Tema: Takhayul

10 2 3
                                    

Ipen Wiken, 08 Mei 2021

Tema: Takhayul

Majas: Repetisi

Kata kunci:
Tuyul berambut
Ini hantu, bukan batu
Setan kayang
Mati ditimpa timba
Pembual

DafaHen_
PseuCom

****

Jaka mendengkus. Sudah dari tengah malam, dia bersandar di batu besar. Sudah dari tengah malam, tubuh kurus keringnya yang dibalut gamis putih berselimut sarung kotak-kotak menggigil diembus angin. Sudah dari tengah malam, matanya awas menatap sekeliling. Meski tanah luas berumput yang menjadi pemisah antara Saninten dan Seketi gelap gulita, kalau memang apa yang dikatakan orang-orang di pos siskamling benar, sudah pasti ada sinar yang menerangi ladang serupa cahaya sore. Dan ringkik kuda hitam pasti sudah bersahut-sahutan dengan jangkrik dan tokek.

Benar, Jaka meyakini sudah melakukan apa yang disimaknya dengan benar. Kisah tentang perbatasan desa ini memang sudah dicekoki sedari kecil. Emaknya pernah bilang, ada wewe gombel yang bersembunyi di antara bebatuan besar di sini. Beberapa temannya, dulu, bahkan mengaku mendengar suara perempuan acap kali pulang mengaji dari Saninten. Ada juga yang menceritakan soal setan kayang yang tak sengaja dilihat waktu mengarahkan obor ke sisi kulon. Bukan. Bukan karena itu. Bukan karena ingin membuktikan apa yang didengarnya saat kecil, Jaka mengorbankan waktu tidur.

Tiga tahun sudah Jaka menjadi anak rantau. Sewaktu meninggalkan kampung, dia berikrar akan pulang membawa mas kawin untuk si pujaan hati. Namun, hidup di kota tidak semudah omongan orang-orang. Terlebih, dia tidak punya koneksi. Cuma modal nekad dan uang dari hasil jual sawah mendiang bapaknya. Tahun pertama, modal usaha cimolnya habis. Tahun kedua, modal usaha mainan gerobaknya ludes. Tahun ketiga, dia ikut seorang teman berjualan batagor. Lumayan, tapi masih jauh ketimbang apa yang dimiliki saingannya.

Saingannya tidak main-main. Anak lurah dan bakal jadi lurah. Jaka ketar-ketir. Si pujaan hati juga tidak memberi respons yang mantap. Malah bilang, "Saya, mah, yang duluan aja. Siapa yang datang duluan ke rumah, dia yang saya terima."

Ingin rasanya Jaka menjual sepetak sawah yang tetinggal. Namun, emaknya melarang. Pamali, kata si emak. Mumet, Jaka memutuskan ikut ronda. Padahal, semenjak menjadi anak rantau, setiap kali pulang kampung yang selalu dia tuju adalah rumah si pujaan hati. Kali ini, dia mau menghirup udara malam yang segar. Yang bebas dari kicauan perbandingan dan tutur halus yang seolah mengancam. Baik dari si pujaan hati maupun calon mertuanya.

"Gimana di Jakarta, Ka?"

Jaka tersenyum. Duduk bersila di pojok dan tidak menolak saat disuguhkan kopi dan sebatang keretek. "Lancar, Kang. Tapi, yah, namanya jualan kadang sepi kadang rame."

Basa-basi itu lantas menjadi obrolan berisi petuah yang mengharuskan Jaka manggut-manggut. Susul-menyusul mereka saling berbagi pengalaman kerja di luar kota, sedang Jaka hanya menyeruput kopi dan mengisap keretek. Dari dulu, sejak jadi yatim, Jaka memang tidak terlalu berbaur dengan orang-orang sekampung. Mengobrol pun hanya sekadarnya. Tidak betah berlama-lama di antara ocehan satu sama lain. Dan perasaan tidak nyaman itu mulai menggerakkan Jaka untuk menandaskan kopinya yang ketiga. Namun, baru mau pamit, topik yang diangkat membuat dia tertarik untuk kembali duduk anteng.

Obrolan itu memang sudah merembet ke mana-mana, bahkan sempat hinggap sebentar ke urusan ranjang. Jaka memang sudah tahu perihal tanah perbatasan di kampungnya, tetapi baru kali ini dia dengar kisah yang berbeda.

"Yang benar, Kang?" Jaka secara naluriah menginterupsi. Yang dia tahu selama ini, tanah luas itu hanya dihuni wewe gombel.

"Kamu, sih, enggak pernah ikut kalau ada acara apa-apa. Cuma tahu akhirnya aja."

Jaka mengusap tengkuk dan cengengesan. "Maaf, Kang. Tapi, saya benaran baru tahu kalau di sana ada tuyul. Tuyul berambut, lagi."

"Itulah kenapa kita sekarang selalu ronda. Buat jaga-jaga aja, kalau dia tiba-tiba nongol, tinggal kita sambit."

"Enggak semudah itu, Kang. Lagian ini hantu, bukan batu. Dan kalau tuyul berambut gini, bukannya bisa dipelihara, yah?"

Jaka semakin condong ke depan. Semakin tertarik dia. Desanya memang masih diselimuti kisah mistis, meski internet sudah mulai menyantol di hobi anak-anak. Yang tua-tua memang masih sering berkisah, tapi anak-anak langsung membantah. Berbeda dengan Jaka dan kawan seumurannya yang sudah lama hidup dan berdampingan dengan apa yang dikata orang kekuatan gaib. Bahkan masih ada yang meletakkan sesajen di pohon keramat, di depan desa. Dan masih ada yang pang-numpang-numpang, kalau lewat perbatasan Saninten dan Seketi.

"Bisa."

Jaka menegakkan punggung dan semakin menajamkan pendengaran. Dia juga mengasah ingatan untuk menduplikat omongan yang akan terlontar. "Bagaimana caranya, Kang?"

"Harus mati dulu."

Jaka tersentak.

"Hush! Enggak harus mati ditimpa timba. Enggak harus menumbalkan diri sendiri atau orang lain."

Jaka merasa, kalau bukan hanya dia yang penasaran. Beberapa teman yang duduk di dekatnya terlihat antusias.

"Bagaimana, Kang?" Bahkan mereka kompak bertanya.

Dari obrolan di pos siskamling itulah Jaka langsung meluncur. Tidak mau membuang waktu. Terlebih, takut keduluan.  Memakai gamis putih seusai arahan dan  menyisir rambut sebanyak 99 kali, Jaka memilih batu besar dan duduk bersandar. Kakinya geli digelitik rumput, pun nyamuk mulai menyambangi. Namun, Jaka tetap bergeming. Tak sekalipun menepuk nyamuk dan berusaha menahan batuk. Suasana di sekitar tanah luas itu harus sunyi dari gerak manusia. Syarat tambahannya adalah kudu gelap; tidak boleh menyalakan senter apalagi obor.

Sepanjang menunggu, Jaka sudah menyusun rencana dengan apik. Dia akan mempekerjakan tuyul berambut itu, lalu menjadi orang kaya yang melebihi lurah, dan kemudian mempersunting si pujaan hati. Lengkap sudah kebahagiaannya. Namun, yang ditunggu-tunggu tidak muncul. Sampai azan berkumandang, tidak ada adegan di mana angin berhenti berembus, jangkrik dan tokek bungkam, aroma kantil menyengat diiringi cahaya serupa sore, lalu ringkik kuda hitam milik si tuyul berambut terdengar; berbarengan dengan jangkrik yang kembali mengerik dan tokek yang kembali bersuara. Semua itu tidak ada. Hanya masuk angin yang dia dapat.

"Sudah tidur dulu." Si emak yang sudah selesai memijat, segera membantu Jaka merebahkan diri.

Pulang dari sana Jaka langsung ambruk. Beruntung si emak cepat tanggap.

"Kang Amir memang pembual, Mak."

"Bukan gitu. Di sana memang ada, tapi enggak semudah itu buat pelihara. Memang buat apa itu tuyul?"

"Buat lamar Sekar, Mak."

Si emak menggeleng. "Kalau memang jodoh, pasti ada jalannya. Atuh jangan macam-macam. Jangan terlalu dipikirin."

Jaka mengerang. Kepalanya sangat pening. Meski mengangguk, dia akan coba lagi ke sana, siapa tahu memang benar ada si tuyul berambut.




Event MingguanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang