Bab 5

49 11 17
                                    

Derap kuda membelah jalanan di pusat kota menuju perbatasan selatan kerajaan. Perbukitan seratus ribu tahun tengah dituju dua pemuda dari lingkar istana. Orang-orang menyingkir tanpa adanya seruan. Kepatuhan terlihat jelas ketika mereka menepi seraya menunduk memberi hormat.

Keluar istana adalah jalan yang Jenderal Feng pilih ketika pikiran jernih seolah-olah menghilang. Pangeran Qin mencoba merusak cinta yang tertanam, merusak diri sendiri, mengakhiri segalanya tanpa berpikir dua kali. Si pemilik helaian panjang meratap seraya menggigit lidah, mencoba menahan teriakan agar tidak keluar.

Mungkin, keduanya benar-benar membutuhkan udara segar. Sekuat apa pun seorang petarung, dia akan lemah ketika menghadapi orang yang ia cinta berada dalam fase paling rendah. Pangeran Qin kian terpuruk. Pemilik netra sipit itu mencengkeram lengan sang jenderal seraya memejamkan mata.

"Setelah keluar perbatasan, jangan pernah lagi menoleh ke belakang, Zhui Liu!" Satu sentakan pada tali pengekangan kuda, membawa pasangan berbeda kasta itu ke pondok peristirahatan sang jenderal. Langkah kuda kian cepat seiring seruan sang pemilik. Bobot tubuh dua pemuda di atasannya, tidak menyulitkan si pemilik surai hitam.

Pangeran mencoba menetralkan napas. Ia mengusap air mata secara kasar, melirik beberapa kali ke belakang, menatap wajah si pemuda gagah yang tengah fokus ke depan. Mereka melintasi jalanan pedesaan, rerumputan, semak ilalang setinggi pinggang orang dewasa, lalu hamparan canola yang menjadi batas antara hutan perburuan dengan kawasan penduduk sekitar.

"Jenderal Feng, maaf, hamba tidak memberikan sambutan yang pantas." Seorang pria paruh baya menunduk, mempersilakan sang tuan ke tempat yang biasa mereka gunakan untuk berteduh. Feng Hao Xing turun dari kuda, mengulurkan tangan, membantu sang pangeran menuruni si pemilik surai hitam secara perlahan.

Aroma menyegarkan canola membuat perasaan si pemuda sedikit lebih nyaman. Ada senyum tipis yang terlihat. Gurat-gurat kelelahan tidak lagi tampak. Sorot mata keputusasaan mulai pudar. Rona wajah terlihat cerah menyatu dengan bias cahaya senja. Keduanya berjalan beriringan, melalui jalanan setapak dan diikuti oleh si pria paruh baya.

"Merasa lebih baik?" Feng Hao Xing mengusap rambut panjang Pangeran Qin, memeluk pinggang sang pangeran seraya melihat canola di masing-masing sisi jalan. Putra mahkota terkekeh, menyikut pinggang sang jenderal sambil menjulurkan lidah.

Lagi-lagi ekspresi kaku menyebalkan. Pemilik netra sipit itu mencebik, menyentak pelukan di pinggang, lalu berjalan mendahului yang lainnya. Ia merentangkan tangan, melihat ke sekitar, menghirup aroma wewangian dalam-dalam.

Tatapan memuja tengah Jenderal Feng layangkan kepada sosok menawan dengan pengait emas di kepala. Mulut cerewet dan super berisik mulai terdengar seiring langkah kaki menuju rumah peristirahatan milik sang jenderal.

Keceriaan kembali menyapa. Sang pangeran mulai aktif bertanya ini itu hingga si pria paruh baya hampir saja kewalahan ketika memberi jawaban. Jenderal Feng menggeleng berulang. Merasa gemas, ia menarik kasar lengan sang pangeran, membawa pada langkah cepat, menuju halaman luas, berhias tanaman merambat dan rumput jarum yang ditata rapi.

Sang jenderal memaksa Pangeran Qin duduk di dipan panjang pada emperan rumah, menekan bahu si pemuda sipit seraya jari telunjuk menunjuk hidung, mata mengawasi laksana serigala mengincar mangsa, memaksa putra mahkota duduk dengan tenang tanpa menimbulkan kegaduhan.

"Apa salahku?!" Sang pangeran tidak terima diperlakukan seperti seorang bocah.

"Kekanakan!" Jenderal Feng mengembuskan napas kasar, meninggalkan Pangeran Qin yang mencebik ke arahnya. Bibir Zhui Liu komat-kamit, mata menatap punggung lebar si pemilik netra abu sambil berdengkus.

"Dasar, tidak waras!" Sang pangeran menjulurkan lidah, kedua jari menarik kelopak mata ke bawah, lalu mengalihkan pandangan ke hamparan kuning canola.

"Aku masih bisa mendengarnya, Zhui Liu!" Si pemuda sipit menegakkan tubuh, terkesiap dengan nada tegas sang jenderal. Ia menutup mulut dengan telapak tangan, menahan kekehan agar tidak keluar. Bagi Pangeran Qin, menggoda si pemilik netra abu terasa menyenangkan karena tidak akan merasa was-was mendapatkan serangan mendadak dan juga gigitan gemas.

Beberapa menit terlampaui, pemuda itu merasa bosan. Ia beranjak dari dipan panjang, membawa langkah menuju pekarangan sekitar. Senja yang mulai memudar, menjadi pusat perhatian sang pangeran. Ia menutup mata, mencoba berdamai dengan perasaan yang ia punya, menyamarkan rasa agar tidak terlalu kuat dan memudar seiring waktu laksana senja, rela berganti kedudukan dengan malam tanpa mengutuk waktu.

Biarlah jarak pernah mematahkan hati. Relakan luka karena itu sebuah tahapan menuju kedewasaan. Mencoba berdiri dengan benar seraya menghadapi seribu luka yang sudah menanti tanpa berlari.

"Memikirkan sesuatu?" Pelukan di pinggang, membuat sang pangeran membuka mata, menyudahi angan pedih, menghentikan pikiran buruk yang terkadang berkelana tanpa tahu situasi. Pangeran Qin menyandarkan kepala di dada sang jenderal. Seulas senyum manis mulai terlihat perlahan. Pemuda itu mengusap lembut punggung tangan si pemilik netra abu. Ia memiringkan kepala seraya mendongak.

"Perbukitan seratus ribu tahun, bukankah ini tempat kesukaan kalian berdua?" Pangeran Qin mengusap wajah sang jenderal, memutar tubuh, memeluk tubuh tegap pemuda itu seraya mencari kenyamanan tersendiri.

Tidak ada jawaban, Feng Hao Xing mengeratkan pelukan. Ia mengusap rambut panjang sang pangeran secara berulang sambil melihat hamparan kuning yang mulai terlihat samar karena malam menguasai.

"Pangeran Qin," Sang Jenderal menyandarkan pipi di kepala putra mahkota, "pernah mendengar kisah pemuda dan canola?" Si pemilik netra abu melonggarkan pelukan, beradu tatap seraya mengajak sang pangeran masuk ke rumah. Jemari keduanya bertaut, melangkah perlahan hingga mencapai pintu masuk.

"Buat dirimu senyaman mungkin. Aku akan meminta paman menyiapkan teh hangat." Sang pangeran mengangguk paham, menuju meja rendah di sisi kiri ruangan seraya mengusap kedua lengan bersamaan. Dingin mulai menyapa. Bibir sang pangeran terlihat pucat. Ia menggosok-gosok kedua telapak tangan seraya memberikan tiupan.

"Minum dulu, buat dirimu lebih hangat." Sang jenderal duduk di sisi meja yang satunya setelah memberikan teh hangat dengan uap panas masih mengepul. Keduanya berhadapan hingga membuat pangeran merasa tidak suka. Ia menepuk sisi kanan tempat duduk, meminta si pemilik netra abu untuk berpindah agar keduanya lebih dekat.

"Tsk, lebih nyaman bercerita ketika berdekatan." Pangeran Qin mengerling. Ia menahan senyum seraya mengulum bibir. Jenderal Feng menurut. Ia segera berpindah, menyamankan posisi, mencoba bernapas dengan benar ketika si pemuda sipit menatap ke arahnya.

"Baiklah, aku akan mendengarkan dengan baik. Mulailah bercerita." Pangeran Qin menekan siku di meja seraya menyangga pelipis. Jenderal Feng mengusap wajah kasar, mendesah pasrah lalu mulai bercerita.

"Tidak ada yang istimewa. Hanya seorang pemuda yang mendedikasikan hidup untuk merawat canola karena berhasil menyelamatkan pemuda itu dari kejaran bandit." Jenderal Feng menyesap teh secara perlahan, menatap sang pangeran sekali lagi.

"Hanya sebuah pengabdian. Canola terbiasa tumbuh liar. Ia tidak perlu perawatan khusus. Secara kebetulan berhasil menyelamatkan nyawa pemuda itu karena mampu menutupi tubuh kurus si pemuda di antara rimbunan canola setinggi pinggang orang dewasa." Jenderal Feng mengusap pipi sewarna kapas kepunyaan pangeran.

"Cintamu terhadap Jenderal Shen adalah laksana hamparan canola liar. Tumbuh tidak terkendali. Tidak bisa ditahan ataupun memaksa tunduk." Wajah keduanya kian dekat.

"Lalu, cinta yang aku punya sama besar dengan pemuda itu. Aku tidak membutuhkan balasan, tidak juga tubuhmu, tidak juga senyuman paksa yang justru membuatku semakin sakit." Buliran bening menyusuri pipi sang pangeran. Napas tercekat, suara tertahan, pilu menggerogoti sanubari, menimbulkan bekas dan tidak bisa disembuhkan.

"Cukup izinkan aku selalu berada di dekatmu, melindungi dengan nyawaku, menjadikanmu pemilik hidup dan juga cintaku tanpa perlu balasan ataupun sikap keterpaksaan." Embusan napas hangat menyentuh pipi pucat sang pangeran. Keduanya larut dalam hubungan tanpa kejelasan. Isakan lirih berubah tangisan. Pangeran Qin menyentuh pipi Feng Hao Xing seraya menyatukan dahi keduanya.

"Maaf, maaf, maaf. Tidak seperti itu. Aku hanya---"

"Biarkan aku melindungimu dengan caraku walaupun kematian sebagai taruhannya."

TBC.

Jarak dan Duka (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang