1. Buruk

47 9 0
                                    

*
*
*

Perkataan sang dokter terus terngiang-ngiang di telinga Febby. Perlahan air matanya jatuh, membasahi kedua pipinya yang semakin tirus.

"Umur kamu enggak lama lagi, Nak. Apakah kamu tidak ingin memberitahu kedua orang tua mu?"

Gadis itu semakin mengeratkan genggaman tangannya. Air matanya tidak berhenti untuk mengalir. Mengapa dunia ini begitu kejam? Mengapa ia dilahirkan ke dunia jika hidupnya harus begini?

Perlahan ia mendongak, menatap langit yang begitu cerah. Semilir angin mengelus lembut permukaan wajahnya yang terlihat pucat, dengan hidung yang memerah, dan bibir yang ranum itu terlihat pecah-pecah.

Sakit menyerang kepalanya, ia merasakan dunia ini sedang berputar. Di remasnya perlahan kepalanya dengan erangan yang keluar dari bibirnya.

Sebelah tangannya semakin menarik kuat jaket yang ia pakai. Guna menghangatkan tubuhnya yang menggigil hebat.

Tes.

Setetes cairan merah itu keluar mengenai celana training yang ia pakai.
Perlahan semakin banyak yang keluar melalui hidungnya, bersamaan dengan air mata yang kembali jatuh.

Cepat-cepat ia mengambil tissue di dalam tas selempangnya dan dengan segera ia langsung menghapus darah yang tak habis-habisnya untuk berhenti.

Selesai membersihkan itu, ia berjalan. Pergi meninggalkan pekarangan rumah sakit tempat biasa ia chek up.

Dengan tissue yang masih menyumpal di hidungnya. Febby perlahan berjalan menuju jalan besar dan langsung memasuki taksi yang memang berhenti di situ.

Di perjalanan hanya keheningan yang menyelimuti. Tangan Feby dengan perlahan mengutip helai demi helai rambut yang jatuh berontokan.

Entah mengapa, setelah ia mengidap penyakit mematikan ini, rambutnya perlahan habis.

"Mbak, rumahnya di mana?" Sang supir bertanya, sebab sudah dari tadi Febby tidak menyebutkan alamat rumahnya.

"Jalan Kemenyan, no 05," jawab Febby pelan.

"Buset! Jalan kemenyan? Ntar mbak ini kuntilanak. Udah mukanya pucet gitu," batin supir itu sambil bergidik ngeri.

Setelah sampai, Febby langsung memasuki perkarangan rumahnya yang lumayan luas.

Ceklek!

"Assalamu---"

"Dari mana kamu?!" Suara bentakan itu menggema di ruangan yang luas ini.

"Da--dari rumah sa---" Belum sempat melanjutkan perkataannya, Adam--ayahnya sudah memotongnya duluan.

"Sudah berapa pria kamu layani di luar sana?!"

Degh!

"Yah, Feb ... Febby habis dari---"

Sebuah tamparan besar mendarat dengan mulus di pipi kanan Febby, sampai-sampai Febby tersungkur di lantai dengan punggung yang menghamtam keras dinding kokoh rumah itu.

"Yah ... sa--sakittt ...." Tangis Febby kembali pecah kala yang ayah menarik kuat rambutnya, sehingga kepalanya mendongak menatap ayahnya.

"Jawab pertanyaan saya. Dari mana saja kamu dari kemarin? Dan kenapa uang yang di dalam laci kerja saya hilang?!" bentak Adam dengan keras.

"Febby habis dari rumah sakit, Yah. Dan untuk uang itu, Fe--febby gak tau apa-apa," jawabnya sambil sesengukan.

"Banyak alesan kamu! Bilang aja uangnya kamu ambil, untuk berfoya-foya di club malam sana. Iya kan?!"

5 Months {HIATUS}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang