Bagian keenam

10 1 0
                                    

Selamat membaca!
.

Pagi ini rumah Abdullah tampak sepi, mungkin karena kelelahan menerima tamu yang tak kunjung habis. Kemarin sore setelah keluarga Aminah pulang, tak lama keluarga Abdullah dari Bandung datang lebaran ke rumah. Membuat semua anggota keluarga sibuk melayani sanak saudara.

Karena semalam mereka cukup larut berkumpul, keluarga menginap atas permintaan Abdullah, hanya beberapa yang memilih pulang karena ada urusan pribadi.

Kesepian di rumah ini tidak berlangsung lama. Kini, rumah mereka sudah mulai ramai kembali. Beberes untuk kepulangan mereka, walau masih banyak yang berkumpul bersantai-santai ria. Seperti yang terjadi di depan Anggita, para anak kecil memilih bermain di pekarangan rumahnya. Termasuk Anggita.

Setelah membantu Aminah menyiapkan sarapan, Anggita kini memilih duduk di bangku taman rumah sembari menjemur dirinya. Ia memang duduk, terdiam menikmati hangatnya matahari yang belum terlalu panas ini. Ia tersenyum, saat matanya menangkap beberapa sepupu kecil ataupun ponakan dari sepupunya itu sedang bermain kejar-kejaran di pekarangan rumahnya itu.

Namun, tak lama senyumnya menghilang, pikirannya teringat percakapan Anggita dengan Aminah tadi malam. Masih ingat bukan percakapan sebelumnya juga tentang lebarang kedua? Tentang kenalan anak temannya Abdullah?

Yap, percakapan mereka tak jauh dari persoalan jodoh. Aminah mengingat dirinya tentang kedatangan teman Abdullah yang belum ia ketahui siapa padanya nanti malam.

Kalau boleh jujur, Anggita sangat lelah. Lelah dalam setiap pertanyaan orang-orang tentang dirinya ini. Lelah jika nanti ia harus menahan air mata jika kali ini gagal lagi. Lelah jika harus memasang wajah tidak apa-apa di depan umi dan Abinya.

Semalam setelah percakapan dengan Aminah selesai, Anggita segera melaksanakan shalat untuk menenangkan hatinya itu. Tapi tetap saja, rasa takut akan dirinya gagal dalam pertemuan nanti membuat ia merasa ingin membatalkan acara ini.

Anggita menggeleng, ia tidak boleh bertindak bodoh seperti ini. Ia tidak boleh merasa paling sedih, padahal ia tahu selain dirinya, Aminah--Uminya juga merasakan hal yang sama. Orang tua mana yang tega melihat anaknya ditanya oleh pertanyaan yang mengejek? Sudah pasti tidak ada bukan.

Ah, entah mengapa dirinya sangat sensitif akhir-akhir ini. Mudah menangis dan tersinggung. Jika dilihat-lihat ini sudah masuk tanggal-tanggalnya bulanannya itu datang. Dan hormonnya kali ini yang sering menguasainya. Tuh kan air matanya turun hanya mengingat hal-hal yang sudah lalu ini.

"Ekhem." Seseorang berdehem, membuat tubuh Anggita mematung. Ia yang sedang dalam keadaan ini tak berani untuk sekedar menengok. Mau tak mau buru-buru ia menghapus sisa air mata terlebih dahulu.

"Eh, Mas Arman. Ada apa?" Tanya Anggita, setelah tadi berdehem menormalkan suaranya.

"Dipanggilin juga daritadi." Arman melangkah mendekat, menduduki tempat kosong di samping Anggita.

"Kenapa sih Nggit? Melamun aja, mana pake geleng-geleng sendiri begitu lagi." Eh dia tahu? Berarti daritadi Arman
melihat kebengongannya yang tidak haqiqi ini dong.

"Nggak papa Mas, hanya beberapa pikiran aja." Jelas Anggita. Muhammad Arman, biasa dipanggil Arman. Ia ini sepupu Anggita, anak dari Sarah ,kakaknya Abdullah--Abinya. Sedari kecil mereka sering bersama waktu di Bandung, tidak besar bersama memang. Karena Anggita pindah ke Jakarta. Membuat kedekatan mereka berkurang yang lama-lama juga tidak berkomunikasi lagi.

Hingga akhirnya mereka dewasa, yang mulai memahami batasan-batasan pertemanan lawan jenis. Mereka memang saudara, tapi sepupu. Dan sepupu itu bukan mahram. Hal itu membuat mereka canggung jika mengobrol apalagi hanya berdua, seperti saat ini. Hanya obrolan sekenanya, selanjutnya sama-sama memilih diam.

.
.

Jam menunjukkan pukul 12.50. Sudah shalat, sudah makan siang, dan tentu saja sudah membantu Aminah bebersih rumah setelah keluarga dari Abdullah pulang. Sekarang tubuhnya ini sangat menginginkan kasur empuknya itu. Tapi apalah daya Aminah--uminya meminta ia membantunya membuat kue untuk nanti malam.

Ia tahu uminya juga lelah setelah acara yang menguras tenaga beberapa hari ini. Tapi uminya tidak ingin menunjukkan itu, pernah suatu hari Anggita bertanya.

Kenapa umi jarang sekali mengeluh atau paling tidak bilang capek begitu?

Tau tidak jawabannya apa?

Ia hanya bilang, jika ia mengeluh itu akan membuat ia jadi bermalas-malasan nantinya. Ah Uminya ini memang wanita role model sekali untuk dirinya dan Aini.

Aini kali ini ikut membantu, katanya belajar biar biasa nanti membantu uminya kalo diri Anggita telah menikah. Mendengar hal itu membuat Anggita menggeleng. Padahal belum tentu ia jadi untuk menikah bukan? Bisa saja kematian terlebih dahulu yang menghampirinya. Atau mungkin... kegagalan lagi yang ia dapati. Benar bukan?

Ia beristighfar, lagi-lagi perasaan takut menghampirinya. Ah sudahlah, sudah seharusnya ia berprasangka baik kepada-Nya. Apapun hasilnya nanti, ia harus meyakini bahwa itu yang terbaik.

Setelah semua persiapan nanti malam siap, Anggita beranjak menuju kamarnya. Istirahat sejenak sebelum dirinya bebersih diri untuk nanti malam.

Tak lama matanya terpejam, bunyi pesan masuk berderet di handphone membuatnya terbangun. Tangannya bergerak mencari ponsel di atas nakas.

Jarinya segera meng-klik pesan berderet dari orang yang di kenalnya. Seketika, kantuknya hilang, matanya membulat sempurna membaca pesan tersebut.

"Apa-apaan ini?"

.
.
.

**
*Mahram: semua orang yang haram untuk dinikahi selamanya karena sebab keturunan, persusuan dan pernikahan dalam syariat Islam.
Bukan mahram berarti: bukan yang haram untuk dinikahi. Tetapi mempunyai batasan sebelum terjadinya pernikahan.

Di vote yaa

To be continue 👉

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 04, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Penantian TerindahkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang