Bab 3

74 15 14
                                    

Pagi merajai. Lingkar istana terlihat lebih hidup setelah satu minggu dalam masa berkabung. Para prajurit perang mulai aktif melakukan pelatihan. Aula pertemuan kerajaan kembali dipenuhi para petinggi dan pejabat berwenang.

Penasihat Yu menyimak seraya menajamkan pendengaran. Beberapa mulut pejabat sering mengeluarkan lidah runcing yang mampu menyayat siapa saja. Usulan tidak masuk akal bersama kuasa yang mereka miliki, membuat sang raja yang sejak awal memiliki kebencian terhadap wilayah-wilayah kecil sekaligus susah untuk ditaklukkan, menjadi lebih berapi-api karena dukungan beberapa pejabat kalangan atas.

Penyerangan wilayah tanpa ada perencanaan matang, keputusan diambil dari sedikit persetujuan, memerintah karena merasa memiliki kuasa hingga menjadikan kalangan rakyat jelata sebagai sasaran. Pajak terlampau mencekik leher, pun tidak raja pedulikan. Keluhan dari beberapa kalangan seniman dan perwakilan klan kecil, hanya dianggap angin lalu.

"Maafkan hamba, Yang Mulia Raja. Tidak bisakah kita menurunkan pajak agar tidak ada lagi pemberontak dari wilayah-wilayah kecil?" Penasihat Yu mencoba mengubah keputusan sang raja yang sering kali diambil tanpa berpikir ulang. Satu-satunya orang terdekat Raja Qin yang mampu mengubah keputusan sang penguasa kerajaan agar tidak berlebihan dalam menindas rakyat.

"Bukankah kita memiliki jenderal besar kuat, Penasihat Yu. Satu kali tebasan pedang mampu membuat mereka kelimpungan!" Nada angkuh dan sombong terdengar nyaris menusuk telinga. Penasihat Yu tersenyum miring, menatap Pejabat Xiu yang sejak awal selalu berselisih paham dengan orang terdekat raja tersebut.

"Tidak semua hal harus diselesaikan dengan kekerasan, Pejabat Xiu. Cukup satu kali kita kehilangan seorang jenderal, jangan ada lagi yang kesekian karena mendahulukan ego!" Putra mahkota berdiri di tengah-tengah pintu aula yang terbuka. Paras menawan yang dimiliki, mampu menarik perhatian seluruh kalangan.

Lirikan tajam, rahang mengeras, dan gigi gemeletuk, menjadi sambutan tidak mengenakkan bagi sang pangeran ketika sengaja menginterupsi pernyataan sekaligus usulan dari seorang petinggi kerajaan. Seorang pejabat berwenang yang membuat kekasih pangeran harus menghadapi peperangan hingga berakhir dengan meregang nyawa.

"Pangeran Qin, tidak biasanya Anda menghadiri pertemuan kerajaan. Sesuatu yang sangat langka, sepertinya." Pelan, tetapi menusuk. Ada nada ketidaksukaan yang terdengar dari Pejabat Xiu hingga membuat beberapa orang mengembuskan napas kecewa. Pangeran Qin menanggapi dengan senyum sinis. Ia melangkah lebih dekat ke arah sang raja hingga hanya terpisah anak tangga yang menuju singgasana penguasa tertinggi kerajaan itu.

"Ayah, mau berapa banyak orang terdekatku yang akan Ayah jadikan korban?" Jemari terkepal dengan erat di belakang tubuh seraya memberikan tatapan tajam ke arah sang raja.

"Jaga bicaramu, Pangeran Qin! Lancang sekali ucapanmu terhadap seorang penguasa kerajaan!" Sang Raja memukul tepian singgasana dengan keras hingga telapak tangan mengeluarkan darah akibat terkena goresan. Penasihat Yu berusaha menenangkan. Ia menatap sang pangeran, memberi instruksi dengan gelengan agar tidak lagi membuat sang raja mengamuk.

Pangeran Qin terkekeh, menggeleng beberapa kali, lalu memutar tubuh seraya meninggalkan aula pertemuan setelah membuat kekacauan. Tatapan sinis ia dapat setelahnya. Meskipun demikian, ia tidak mau ambil pusing. Toh, tidak semua orang yang berada di dalam lingkar istana membenci keberadaan sang pangeran.

"Ah, satu lagi," Pangeran Qin mengehentikan langkah seraya menghadap ke arah Pejabat Xiu, "sekeras apa pun Anda berusaha untuk memisahkanku dengan orang-orang terdekatku, hasilnya tetap sama. Aku tidak akan pernah menerima putri Anda menjadi pengantinku!" Embusan angin dingin terasa menusuk kulit. Aula pertemuan tiba-tiba menjadi sunyi dan dipenuhi dengan aura mencekam setelah Pangeran Qin meninggalkan ruang pertemuan kerajaan. Sang Raja berdiri lalu meninggalkan singgasana dan diikuti oleh Penasihat Yu beserta pejabat tinggi yang lainnya.

Ada kalanya keberanian memang dibutuhkan, seruan pesakitan harus diutarakan, rasa ketidaksukaan harus diungkapkan secara jujur agar tidak terlalu menyakitkan. Sang pangeran sedang berusaha melawan rasa takut dan juga sesak. Ia tidak ingin lagi kehilangan karena salah satu orang terdekatnya sudah menjadi korban atas dendam dan juga penolakan.

"Shen Wu, aku melakukan hal yang benar, bukan?" Mulut sang pangeran berceloteh lirih. Tatapan nanar bersamaan dengan langkah yang ia lakukan secara sembarangan, telah membawa pemuda itu ke sebuah aula terbuka, tempat beberapa prajurit sedang melakukan pelatihan.

Pangeran bergerak cepat. Ia mengabaikan anggukan dan sapaan dari prajurit yang sedang berjaga seraya menerobos kerumunan manusia-manusia setengah telanjang yang sedang bermandikan peluh, lalu menuju ke arah seseorang yang ia kenal.

"Feng Hao Xing!" Pangeran berlari dengan kencang, tidak peduli dengan tatapan mata beberapa orang yang sedang melihat ke arahnya sembari terheran-heran. Para prajurit berlutut hampir bersamaan setelahnya. Si pemuda yang dimaksud menoleh sambil memberikan tatapan nanar karena melihat kaki Pangeran Qin Hui Liu melangkah sembarang sembari menginjak beberapa pedang prajurit yang tergeletak.

"Hati-hati dengan langkahmu, Pangeran Qin!" Jenderal Feng melempar pedang ke sembarang arah. Ia berlari melewati beberapa prajurit yang sedang memberi hormat ke arah sang pangeran. Rasa kesal khawatir menjadi satu kerena melihat pemuda sembrono berlari tanpa tahu tempat.

"Dasar bodoh! Tidak bisakah kamu melihat keadaan sekitarmu!" Jenderal Feng menyambar tubuh sang pangeran, membawa ke dalam gendongan ala pengantin, lalu pergi dari aula pelatihan, meninggalkan seluruh prajurit yang diam-diam saling berbisik seraya menahan senyum.

Kekehan terdengar sesudah itu, Pangeran Qin memeluk leher kokoh sang jenderal sangat erat seraya melayangkan pertanyaan-pertanyaan yang tidak juga diberikan tanggapan.

"Apa aku membuatmu khawatir, Jenderal Feng?" Pangeran sedikit menjauhkan wajah, mendongak agar bisa melihat ekspresi sang sahabat yang sedang marah.

"Sahabatku yang baik, Gege terbaik, Jenderal terhebat, apakah kamu sedang puasa berbicara?" Mata mendelik bersamaan geraman tertahan, membuat sang pangeran mengigit bibir bawahnya. Ia memilih menyandarkan kepala di dada lebar sang jenderal, mencari aman agar tidak mendapatkan amukan ataupun omelan panjang lebar.

Katakan aku egois.
Katakan aku serakah.
Katakan aku bukan orang yang mampu menjaga perasaan.
Katakan aku munafik ketika menolak, tetapi aku imbangi dengan sikap sebaliknya.
Biarlah, jika takdir akan mengutukku atas sikap tidak tahu malu yang aku miliki.
Asalkan dia selalu berada di dekatku, seluruh dunia menolakku, pun akan aku terima.

TBC.

Jarak dan Duka (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang