BAGIAN 3

4 2 0
                                    

Setelah cukup lama menunggu kendaraan umum akhirnya ada juga yang lewat. Aku buru-buru langsung menaikinya karena hari sudah mulai sore, aku takut jika nanti Ayah dan Kakak akan semakin marah kepadaku. Tiba dirumah aku langsung masuk ke dalam niat hati ingin mencium tangan Ayah, tetapi malah diabaikan dan tidak direspon sama sekali.

Perasaanku? Tentu saja sakit, tapi aku coba untuk tahan semua ini Ayah pergi meninggalkanku ke kamar, dan aku pun langsung masuk kekamar untuk berganti baju dan mengerjakan pekerjaan rumah yang sebagai belum selesai. Belum lagi aku harus masak untuk makan malam nanti, jika telat aku pasti akan dimarahi Kakak dan dipukul oleh Ayah. Aku tidak tahu sampai kapan mereka akan terus bersikap seperti itu.

Selesai mengepel rumah dan memasak, aku langsung menaruh masakan yang sudah aku masak  itu di meja makan. Menatanya serapih mungkin, siapa tahu nanti Ayah atau Kakak akan mengajakku untuk makan bersama. Sampai detik ini pun aku belum pernah makan bersama mereka, ketika aku hendak duduk dikursi meja makan itu, tatapan Kakak langsung sinis kepadaku, tetapi kali ini Ayah hanya diam saja.

Masih dalam keadaan hening aku mencoba untuk membuka suara lebih dahulu. “Apa aku boleh ikut makan di sini sama kalian?” tanyaku dengan nada sedikit pelan.

Rachel--Kakakku langsung mengangkat kepalanya menatap aku dengan tatapan sinis dan menakutkan,”Siapa yang suruh buat lo makan di sini bareng sama kita?” tanyanya dengan nada begitu keras. Aku hanya bisa menunduk saja sama sekali tidak berani menatapnya.

“Sekali ini aja Kak, izinin aku buat makan bareng sama kalian,” balasku masih dengan kepala yang menunduk. Aku sangat berharap kali ini mereka akan mengizinkanku.

“Gue gak mau ya, makan bareng sama orang yang udah bikin Ibu gak ada!” kata Rachel dengan nada tinggi. Tuhan sakit sekali rasanya mendengar itu. Aku harus tahan tidak boleh menangis di depan mereka.

Aku berusaha mengangkat kepala menantap Kakak dengan gugup. “Aku bukan penyebab Ibu meninggal Kak,” kataku dengan nada parau. Jauh dari lubuk hatiku sangat sedih dan sakit.

“Kalau bukan karena ngelahirin lo, Ibu pasti masih ada didunia ini.”

“Aku enggak pernah minta buat dilahirin kedunia ini Kak. Aku minta maaf kalau kehadiran aku bikin Ibu malah enggak ada dan bikin kalian malah semakin tidak suka,” ucapku dengan penuh keberanian.

“Apa dengan kata maaf lo bisa bikin Ibu balik lagi? Enggak kan!” Rachel semakin marah sampai membanting sendok. Sedangkan Ayah hanya diam saja melihat pertengkaran kami.

Aku diam, air mataku malah berhasil keluar dari sudut mataku. Aku buru-buru langsung menghapusnya. Aku tidak tahu harus dengan cara apa lagi untuk meyakinkan mereka bahwa aku bukan penyebab Ibu meninggal. Sebegitu benci dan tidak menginginkan kehadiran aku kah mereka. Kenapa aku sangat terlihat buruk di mata mereka.

“Semenjak lo hadir, semua keadaan dan suasana di keluarga ini berubah. Semua seakan hilang dikeluarga ini, dan itu semua gara-gara lo lahir!” ucapan Rachel semakin membuat hati aku tergores dan sakit.

“Asal kamu tahu ya Naura, saya tidak pernah menginginkan kamu lahir. Saya sempat membujuk Ibumu untuk menggugurkannya kandungannya, karena saya tidak ingin mempunyai anak lagi selain Rachel. Tapi Ibumu terus bersikeras untuk mempertahankan kandunganya itu.”

Demi Tuhan, aku tidak sanggup untuk mendengarkan penuturan Ayah lagi. Sudah cukup semua fakta ini. Aku masih berusaha untuk bersikap seperti biasa dan tidak melawan kepada Ayah. Tapi jauh dari itu semua aku sangat amat rapuh.

Bisa-bisanya dengan secara terang-terangan Ayah berbicaran seperti itu, apa dia tidak tahu kalau hati aku ini sudah sangat sakit karena perlakukannya selama ini.

“Aku minta maaf Ayah jika kehadiran aku menganggu ketenangan hidup kalian, aku enggak pernah mau jika akan dilahirkan di dalam situasi seperti ini.” Aku berusaha untuk membela diriku meskipun aku tahu itu tidak akan membuat keadaan menjadi baik.

Rachel melipat kedua tangannya di atas dada dengan tatapan sinis dan tajam kepadaku. Aku selalu takut jika melihat itu tapi aku harus berusaha untuk tidak takut dan biasa saja. “Selera makan gue jadi gak nafsu gara-gara lo. Mending lo pergi dari sini sekarang,” katanya tanpa memikirkan perasaanku bagaimana saat ini.

Tidak menjawab, aku buru-buru langsung meninggalkan mereka. Berlari ke kamar, kemudian mengunci pintu. Tubuhku seketika langsung lemas dan merosot dibalik pintu. Memeluk lutut sambil menangis sejadi-jadinya mungkin akan membuat aku sedikit membaik. Hatiku rasanya seperti ditusuk beribu-ribu pedang saat ini, perih dan sakit sekali. Kenyataan yang baru saja aku terima dari mulut Ayah langsung membuat aku semakin merasa bersalah atas meninggalnya Ibu.

“Ibu maafkan aku jika dengan melahirkan aku, membuat Ibu malah harus meninggalkan dunia ini. Tanpa Ibu tahu bagaimana aku menjalankan hidup ditengah keluarga yang tidak menginginkanku seperti ini.”

Aku semakin memeluk lututku dengan erat. Bukan semakin reda tangisan ini, aku malah menangis sembari sesegukan. Aku meraih foto Ibu yang berada di atas nakas, lalu aku memeluknya dengan erat. Setidaknya dengan memeluk foto Ibu seperti ini membuat aku sedikit lega dan merasa ada seseorang yang memberikan aku semangat.

Aku tidak tahu sudah berapa lama aku menangis dibalik pintu ini. Tubuhku seolah tidak ada energi untuk melakukan aktivitas lain selain menangis dan menangis saja. Baik, mungkin malam ini aku sangat rapuh dan butuh istirahat untuk memulihkan badanku kembali. Sebelum beranjak ke kasur untuk tidur, aku sempatkan dahulu untuk melihat bintang di atas langit sana. Aku harus bercerita kepada dia, karena hanya bintang teman setiaku ketika malam hari.

“Bintang, aku ingin seperti mereka yang selalu mendapatkan kasih sayang dari keluarganya sendiri. Tapi kenapa itu sangat sulit untuk aku dapatkan, haruskan aku leyap dari bumi ini agar mereka senang?” aku bergunam sambil bertanya entah kepada siapa.

Setelah selesai, aku putuskan untuk beranjak ke kasur dan tidur. Mungkin dengan cara tidur akan membuat aku sedikit lebih tenang. Semoga hari esok akan menyenangkan.

***
Kembali pagi menyapa dengan sangat indah. Aku sudah siap untuk berangkat sekolah, sudah selesai mengerjakan pekerjaan rumah sebagian dan sebagiannya lagi aku kerjakan ketika nanti pulang sekolah. semalaman aku tidak bisa tidur alhasil mataku jadi berkantung. Aku takut jika nanti di sekolah Bella akan bertanya soalnya mataku ini.

Setelah menyiapkan sarapan aku langsung pamit kepada Ayah. Namun, seperti biasa tidak ada respon dari dirinya. Aku sudah harus terbiasa dengan sikap Ayah yang selalu seperti ini kepadaku, jauh berbeda sikapnya kepada Rachel---Kakakku. Ayah lebih sayang sama dia, lebih perhatian sama dia, sedangkan sama aku? Boro-boro mau ngasih perhatian, ngajak aku makan bareng saja tidak pernah. Bisa kalian bayangkan bagimana rasanya aku ini.

Aku sengaja membawa sarapan ini sebagai bekal. Aku lebih baik sarapan di sekolah saja, daripada harus di sini. Aku tidak ingin jika harus melihat mereka bersikap terang-terangan terhadap ketidaksukaannya mereka sama aku. Aku lebih baik mengalah demi membuat mereka bahagia dan tidak menunjuk sikap itu di hadapanku.

Seperti biasa aku berangkat menggunakan kedaraan umum. Cukup lama aku menunggu akhirnya ada juga yang lewat. Aku langsung saja menaikinya dan duduk di dekat jendela. Alasan aku sering duduk di dekat jendela ialah agar bisa melihat orang yang berlalu-lalang di pagi hari. Terkadang aku sering melihat seorang Ayah yang sedang membonceng anaknya, hendak mengantarkannya kesekolah. Aku selalu berharap apakah aku bisa seperti itu dengan Ayah? Tapi kenapa seolah kenyataan tidak pernah sejalan dengan apa yang aku inginkan. Semua itu selalu saja meleset dari perkiraanku. Aku tersenyum miris melihat diriku sendiri yang mempunyai keinginan seperti itu namun, pada kenyataannya tidak akan pernah bisa terwujud.

Sudah menjadi kebiasaan aku selalu datang lebih pagi, ketika teman-temanku mungkin masih berada dirumah sedang sarapan bersama keluarganya. Aku membuka bekal sarapan yang aku bawa, lalu aku mulai memakan bekal itu secara perlahan. Coba saja aku bisa sarapan bareng keluarga sendiri dirumah pasti rasanya tidak akan sesepi ini. Tapi, apa semua itu bisa? Keinginan kecil yang sulit sekali untuk aku wujudkan.

Satu persatu teman sekelasku mulai berdatangan, seperti biasa mereka selalu menatapku dengan tatapan sinis dan jijik. Aku sudah biasa mendapatkan tatapan seperti itu, jadi aku sudah kebal. Sarapanku sudah habis, aku kembali memasukan kotak bekal itu ke dalam tas. Setelah itu aku meneguk air minum yang aku.

Tidak lama Bella pun datang dan langsung duduk di sebelahku. Selang beberapa menit dari kedatangan Bella guru pun datang dengan membawa setumpuk buku di tanganya. Pelajaran pertama di mulai yaitu IPA sampai jam istirahat nanti. IPA salah satu pelajaran yang aku sangat sukai. Dalam pelajaran ini aku bisa mengetahui nama-nama bintang dan mengenal bintang lebih jauh lagi. Aku sering bercerita dengan bintang-bintang di atas langit sana ketika malam hari. Dan ketika aku sedang bersedih, meskipun aku juga tahu mereka hanya akan selalu menjadi pendengar yang baik saja tanpa memeberikan solusi.

Tidak apa-apa aku tetap senang, setidaknya aku mempunyai teman ketika malam hari. Setelah Bu Tati menjelasakan kepada kami semua dan memeberikan kami tugas. Tugas itu harus selesai sebelum jam istirahat tiba. Tidak butuh waktu lama aku dan Bella sudah selesai mengerjakan tugas dan bel istirahat pun berbunyi, seperti bisa kami semua langsung berhamburan ke kantin untuk mengisi perut yang sudah lapar.

****

TBC

Yuhuu jangan lupa vote dan komennya.

Follow igisantika

Di Mana Kasih Sayang Untukku?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang