Bagian Ketiga

16 4 0
                                    

Selamat membaca~

🌿🌿🌿

Dini hari, setelah shalat tahajjud Anggita berjalan menuruni tangga menuju dapur berniat membantu Aminah-- Uminya memasak seperti biasa.

"Umi, ada yang bisa dibantu?" Aminah tersenyum melihat anak sulungnya yang seperti biasa selalu membantunya memasak.

"Nggak ada, semua udah selesai. Umi cuma angetin makanan berbuka saja." Jelas Aminah.

"Kamu tolong panggilkan Aini ya, dia sepertinya masih tidur. Kejar deadline tugasnya sampai malam." Anggita mengangguk, melangkah ke atas menuju kamar adiknya.

Di ruang makan, mereka segera makan sahur diselingi pertanyaan dari Abdullah-- Abinya. " Ni, kamu memang belum libur ini udah mau lebaran lho, kok masih kejar deadline aja sih?"

Memang benar hari ini merupakan hari ke-25 puasa, yang artinya beberapa hari lagi akan lebaran Idul Fitri.

" Ini terakhir kok bi, besok juga sudah mulai libur." Jelas Aini, diangguki Abdullah.

"Alhamdulillah kalau gitu, kan Umi mau ngajak kamu sama kakakmu masak kue bareng nanti malam. Mau kan?"

"Mau dong." Jawab mereka bersamaan. Membuat keduanya tertawa.

.
.
Allahu Akbar.. Allahu Akbar..

Suara takbir menggema menyeluruh pada setiap masjid. Suara merdu yang membuat umat Islam berbahagia. Esok adalah hari dimana kemenangan umat Islam setelah melaksanakan puasa sebulan penuh.

Seorang wanita yang duduk dibangku balkon kamar yang menghadap taman, tersenyum senang meresapi setiap takbir yang menggema dimana-mana. Tenang, bahagia. Itu yang ia rasakan, ia rindu momen seperti ini.

Tak lama panggilan Aminah-- Uminya yang sudah berada di depan pintu kamar, membuat ia mengalihkan pandangan. "Anggita." Panggil Aminah.

Terlihat Aminah berjalan perlahan dengan senyum mereka ke arah Anggita. "Eh Umi, ada apa mi?" Anggita berdiri, menghampiri Aminah yang kini bersandar pada pagar balkon kamarnya itu.

"Umi mau menyampaikan sesuatu." Kening Anggita berkerut, ia penasaran dengan apa yang akan Aminah sampaikan.

"Tadi siang, teman Abi menelpon. Mereka ingin menjalin tali silaturahmi sama keluarga kita." Anggita manggut-manggut mendengar penuturan Aminah.

"Maka dari itu, umi mau kamu ikut menjalin silaturahmi dengan mereka."

"Pasti dong mi, sesama umat muslim kan memang harus saling menjalin silaturahmi." Jelas Anggita.

"Umi juga mau kalau kamu menikah dengan anak dari teman abi git."

"M-maksud umi Anggita dijodohin gitu?" Tanya Anggita terkejut dengan pernyataannya Aminah.

Anggita tahu, Aminah tidak akan tinggal diam mendesaknya untuk segera menikah. Selain memang umur Anggita yang sudah cukup matang untuk menikah, tetangga bahkan sanak saudara sering menanyai perihal ini kepadanya akhir-akhir ini.

Entah pertanyaan,
Kapan akan menikah?

Kapan berencana ke jenjang yang serius?

Kapan bawa kekasihmu kumpul?

Dan masih banyak lagi yang mengarah tentang pernikahan.

Yang pasti uminya tidak mau di hari raya kali ini pertanyaan-pertanyaan seperti itu ada. Ia tak mau putri sulungnya ditanyakan hal yang sama seperti sebelum-sebelumnya.

Sebenarnya Anggita tidak diam saja mengenai tentang jodoh, dia sudah berusaha untuk mencari pelengkap sebagian imamnya dengan mencoba berta'aruf.

Tetapi yang namanya belum jodoh, ta'aruf sering kali gagal, batal atau akan ada saja beberapa masalah yang terjadi. Seperti yang tiba-tiba menghilang tanpa kabar, entah sebab apa.

Setelah lama hening, Aminah melanjutkan pembicaraan. "In Syaa Allah, lebaran kedua mereka akan datang. Sekaligus mengkhitbah kamu." Jelas Aminah.

"Apa ini tidak terlalu cepat mi?" Tanya Anggita hati-hati.

"Umi rasa tidak, tapi semua ada ditangan kamu. Umi hanya berharap kebahagiaan kamu."

Anggita menghela nafas panjang, dengan hati-hati ia berkata." Anggita akan pertimbangkan dengan shalat istikharah ya mi." Aminah mengangguk kemudian memeluk dan tangannya mengelus lembut kepala Anggita yang berbalut hijab biru itu.

.
.
.

Aku tunggu vote dan komennya yaa.. hehe

.
.

To be continue 👉

Penantian TerindahkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang