Bab 12

46 8 12
                                    

Teruslah tertawa dan biarkan darahku menjadi penutup tangis atas beratnya liku yang kamu alami hingga tidak ada satu orang pun yang memiliki celah untuk mencela.

*
*
*

Derap kuda berlari memenuhi jalanan bersamaan panji-panji hitam peperangan. Jenderal besar kerajaan menarik tali si pemilik surai hitam seraya mengentakkan kedua kaki sambil menyerukan suara lantang, memenuhi isi kota kekaisaran dengan debu beterbangan.

Deretan kuda bergerak tidak ada henti. Mereka fokus pada perintah sang pemilik sambil menerobos pekatnya hawa dingin. Pangeran Qin mencengkeram lengan si pemilik netra kecokelatan dengan erat, menatap jalanan yang dilalui, berusaha menyeimbangkan tubuh agar tidak jatuh dari pangkuan Shen Wu Ze, memangkas air mata sesekali bersama harapan terakhir untuk memperoleh pengampunan dan luluhnya ego sang penguasa kerajaan.

Beberapa meter dari arah depan, prajurit Raja Qin mengarahkan anak panah dan busur pada target yang tengah mendekat, menunggu aba-aba memelesat bersamaan. Gerbang utama istana terbuka lebar, tetapi hampir di setiap sudut dipenuhi manusia membawa persenjataan perang. Benteng-benteng menjulang serupa monster haus darah, setiap mata memandang hanya ada anak panah dan tombak yang siap menembus dada.

Qin Zhui Liu memejamkan mata, mengigit bibir, tangis kian pecah ketika sang kaisar seolah siap kehilangan putra mahkota. Hamparan manusia yang menyambut kedatangan sang jenderal, tidak sedikit pun berniat mundur ataupun memberi jalan.

Satu kali kibasan bendera perang kerajaan, membuat anak panah memelesat, menuju puluhan prajurit berkuda milik Shen Wu Ze yang tengah mencabut pedang dari sarung. Beberapa prajurit mampu menangkis, melindungi kuda, menghalau dengan ilmu pedang yang mereka miliki.

Sebagian lagi tidak mampu bertahan. Anak panah kian deras menghujani sang pangeran. Shen Wu Ze menutup tubuh kecil Pangeran Qin dengan jubah, mencoba melindungi seraya menembus benteng prajurit yang kian padat ketika melihat orang-orang si pemilik netra kecokelatan semakin berkurang.

Peluh bercucuran, beberapa kulit tubuh tergores ujung tombak dan juga anak panah. Namun, niat memasuki gerbang utama tidak pernah surut. Shen Wu Ze menarik tali pengekangan kuda, memaksa masuk sembari mengayunkan pedang hingga pasukan Jenderal Feng yang berhasil menembus benteng selatan kerajaan, mampu menguasai medan pertempuran seraya menghujani pasukan kekaisaran dengan puluhan anak panah.

"Shen Wu Ze! Bawa pangeran bertemu kaisar! Biar aku yang mengurus semua prajurit yang tersisa!" Pangeran Qin yang mendengar teriakan lantang si pemilik netra abu, menoleh seraya menggeleng kuat. Perasaan sang pangeran tiba-tiba tidak menentu, takut kehilangan mengusik kepala hingga tanpa sadar, tangan putra mahkota terulur, seolah ingin menggapai miliknya yang mulai menjauh.

"Tidak! Kita harus masuk bersama!" Jenderal Feng menatap tajam ke arah sang pangeran, memalingkan wajah, mengabaikan penolakan si pemilik netra sipit yang kian menjauh setelah Shen Wu Ze memutuskan menembus kerumunan ketika benteng prajurit mulai tumbang dengan anak panah menembus dada.

Darah bersimbah, mengubah warna jalanan menjadi merah pekat. Bau anyir menusuk penciuman. Sang jenderal masih berusaha menahan serangan selama yang ia bisa hingga berhasil melenyapkan seluruh prajurit istana.

"Fokus pada prajurit di atas benteng! Sebisa mungkin, lenyapkan mereka lebih dulu! Sebagian yang lainnya ikut denganku menyingkirkan mereka yang datang dari arah depan! Apa pun yang akan kalian hadapi, nyawa putra mahkota dan Jenderal Shen harus diutamakan!"

Teriakan pesakitan menggema hingga ke langit. Pertumpahan darah kian menjadi seiring dua kubu yang saling menyerang dan sama-sama kuat. Adu ketajaman pedang, lemparan tombak, lesatan anak panah, tidak satu kali pun menggerakkan kaki sang kaisar agar menghentikan peperangan.

Jarak dan Duka (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang