja, pertahananku amblas. Mula-mula telingaku masih kebal. Terbiasa dari kecil mendengar namaku disebut-sebut sebagai tukang adu, yang paling penting-seperti kata Simbok-aku bukan bagian dari para munafik itu. Namun, semakin hari kekebalan telingaku terkikis dan mendekati habis setelah kakakku memutuskan berjalan bersama mereka.

"Kenapa?" Pertanyaan itu terus bergema sampai lidahku enggan berhenti menyuarakan.

Dia tampak membuang napas. Saat itu langit sudah bersiap menurunkan hujan. Namun, aku tahu bukan takut kebasahan yang membuat dia terlihat ingin segera menyambar tas. Ada beberapa perempuan berdiri di luar rumah makan. Meski terhalang tembok kaca, beberapa kali aku merasa mereka ndelik kaku ke kami.

"Kamu ndak dengar setiap hari mereka bilang apa? 'Itu si Nur benar-benar baik, sampai semua omongan kita diumbar.' 'Dia itu kayak malaikat, sampai lebih parah dari setan.' Belum lagi masalah kemarin. Apa maksud kamu mengadu kalau bantuan itu ndak ikhlas? Semua jadi runyam waktu kamu malah bilang, mereka gibah."

"Lho, memang iya, 'kan? Aku ndak ngada-ngada. Dia tanya, aku jawab. Aku cuma ndak mau merahasiakan omongan mereka. Semua harus diungkap, Yu. Seperti kata Simbok-"

"Nur. Simbok sudah lama dikubur. Maaf. Tapi, kamu harus paham, Nur. Kita hidup bukan di kampung. Tetangga kita bukan lagi saudara satu buyut. Kalau kamu ndak bisa mingkem dikit saja, semua bisa jadi musuh. Mulai sekarang kamu harus sadar, kapan kamu buka suara, kapan kamu perlu pakai topeng, kapan kamu melambungkan orang lain, dan kapan kamu turut larut bersama mereka.

"Sudah. Itu saja yang mau aku omongkan ke kamu. Mulai sekarang, jangan seperti dulu lagi. Kamu paham omongan aku, 'kan?"

Kala itu, ingin sekali menggeprak kepala Yu Darsih dengan gelas. Seenak udel dia mematahkan ajaran Simbok hanya karena tidak enak hati pada mereka. Padahal, jelas mereka menyebarkan keburukan orang yang kesusahan. Yu Darsih butuh dibersihkan jiwanya. Aku sempat berpikir, Yu Darsih harus bertemu Mbah Kliwon agar jiwa Yu-ku itu bisa bersih seperti semula. Namun, belum sempat niatku terlaksana, mereka sudah mengepung. Ketika giliranku sif kedua, mereka sengaja menanti. Pulang langsung diseret aku ke area parkir belakang pabrik.

Meski terang, tidak ada satpam atau orang selain kami. Mungkin karena masih dini hari. Mereka lantas memepet, sampai punggungku menempel di pohon beringin. Tidak hanya semilir angin dingin yang membuat tubuh merinding, melainkan juga tatapan mereka yang jauh lebih menusuk ketimbang supervisor di pabrik. Lalu, ocehan mereka menyeruak paksa ke telinga. Aku pernah mengalami ini saat SMA, tetapi hawanya berbeda. Anak SMA hanya menggertak, sementara mereka mengancam. Sialnya, bukan ancaman kosong. Terang-terangan mereka mencari sekutu dan sengaja menekan secara ucapan. Satu per satu teman-temanku beralih, bahkan Yu Darsih tidak lagi mengajak bicara jika bukan di rumah.

Event MingguanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang