BAGIAN 6

4 1 0
                                    

Hujan akhirnya sudah reda, aku buru-buru langsung beranjak dari tempat duduk. Namun, tiba-tiba saja tanganku ditarik oleh Sakala. Aku tidak mengerti apa maksudnya, kami malah saling bertatap dalam keadaan yang sama-sama diam. Jantungku semakin berdetak tidak karuan saat Sakala entah dengan sengaja atau tidak menatapku begitu lama. Siapa sih yang tidak deg-degan ditatap sama orang yang kita suka.

Cukup lama, akhirnya kami berdua tersadar dan Sakala langsung mengalihkan pandangannya begitupun dengan aku. Rasanya aku ingin menghilang saja dari hadapannya sekarang juga. “Gue anter pulang ayo.” katanya dengan wajah yang tanpa ekspresinya itu.

Lagi-lagi aku dibuat melongo oleh ucapannya. Sebenarnya ada angin apa Sakala ingin mengantarnya pulang. Apa dia menyukai ku? Oh shit! Naura mana mungkin Sakala suka balik sama kamu, yang ada mungkin dia ilfeel.

Sesaat aku tersadar dari lamunanku sendiri, berusaha untuk bersikap tetap tenang di depan Sakala. “Enggak usah aku, bisa pulang sendiri kok Kak,” aku berusaha untuk menolak dengan cara yang sopan.

“Biar gue anter, gak ada penolakan,” ucapnya lalu menarik tanganku agar cepat menaiki motornya.

Selama diperjalanan tidak ada obrolan diantara kami. Sakala fokus dengan jalanan sedangkan aku fokus dengan pikiranku sendiri. Aku takut jika Ayah akan semakin marah jika mengetahui aku pulang bersama laki-laki, belum lagi perkataan Rachel---Kakakku sendiri yang pedas dan sering menyakiti hati.

Aku harus memberikan jawaban jujur jika nanti ditanya oleh Ayah, toh ini bukan kemauan aku untuk diantar pulang oleh Sakala, dia sendiri bukan yang menawarkan. Sebenarnya ada apa ini? Apa yang sedang terjadi dengan Sakala, kenapa tiba-tiba saja dia bersikap sangat peduli kepadaku.

***

Setelah mengatarkan aku pulang sampai rumah, Sakala langsung pergi karena memang aku yang nyuruhnya agar cepat-cepat pergi dari sini. Aku tidak mau jika nanti Ayah melihat dan memarahi Sakala. Tetapi, aku sangat beruntung kali ini rupanya Ayah belum pulang, serta Kakakku juga sedang tidak ada dirumah. Akhirnya aku bisa bernapas lega dan masuk ke dalam rumah, serta langsung membersihkan diri dan menyiapkan makan malam.

Selesai menyiapkan makan malam, aku langsung bergegas ke kamar sambil membawa makanan. Karena kalian tahu, aku tidak pernah diizinkan ataupun diajak makan bersama dimeja makan. Aku harus bisa memahami mungkin mereka seperti jijik melihatku. Lantas, aku langsung melahap makanan itu karena perutku sudah sangat lapar sekali.

“Semoga Ayah dan Kakak tidak marah. Karena aku sudah menyiapkan makan malam tepat waktu,” aku bergunam sambil memasukan suapan terakhirnya makananku ke dalam mulut.

Aku mendengar suara Ayah dan Kakak dari dalam kamar, sepertinya mereka sudah pulang. Aku mengintip dari celah pintu nampaknya kini mereka tengah memakanan masakan yang aku makan dengan sangat lahap. Dalam hati aku sangat senang sekali, setidaknya mereka masih mau memakan masakan yang aku buat itu.

“Semoga, suatu saat nanti aku bisa makan bareng sama kalian berdua disatu meja makan.”

Aku hanya mampu memandangi mereka dari celah pintu kamar saja. Aku tersenyum dan tanpa izin air mataku malah menetes tiba-tiba. Aku langsung menghapuskan. Kembali aku menutup pintu kamar dan berjalan ke arah jendela, untuk makan sambil melihat bintang-bintang di atas sana.

“Terima kasih bintang, selalu menemaniku.”

***

Aku tidak mengerti, kenapa semua orang di sekolah ini menatapku dengan sinis pagi ini, aku seperti mangsa yang akan diterkam saat ini. Aku berusaha untuk mengabaikan itu semua, tetapi ucapan murid yang saling berbisik sukses membuat hatiku rasanya seperti dicabik-cabik. Seperti ini diantaranya.

Di Mana Kasih Sayang Untukku?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang