Bab 6

44 11 9
                                    

Sang surya menampakkan binar. Kerajaan mulai riuh ketika menyadari telah kehilangan dua pemuda pemilik peranan penting di istana. Seluruh prajurit istana diinterogasi. Orang-orang terdekat keduanya, menjadi sasaran pahit dari keputusan yang mereka buat.

Penjaga gerbang menunduk diam. Tidak ada satu pun yang membuka suara. Ketika kesetiaan tengah berakar hingga ke sanubari, maka bisu menjadi pilihan. Beberapa dari mereka telah diseret dan berakhir pada tiang gantungan. Sebagian menjadi lumpuh ketika tangan dan kaki telah terpisah dari tubuh.

Kediaman keluarga Feng sudah dipenuhi beberapa prajurit dan pejabat yang berwenang. Pria paruh baya dan juga sang istri memilih diam. Kepercayaan terhadap sang putra, membuat mereka rela dicambuk hingga ajal menjemput jika memang itu yang terbaik.

Namun, sang raja tidak melakukan itu. Ayah Pangeran Qin memilih mengikuti permainan yang dibuat oleh putra mahkota. Ia meminta prajurit pribadi raja melakukan pencarian ke tempat yang sekiranya diperlukan.

"Pasang pengumuman di seluruh pelosok negeri! Tunggu hingga ada pergerakan!" Sang raja meninggalkan singgasana ruang pertemuan. Senyum miring tercetak jelas hingga membuat Penasihat Yu terlihat gugup. Raja Qin tertawa tanpa minat, menyusuri lorong panjang menuju kamar sang permaisuri yang tengah duduk di permukaan lantai.

Tangisan pilu terdengar samar. Sang permaisuri tidak mampu berbuat banyak ketika Pangeran Qin menjadi buronan atas nama raja, seorang ayah yang tidak satu kali pun mau memahami sikap memberontak yang dilakukan sang putra, sang kaisar pemilik sikap keras hati dan susah untuk ditaklukkan.

"Kemarahan tidak menyelesaikan segalanya, Yang Mulia. Putramu hanya menginginkan kebebasan. Tidak satu kali pun memiliki niat untuk memberontak!" Kemarahan permaisuri berada di atas kepala, lepas dan memelesat tanpa peduli dengan akibat yang ditimbulkan.

Sekian masa mencoba memahami, menerima takdir yang digariskan, menjalani dengan kepatuhan walaupun ada siksa tanpa rupa. Namun, sang permaisuri sepertinya lupa bahwa ayah sang putra adalah iblis berwujud manusia.

"Jangan lupa dengan siapa kamu sedang berbicara, Permaisuri! Putramu tidak akan memiliki gelar seperti sekarang jika bukan karena kebaikan orang sepertiku!" Raja mengibaskan lengan jubah, memutar arah, meninggalkan kamar permaisuri setelah mengucapkan kalimat penuh pesakitan hingga membuat luka lama kembali terbuka.

"Sekuat apa pun seorang raja, ia tetap membutuhkan para bawahan, Yang Mulia!" Permaisuri beranjak dari duduk, menuju pintu keluar dari sisi yang berbeda. Sang Raja mengepalkan jemari seraya mengeraskan rahang. Ia mendesah kasar, membawa langkah tergesa menuju kamar para selir untuk mencari pelampiasan.

Kidung pilu.
Sesak menyelimuti.
Duka merajai.
Pesakitan mengelilingi.
Kuasa menutup mata.
Kedudukan mengalihkan kebenaran.
Tahta membuat manusia lupa bahwa kesempurnaan hanya milik sang penguasa kehidupan.

"Satu-satunya hal yang aku sesali adalah bertahan di sisimu dan membuat putraku tersiksa dengan status yang ia miliki." Permaisuri memasuki ruangan tertutup, mengunci rapat, dan tidak mengizinkan siapa pun untuk mengusik.

******

Kelopak canola beterbangan seiring embusan angin. Membuat titik kuning di beberapa sisi, menjadi penghias kepala ketika beberapa orang tengah berjalan di sela-sela rerimbunan canola.

Sang pangeran tertawa lepas, seolah tidak memiliki beban. Ia berbincang ringan dengan beberapa pemetik canola, membantu sekaligus membuat keributan. Jenderal Feng mengawasi dari kejauhan. Senyum teduh terlihat jelas walaupun ada kekhawatiran yang terlihat hingga seorang pemuda menghampiri sembari menyerahkan gulungan kertas kecil.

"Jenderal Feng, keluarga Anda---"

"Katakan pada yang lainnya, pangeran tidak boleh sampai tahu hal ini!" Si pemilik netra abu membaca setiap kata pada tulisan di kertas. Ia menelisik setiap detail informasi yang tertera. Pemuda itu tersenyum miring setelahnya. Ia menoleh sekilas, menyerahkan gulungan kertas, meminta pada si pemuda segera membakar sampai tidak tersisa.

"Langit terlihat lebih cerah, kawan. Rencanamu hampir sempurna." Sang jenderal mendekat ke arah pangeran yang sedang duduk di antara hamparan canola, mengipasi leher dengan telapak tangan, mengistirahatkan tubuh yang terasa penat seraya tersenyum-senyum.

Panas matahari tidak pangeran pedulikan. Ia terlalu larut dengan kehidupan di luar lingkar istana yang terasa menyenangkan, berdekatan dengan orang-orang berbeda kasta, melihat secara langsung apa yang mereka kerjakan, dan menyantap makanan yang sama.

Keinginan untuk membawa lari ibunda ratu kian menjadi. Terlalu sesak, Pangeran Qin lebih sering melihat sang permaisuri menangis daripada mendapatkan cinta di dalam lingkar istana. Banyak hal yang tidak bisa pengeran pahami selain air mata dan penolakan ketika meminta sang ibu untuk bercerita.

"Memikirkan sesuatu?" Jenderal Feng meminta air minum dari salah satu pemetik canola.

"Minumlah, wajahmu memerah seperti tomat." Jenderal Feng terkekeh, mengusap peluh di pelipis si pemuda sipit seraya memperhatikan putra mahkota menenggak secara perlahan air di wadah.

Netra sang jenderal enggan berkedip, takut jika pemandangan indah di depannya tiba-tiba menghilang. Napas pemuda gagah itu seolah tercekat, sentuhan di jakun yang dilakukan Pangeran Qin, tidak ia pedulikan.

Pangeran Qin menahan senyum, meletakkan wadah air minum di rerumputan, menepis jarak hingga ujung hidung keduanya menempel. Beberapa orang memilih menjauh, menunduk seraya memutar arah. Bagi para pemetik canola, sesuatu yang terjadi tidaklah pantas untuk dilihat oleh orang-orang seperti mereka.

"Feng Hao Xing!" Jenderal Feng terkesiap hingga terlentang pada permukaan tanah. Tangan kokoh pemuda itu refleks menarik si pemuda sipit hingga terjatuh dalam pelukan sang jenderal. Pangeran Qin terkekeh, menekan siku di dada seraya menyangga dagu, kedua alis naik turun sambil tersenyum tipis.

"Apa yang kamu lihat?" Si pemilik netra sipit melihat netra abu sang jenderal sembari menunggu jawaban.

"Matahari." Jenderal Feng memeluk pinggang sang pangeran, duduk secara perlahan, dan memosisikan sang putra mahkota agar duduk nyaman di pangkuan.

"Itu?" Telunjuk sang pangeran menuding ke arah sang pemilik binar paling terang. Jenderal Feng menjawab dengan anggukan. Ia menyentil hidung putra permaisuri seraya menjelaskan secara perlahan.

"Matahari, sang surya, pemilik cahaya paling terang tanpa batas, pusat dari seluruh alam semesta. Serupa seseorang di pengakuanku. Senyumnya, setiap tarikan napas, setiap gerak-gerik yang ia lakukan, menjadi fokus penglihatanku hingga aku enggan untuk berpaling walaupun sangat jelas aku bukan pemilik hatinya."

Sang pangeran menangis dalam diam. Ia tidak mampu menjawab ketika untaian kata manis tengah ditujukan kepadanya. Pemilik sifat kaku bisa berubah begitu menawan ketika berurusan dengan cinta. Putra Permaisuri ingin membalas, tetapi ia tahu semua menjadi sia-sia ketika perasaan pemuda itu masih tertutup dan hanya berisikan satu nama.

"Hei, aku bercanda, jangan terlalu serius." Jenderal Feng mengusap air mata sang pangeran, menarik pemuda itu dalam pelukan hangat seraya membisikkan kata maaf secara berulang.

"Katakan kita tidak berjodoh untuk sekarang. Namun, aku akan mencarimu agar bisa bersama di awal kehidupan yang selanjutnya, Feng Hao Xing."

Tbc.

Jarak dan Duka (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang