BAGIAN 2

8 2 0
                                    

Aku tidak pernah berpikir jika hidupku akan menjadi seperti ini. Yang aku tahu, ketika aku dilahirkan ke dunia ini, aku merasa senang karena akan berkumpul dan mendapatkan kasih sayang dari keluargaku. Tapi, nyatanya semua itu tidak sejalan dengan apa yang aku inginkan.

Semenjak kepergian Ibu, aku sama sekali tidak pernah merasakan kasih sayang dari Ayah terlebih lagi dari Kakakku sendiri. Bukannya kata orang, seorang Kakak akan sangat menyayangi adiknya? Tapi kenapa itu tidak berlaku untukku. Bahkan yang tidak pernah terlintas di dalam pikiranku, Kakakku sendiri membeberkan bahwa kematian Ibu itu disebabkan olehku. Lewat sosial media satu sekolah SMA Cempaka mengetahui itu.

Aku berusaha untuk tegar dan sabar menjalani semua ini. Mungkin memang ini takdir Tuhan yang sudah digariskan untukku. Sampai saat ini aku belum tahu pasti meninggalnya Ibu disebabkan oleh apa. Apa memang betul karena melahirkanku, atau memang ada faktor lain? Aku tidak bisa berbuat apa-apa selain menerima semua ini, menerima segala ejekan serta cemoohan dari teman-temanku. Belum lagi ketika aku di rumah Ayah selalu kasar kepadaku, sedangkan kepada Kakakku Ayah selalu bersikap lembut. Pikiran negatif selalu memenuhi otakku, aku meyakini jika Ayah tidak menginginkan aku lahir.

Kini aku dan Bella tengah berada di kantin. Aku memesan bakso dan dia mie ayam. Tidak lama menunggu, pesenan kami datang. Karena perut memang sudah lapar, kami langsung melahap makanan itu. Sesekali aku melihat Bella, seperti tidak ada beban yang ia rasakan dalam hidupnya. Wajahnya selalu menunjukkan jika dia sedang bahagia. Kasih sayang yang diberikan kedua orang tuanya kepada Bella begitu sangat besar, terlebih lagi Bella adalah anak satu-satunya sedangkan, aku? Sama sekali tidak merasakan itu

“Ra, besok-besok jangan datang pagi dan kerjain piket lagi ya,” ucap Bella sambil menyeruput minumannya itu.

Aku menggeleng, mengaduk-ngaduk kuah bakso yang sebentar lagi akan habis. “Enggak Bella, aku enggak apa-apa kok kalau harus piket setiap hari seperti itu.”

Bella langsung meghentikan aktivitas meminum esnya itu, lalu menatapku dengan tatapan yang sangat intens, “Enggak apa-apa gimana sih? Gue tahu lo capek ngerjain itu semua. Lo pikir mereka peduli sama lo? Enggak Naura. Susah banget sih kalau dibilangin.”

Tuhkan benar apa kata aku, Bella akan semarah ini jika sudah melihat aku di-bully atau disuruh-suruh oleh teman-teman sekelas. Sebetulnya aku tidak masalah jika harus mengerjakan piket setiap hari, tapi Bella selalu melarang dan tidak suka jika aku harus seperti itu terus.

“Aku nggak mau mereka akan semakin mem-bully-ku, kalau aku enggak ngelakuin itu Bella,” balasku masih bersikeras.

“Gak akan ada yang berani bully lo di sini. Gue bakal terus ada buat lo, bakal maju paling depan buat ngebela lo.”

Aku terteguh mendengarnya, ternyata masih ada orang yang sayang dan peduli kepadaku. Aku tidak tahu harus mengucapkan terimakasih seperti apalagi sama Bella.

“Bella, maaf selalu ngerepotin kamu.” Aku memeluk Bella tanpa minta persetujuannya lebih dulu, hampir saja air mataku menetes. Tapi sebisa mungkin aku tahan. Aku tidak ingin Bella semakin kasian sama aku. Tanpa berkata apapun Bella membalas pelukanku, pelukan yang selalu aku rindukan. Sampai detik ini hanya Bella yang selalu memelukku, memberika aku kekuatan agar selalu sabar menghadapi semua masalah ini.

“Gak usah minta maaf terus. Gue tulus bantu lo, gue nggak mau lo terus-terusan tertekan sama masalah yang lo hadapin. Gue yakin semua pasti akan menemukan titik terangnya, yang harus lo lakukan sekarang itu sabar dan jalanin semua dengan semestinya.”

Aku semakin memeluk Bella dengan sangat erat. Sampai aku tidak sadar kalau air mataku sudah jatuh membasahi pipi dan pasti baju Bella sedikit. Dia lantas melepaskan pelukanku, menghapus air mataku, dan terakhir mencubit pipiku.

“Aku gak tahu harus sama siapa lagi aku cerita. Makasih Bella udah mau jadi sahabat aku selama ini,” ucapku menghapus sisa-sisa air mataku.

“Iya sama-sama. Cerita apa pun sama gue, jangan simpen masalah lo sendiri ya. Udah ah jangan melow terus nanti gue malah ikutan mewek lagi.”

Dia tertawa sambil memperlihatkan wajah so ikutan melownya itu. Aku pun malah jadi ikut tertawa karena melihat Bella yang seperti itu.

Deretan meja yang berada tak jauh dari kami. Tania terus memperhatikan kami dengan tatapan sinis dan seolah memandangnya dengan jijik. Tania memang selalu seperti itu, setiap kali aku ke kantin dan makan bersama Bella, dia pasti akan memandang kami dengan sinis. Aku sengaja selama ini hanya diam ketika dia membullyku, mengata-ngatain ku dengan kata-kata yang tidak pantas. Semua itu aku lakukan hanya untuk membuat Tania berhenti membully aku, tapi ternyata dia malah semakin menjadi membully aku. Belum lagi anak-anak SMA Cempaka yang lain. Tuhan beri aku kesabaran untuk menghadapi semua bullyan mereka.

Aku tidak mengerti kenapa mereka bisa-bisa termakan oleh gossip yang dibuat oleh Kakakku sendiri. Padahal belum ada bukti yang akurat untuk membuktikan tuduhannya itu, aku sekarang hanya bisa bersabar agar semua masalah ini cepat selesai dan menemukan titik terangnya.

Aku tidak ingin mendengar ejekkan dan perkataan tidak pantas dari mereka. Tetapi, selalu saja terdengar di telingaku. Bella melirikku, seolah tahu apa yang sedang aku rasakan. Karena aku yakin dia pun pasti mendengar ejekkan teman-teman di kantin ini. Bella mengusap lenganku seolah memberikan aku kekuatan.

“Jangan didenger ya, kalau itu bikin lo makin sakit hati.” Dia tersenyum masih dengan keadaan mengelus tanganku.

Aku mengangguk dan mencoba untuk tersenyum. Mungkin Bella benar, aku harus berusaha untuk pura-pura tidak mendengarnya biar aku tidak makin sakit hati. Tapi, apa aku bisa melakukan itu, mengingat ejekkan mereka begitu terang-terangan.

Aku dan Bella memutuskan untuk kembali ke kelas. Padahal makanan kami belum sampai habis. Mungkin Bella paham dengan situasi dan perasaanku jika terus berlama-lama dikantin seperti apa.



***


Bel pulang sekolah sudah berbunyi lima menit yang lalu. Hari ini Bella pamit pulang duluan, biasanya aku selalu diantar pulang oleh dia. Aku berjalan menuju halte, menunggu angkutan umum yang lewat. Tiba-tiba saja Tania dan teman-temannya menghampirku lalu menyiramku dengan sebotol air. Aku kaget dan takut.

“Harusnya lo sadar, lo itu gak pantes sekolah di SMA Cempaka!” kata Tania melipat kedua tanganya di dada sambil menatap aku sinis dan tajam.

“Apa hak kamu melarang aku sekolah di sini?” aku mencoba berani mengingat kata-kata Bella kalau aku harus berani sama Tania.

“Karena lo itu pembunuh, dan pembunuh gak pantes buat sekolah. Lo tahu gak, kalau lo itu Cuma ngotorin nama sekolah aja!”

Dadaku rasanya sakit sekali. Tolong aku bukan pembunuh.

“Aku bukan pembunuh!”

Aku masih mencoba untuk membela diriku. Sampai kapan aku harus dicap sebagai pembunuh terus. Tetapi, Tania malah mendorong aku dengan begitu keras, aku meringis melihat telapak tanganku yang berdarah akibat terkena tembok.

“Gue peringat sama lo, lebih baik lo keluar dari sekolah ini!!” setelah mengucapkan kata itu Tania dan teman-temannya pergi meninggalkanku.

Aku menangis, rasa sakit ditanganku tidak ada apa-apanya dibanding dengan rasa sakit yang ada dihatiku ini. Tiba-tiba saja ada sebuah tangan yang menjulur. Aku mendongka melihat tangan siapa itu. Aku diam begitupun dengan dirinya. Setelah cukup lama kami terdiam akhirnya aku tersadar begitupun dengan dirinya.

Kak Sakala untuk apa dia di sini.

Batin aku terus bertanya. Sembari dia membantu aku untuk bangun, masih dalam kediamannya itu, lalu kami duduk di bangku panjang halte.

“Udah berapa sering di-bully kaya gitu sama Tania?” tanyanya dengan wajah lempeng dan dinginnya itu.

Aku menunduk sambil menggelengkan kepala. Aku tidak ingin mereka kasian sama aku.

“Jawab Naura?” tanyanya lagi namun kali ini nadanya begitu tegas, membuat aku merinding seketika. Akhirnya aku mengangkat kepalaku dan menatapnya dengan ragu.

“Udah lama Kak, semenjak berita itu menyebar ke semua murid-murid SMA Cempaka, aku menjadi bahan bully-an mereka.”

Oh tidak! aku menggerutu perkataanku sendiri.. Kenapa pula aku harus bilang ke dia sama apa yang sudah terjadi sama diriku, memangnya dia bakal peduli. Duh Naura bodoh sekali kamu.

“Gue bakal lapor ini ke kepala sekolah. Biar gak ada lagi pembullyan di sekolah,” katanya yang begitu tegas.

“Jangan Kak, aku mohon jangan. Aku gak mau nanti malah bikin masalah baru,” aku memohon kepadanya.

Jujur aku takut jika nanti bakal ada masalah baru setelah ini. Dia terdiam dan beralih memandang telapak tanganku yang berdarah. Dia membuka tasnya lalu mengeluarkan sebuah plester dan tisu.

“Sini tangan lo, obatin dulu biar gak infeksi.”

Aku kaget karena dia langsung menarik tanganku, membersihkannya dengan tisu, setelah bersih dia menempelkan plester itu ditanganku. Dalam hati aku tersenyum, ternyata masih ada orang yang peduli sama aku.

“Nanti dirumah ganti lagi,” katanya masih dengan wajah yang lempeng.

“Makasih ya Kak, maaf jadi ngerepotin Kakak.”

Jujur aku merasa sangat tidak enak. Bisa-bisanya seorang Sakala Fajar Saputra. Yang kadang terkenal dengan sikap dinginya itu, bisa datang diwaktu yang tepat untuk menolongku. Tuhan jika ini mimpi tolong jangan bangunkan aku. Jika ini nyata tolong ulang kembali momen seperti ini.

“Yaudah gue duluan, lo hati-hati.” setelah mengucapkan itu Sakala langsung pergi. Dan aku hanya bisa memandang kepergiannya saja.

Aku masih terdiam dan memandangi kepergiannya. Jantungku rasanya berdetak begitu kencang. Sebenarnya ada apa dengan jantungku ini, kenapa bisa seperti ini. Oh, sadar Naura tidak mungkin Sakala ada rasa kamu barusan itu dia cuma nolongin lo doang nggak lebih.

Coba saja bayangkan jika tadi tidak ada Sakala, mungkin lukaku ini masih belum aku obatin sampai rumah. Setidaknya lukaku ini sudah mendapatkan pertolongan pertama dan jika nanti sudah sampai rumah tidak diganti saja plesternya.

****

TBC

Vote dan komen jagan lupa yaa.

Dukung juga akun penulis igisantika

Di Mana Kasih Sayang Untukku?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang