Diriku

31 5 7
                                    

Matahari yang menyengat panas, tak mampu menghentikan langkah kakiku untuk berjalan-jalan di sekitar rumahku. Aku sungguh menyukai panasnya matahari yang menyengat kulitku. Hari ini aku menggunakan kaos oblong dan celana pendek berwarna hitam.

Seharian ini aku pergi melakukan aktivitas yang kuinginkan tanpa adanya pengganggu. Biasanya baru beberapa jam aku keluar, aku sudah dipaksa untuk kembali, tetapi tampaknya hari ini berbeda. Aku yang memang penyuka kebebasan tak menyia-nyiakan kesempatan ini.

Ah, berbicara mengenaiku, sebenarnya aku bukan siapa-siapa. Tapi aku yakin cepat atau lambat aku akan terkenal. Hemm, meski sedikit tidak yakin, tapi bukankah kita harus percaya diri. Jadi mari berkenalan denganku. Namaku adalah Egita. Hampir seluruh kenalanku memanggilku Gita, padahal aku lebih suka dipanggil Egi.

Aku adalah gadis sedikit gila, yang memiliki cita-cita yang cukup gila juga. Sebenarnya aku tidak begitu yakin, apakah kegilaanku masih dalam batas wajar atau sudah melampaui batas wajar? Hmmm, bagaimana jika aku langsung saja membocorkan cita-citaku dan setelah itu tolong nilai, apakah kegilaanku masih dalam batas wajar atau malah sebaliknya?

Membunuh. Aku ingin membunuh seseorang. Menjadi seorang pembunuh adalah cita-citaku, sejak aku terlahir ke dunia ini. Apa ini terlampau gila? Aku rasa tidak. Bukankah semua orang memiliki hak untuk memiliki cita-cita?

Hari ini aku sangat bahagia. Karena apa? Karena gerbang untuk menggapai cita-citaku semakin terbuka lebar. Aku berpikir mungkin hari ini aku bisa melakukan pembunuhan perdanaku, mumpung orang tua sialanku sedang tidak ada di rumah. Ah, aku sungguh tidak sabar menantikan waktu eksekusi. Entah mengapa semua ini terdengar menyenangkan.

Aku rasa jalan-jalan hari ini sudah cukup. Aku harus bergegas pulang, dan menyiapkan segala sesuatu untuk melaksanakan pembunuhan perdanaku. Aku tidak mau jika pembunuhan perdanaku ini gagal. Sungguh, jika sampai gagal aku akan menanggung malu seumur hidup. Tapi aku yakin seratus persen, jika pembunuhan perdanaku akan berhasil.

Beberapa orang yang berpapasan denganku, menatapku dengan pandangan menelisik. Apa mungkin aku terlalu cantik dengan rambut ikal sebahuku? Apa karena pakaianku yang hitam-hitam layaknya teroris. Tapi aku rasa pakaian ini juga sering dipakai oleh orang normal. Oh, atau mungkin mereka menatapku karena beberapa bekas luka yang terpampang di lengan yang malah terlihat seperti koreng? Entahlah, aku tidak tahu.

Sampai di rumah aku segera mengambil air dingin untuk membasahi tenggorokanku. Tubuhku tampak berpeluh, tapi aku tak berniat mandi. Aku malah memilih masuk ke dalam kamar sembari memikirkan calon korbanku.

Drrttt ... drrtrtt ....

Ponsel pintar milikku bergetar panjang menandakan sebuah panggilan masuk. Dengan gerakan malas aku meraih ponsel pintarku, lalu menerima panggilan tersebut.

"Gita!" pekikan nyaring dari seberang telepon membuatku refleks menjauhkan ponsel pintarku dari telingaku.

Aku bergumam menyahuti seruan yang mampu membuat sakit telinga itu. "Bajuku yang berwarna pink, masih ada di rumahmu bukan?"

Baju? Baju apa yang dimaksud gadis berlesung pipi itu? "Baju?"

Gadis bernama Sera itu berdecak. "Itu loh, gaun pink yang bermotif bunga-bunga."

Gaun bermotif bunga-bunga? Oh, aku ingat. Sepertinya yang dimaksud gadis itu adalah gaun yang pernah aku pinjam beberapa waktu lalu. "Jangan katakan kalau sudah kamu lelangkan!"

"Masih ada di lemari," sahutku singkat

Berbicara mengenai Sera, Sera adalah kenalanku sejak SMA hingga saat ini aku menginjak bangku perkuliahan. Aku sendiri sudah menganggapnya sebagai teman dan mungkin Sera tanpa sadar juga menganggapku sebagai teman.

FABULA LINEATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang