AKSATRIYA #1

25 4 0
                                    

      Hidup dan mati ada di tangan sang kuasa bukan? Waktunya pun sudah ditentukan, kita hanya bisa menunggu kapan dan di mana ajal kita menjemput. Semua orang pasti akan mati pada akhirnya, entah itu di usia mudanya atau saat sudah menginjak masa tuanya. Lantas kenapa harus ada dokter? Kenapa orang yang sakit harus minum obat? Bukannya sudah jelas hidup dan mati itu adalah takdir yang tidak dapat diubah?

      “Jangan lupa obatnya diminum, jangan sampai kamu harus menginap lagi di rumah sakit.” Perkataan yang sudah tidak asing itu selalu menemani paginya ketika selesai sarapan. Kazela Alixia Diranata, seorang gadis yang baru menyelesaikan sarapannya itu beranjak membawa piringnya ke dapur untuk mencucinya.

      “Biar Abang aja, kamu istirahat sana,” ucap seorang cowok yang hanya berbeda satu tahun dengannya. Hazel Ferdinand Diranata, Kakak kandung Kazel.

      “Cuci piring itu tugas cewek, Abang,” ucap Kazel meneruskan mencuci piring. Hazel hanya tersenyum memperhatikan adiknya.

      Tidak lama Kazel selesai mencuci piring, dia mengeringkan tangannya dengan lap lalu berjalan menuju ruang tengah. Hazel masih setia mengekori Kazel, mereka duduk di sofa depan TV.

      “Bang, kalau aku minta sesuatu bakal Abang kabulin gak?” tanya Kazel membuat Hazel menoleh padanya sebentar lalu kembali menonton siaran di TV.

      “Tumben, biasanya mau apa-apa langsung minta,” jawab Hazel.

      “Jawab aja bakal dikabulin enggak,” ucap Kazel.

      “Tergantung kamu mintanya apa,” jawab Hazel, Kazel terlihat ragu untuk berbicara. Hazel yang menyadari itu menatap Kazel menunggu apa yang adiknya ingin bicarakan.

      “Aku pengen sekolah,” ucap Kazel dengan ragu, Hazel mengerutkan keningnya heran.

      “Kamu kan udah sekolah,” ucap Hazel.

      “Aku pengen sekolah umum, aku bosen homeschooling.” Hazel menghela nafas berat, ekspresinya berubah menjadi datar.

      “Kita udah sering bahas ini, dan jawaban Abang tetep sama gak akan berubah. Abang gak akan izinin kamu.” Kazel sudah tahu akan seperti ini, tapi dia tidak boleh menyerah dia harus meyakinkan Hazel.

      “Bang, pliss ... aku bosen di rumah terus, aku pengen punya temen juga kayak Abang.”

      “Cukup, Kazel. Sekali enggak ya enggak, kamu punya banyak temen. Alena, Pio, Rehan, Bima, mereka temen-temen kamu juga.”

      “Dia temen Abang, bukan temen aku. Kak Alena, Kak Pio, Kak Rehan, Kak Bima, mereka semua temen Abang. Aku pengen punya temen yang sebaya sama aku, aku pengen kayak yang lain bisa jalan bareng temen-temen mereka,” ucap Kazel kesal.

      “Abang selalu kasih apa aja yang kamu minta, selalu penuhi keinginan kamu selain ini, Dek.”

      “Apa Kazel pernah minta itu semua, Bang? Kazel gak butuh Abang beliin baju, tas, atau apapun itu karena semua itu gak berguna, toh Kazel jarang keluar rumah, gak punya temen sama sekali. Kazel cuma mau sekolah Bang, itu aja,” ucap Kazel sambil menangis. Dia sangat kesepian di rumah, sudah tiga tahun dia homeschooling. Hazel hanya diam tidak menjawab.

      “Kalau emang Abang sayang sama Kazel, izinin Kazel sekolah. Cuma itu yang Kazel mau.” Kazel berlari masuk ke kamarnya.

      Kazel mengunci pintu kamarnya, membiarkan badannya luluh ke lantai. Dia menangis, mengeluarkan semua kekesalannya. Sedangkan di sisi lain, Hazel tampak khawatir dan sangat bingung. Apa yang harus dia lakukan, menuruti permintaan adiknya atau tidak. Tidak, dia sangat takut hal yang sama terulang kembali. Dia tidak mau kehilangan lagi, hanya Kazel yang dia punya saat ini.

AksatriyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang