Chapter 6

4.4K 190 2
                                    

Ayo mana yang nunggu update?
Vote dulu yuk, coba:)

Ini panjang kok tenang, tapi nggak
sepanjang part kemarin xixixi

Dah, yang penting jangan lupa vote, komen, dan share, oke?

***

Kedatangan sosok lelaki itu mengundang tatapan seluruh penjuru rumah. Tiga orang dengan satu diantaranya seorang pria terlihat tengah duduk di sofa ruang tamu tanpa menanggalkan tatapan tajam yang terus tertuju pada lelaki yang baru saja memasuki rumah itu.

Beberapa menit kemudian, belum ada suara yang memecah keheningan. Bahkan lelaki itu yang tadinya berniat untuk memasuki kamar dan segera beristirahat memilih mengurung niatnya.

"Dania, masuk kamar!" titah pria itu yang langsung membuat seorang gadis berusia enam belas tahun itu menurut, belum lagi nada yang tegas membuat siapapun tidak akan bisa membantah.

Sekarang, tertinggal dua orang lelaki dan satu orang wanita yang masih berdiri tidak jauh dari undakan tangga.

Suasana tegang, walaupun keheningan terus melingkupi ruangan itu, namun kesan serius dan tebakan tentang akan terjadinya sesuatu itulah yang membuat suasana kali ini tidak bisa dikatakan bercanda.

"Daniel," panggil pria itu dengan nada yang jelas kentara mengandung kegeraman di dalamnya.
Ya, lelaki yang baru saja memasuki rumah itu adalah Daniel. Masih dengan seragam sekolah menyisakan dalaman kemeja putih yang lusuh karena keringat. Di bahu kiri tersampir salah satu tali ranselnya, lalu lengan kanannya menenteng almamater Cakrawala yang keadaannya tidak jauh beda dengan seragam.

Tidak ada jawaban dari Daniel atas panggilan itu, hingga konsekuensi yang terjadi adalah sebuah telepon rumah terbanting begitu saja membuat wanita yang sejak tadi terdiam hanya bisa menutup mulut karena syok.

"Daniel disini, Pa!" Daniel baru menjawab. Nafasnya memburu menatap telepon yang tergeletak mengenaskan di lantai. Daniel mengumpat dalam hati, jika saja telepon itu bisa berbicara, mungkin telepon itu akan terus memberikan kata kasar pada Daniel. Sebab, karena ulah Daniel, telepon itu selalu saja menjadi pelampiasan.

Pria yang selalu Daniel sebut dengan panggilan papa itu menatapnya tajam. Daniel tidak bergerak dari tempat, yang berarti ia sama sekali tidak terusik oleh tatapan itu. Toh, marah ataupun tidak, tatapan papanya memang selalu seperti itu---tajam kearah lawan bicara.

"Dari mana saja, kamu?!" tanya Tama pada anak sulungnya itu. Lagi-lagi Daniel tidak segera menjawab, cowok itu malah memilih melirik jam besar yang letaknya tidak jauh dari tempat ibunya berdiri.

Jam tujuh malam, pantas saja kedatangannya disambut penuh sukacita dengan kemarahan Tama.

"Daniel---"

"Pa," sela wanita itu yang tidak tega putra sematawayangnya terus menerima kemarahan sang suami. Hal yang ia lakukan barusan tentu saja membuatnya mendapat tatapan tajam dari Tama.

"Jawab kamu darimana?" tanya Tama kembali menatap Daniel. "Jangan sampai kamu jawab kalau kamu habis ngurus alat musik kamu yang nggak jelas itu!"

"Emang bener, kok!" jawab Daniel santai.

Tama mengetatkan rahangnya, kemarahan pria itu terus saja dipancing oleh Daniel. Belum sempat ia meluapkan, suara dering ponsel lebih dulu menghentikan niatnya.
Ia segera menunduk mengambil ponsel yang tergeletak diatas meja dan segera mengangkat panggilan itu.

"Ya? Ya baik, saya akan segera ke sana!" Tama mematikan sambungan teleponnya, tatapannya kembali menghadap Daniel yang melengos, lantas beralih pada istrinya yang juga tengah menatapnya.

HeartbeatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang