1. Muak

7.5K 74 0
                                    

Los Angeles, 2019.

Plaak!

Bunyi tamparan yang keras terdengar di rumah yang sempit nan pengap. Seorang gadis memegang pipinya yang terasa panas. Air mata yang sedari tadi ditahan akhirnya menerobos keluar dari pelupuk mata.

"Dasar bodoh! Siapa yang menyuruhmu mendaftar ke sekolah?! Apa kamu tidak melihat seberapa susah ibumu ini mencari uang?!" teriak seorang wanita yang berusia tidak lebih dari 40 tahun.

Meskipun sudah tidak muda lagi, dia memiliki wajah yang masih cantik. Tubuhnya terlihat molek dan masih terawat dengan baik.

Di antara jari-jarinya terselip batang rokok yang masih mengepul. Dia mengisap batang rokok itu lalu mengembyskan asapnya dengan kasar.

"Kamu pikir kamu ini anak orang kaya? Ibu tahu nilaimu sangat bagus. Ranking satu dari dulu, tapi tidak ada uang sepeser pun yang kamu hasilkan dari sebuah penghargaan!" lanjutnya.

Wanita yang bernama Esme itu mengambil tumpukan piagam dari atas meja dan merobeknya dengan kasar.

"Piagam, piagam ... bukankah kamu berpikir ini sangat berharga?! Haha ... lihat! Apa yang kamu banggakan hanya berakhir menjadi tumpukan sampah!"

Gadis yang menjadi pemilik piagam hanya bisa menatap nanar pada robekan-robekan kertas di lantai. Dia tidak pernah menyangka kalau ibunya akan setega itu padanya.

Namanya Milly Anatasya. Dia sudah sangat paham dengan sifat ibunya. Sejak bercerai dari Adam, ibunya menjadi semakin gila. Dia akan berteriak tidak jelas hanya karena masalah yang sepele.

Ibunya akan berkali-kali mengutuk Adam yang meninggalkan pernikahan mereka demi wanita lain. Sayangnya dia tidak sadar bahwa alasan Adam memilih pergi juga karena sifatnya yang sudah tidak bisa ditolerir lagi.

Milly merasa muak. Kadang-kadang dia ingin pergi dari rumah ini, tapi ketika teringat ibunya yang sendirian, dia tiba-tiba merasa tidak tega. Bagaimana pun juga wanita itu yang sudah merawatnya hingga sebesar ini.

"Tapi Milly memiliki beasiswa. Apa lagi yang harus ditakutkan? Milly bisa mencari pekerjaan sambilan," ucap Milly. Dia memberanikan diri untuk menatap wajah ibunya.

"Bagus, bagus! Kamu boleh memilih sekolah tapi tidak usah pulang lagi ke rumah!" teriak Esme pada Milly.

"Baik. Milly akan berhenti sekolah!" seru Milly dengan marah. Dia berlari masuk ke kamar setelah membanting pintu dengan keras.

Esme duduk di kursi sambil mengurut kepalanya yang terasa pening. Rokok yang masih tinggal setengah dia lempar begitu saja ke lantai.

"Maaf, maaf," gumamnya.

Dalam hati dia masih merasa bersalah, tetapi dia tidak mau menunjukkan pada Milly. Ini jalan yang sudah dia tentukan, toh banyak anak yang sekolah sampai kuliah tapi berakhir sebagai pengangguran.

Milly cantik. Hal itu pasti bisa sedikit menolong perekonomian mereka.

Tok tok tok!

Terdengar bunyi pintu diketuk. Esme langsung pergi ke kamar untuk mengganti baju dan bersiap pergi untuk melakukan pekerjaannya.

***

Sudah satu minggu sejak kejadian itu berlalu. Pasangan ibu dan anak itu tak kunjung membaik. Mereka tidak menyapa, tidak pula bertatap muka. Seperti saling menghindari satu sama lain.

Pagi ini Milly masih berbaring meringkuk di kasur lusuhnya. Dia tidak mau bangun. Rasanya lebih baik jika tidur sedikit lebih lama. Lagipula tidak ada apa pun yang dia lakukan.

Di hari yang panjang ini dia hanya akan mendekam di rumah. Dia juga telah melepaskan beasiswanya dan menghentikan pendidikannya sampai di sana.

Sedih, putus asa, marah, tapi tidak ada yang bisa dia lakukan. Menangis sepertinya tidak membuahkan hasil apa pun. Bahkan air matanya sudah terasa kering. Apa yang dia kerjakan selama ini hanya berakhir sia-sia saja.

Tok tok tok!

"Milly! Apa kamu di sana?!" teriak seseorang dari luar rumah.

Milly yang mengenali suara itu pun langsung mengerutkan kening. "Kenapa bibi pagi-pagi mencariku?" gumamnya.

Dengan langkah yang malas, dia keluar dari kamar. Rumahnya terasa sangat sepi. Meskipun dia penasaran di mana ibunya berada tapi dia merasa enggan untuk memanggilnya.

"Bibi, ada apa?" tanya Milly setelah membuka pintu.

"Apa ponselmu mati? Ibumu dalam masalah," ucap Brenda sambil menyodorkan ponsel padanya.

Milly merasakan firasat buruk. Tanpa bertanya lagi dia langsung menerima ponsel dari Brenda dan menempelkan di telinganya.

"Halo."

"Halo. Apa benar ini Nona Milly?"

"Iya benar. Ada yang bisa saya bantu?"

"Nona Milly, di sini dengan kantor kepolisian. Pagi ini ibumu ditemukan tak sadarkan diri di taman kota. Dia sepertinya banyak meminum alkohol. Bisakah keluarganya datang ke sini?"

Suara yang tegas terdengar dari ujung telepon. Milly mengerti apa yang terjadi. Pasti ibunya sudah membuat ulah lagi.

"Terima kasih informasinya. Saya akan segera datang," ucap Milly.

Setelah telepon berakhir, Milly langsung mengembalikan ponsel Brenda. "Terima kasih, Bibi."

"Apa kamu perlu ditemani? Kita bisa pergi bersama," tawar Brenda. Dia ikut khawatir dengan apa yang terjadi.

"Tidak usah, Bibi. Aku akan segera berangkat sendiri. Aku sudah tidak heran dengan hal seperti ini. Yeah, ibuku memang ...." Kalimat Milly berhenti di tengah jalan.

"Sabar. Kamu anak yang baik. Nanti pasti ada waktu di mana semuanya kembali baik-baik saja," ucap Brenda.

Dia mengelus rambut Milly dengan lembut. Ya, dia menyayangi Milly karena gadis itu sangat mirip dengan putrinya yang sudah lama meninggal.

Milly hanya bisa tersenyum menanggapi ucapan Brenda. Dia hampir muak dengan kata-kata itu. Semua akan kembali baik-baik saja, tapi kapan?

***

"Aku tidak mau pulang. Pergi! Menjauhlah dariku!" Esme berteriak sambil mendorong Milly hingga gadis itu hampir terjuangkal.

"Mau sampai kapan kau seperti ini? Ayah tidak akan datang. Dia sudah memiliki wanita lain!" teriak Milly yang sudah merasa muak.

Saat ini mereka sedang dalam perjalanan pulang dari kantor polisi. Dia tidak peduli lagi dengan tatapan aneh dari orang-orang yang melihat mereka.

"Benarkah? Adam tidak akan kembali?" tanya Esme dengan linglung.

Milly menarik ibunya pulang. Sekarang dia sudah memutuskan untuk cepat-cepat mencari pekerjaan. Rasanya sudah tidak tahan melihat ibunya yang setiap hari harus pulang pagi.

Ya, ibunya memang bukan wanita yang baik. Dia bekerja di tempat hiburan malam. Berangkat kerja di sore hari, lalu pulangnya lewat dari tengah malam.

Sebenarnya Milly tidak tahu pekerjaan apa yang dilakukan ibunya. Dia tidak tahu dan tidak mau tahu karena dia sudah bisa menebak bahwa itu pasti bukan pekerjaan yang baik.

"Kenapa? Hahaha, apa kamu jijik dengan ibumu?" tanya Esme disertai tawa.

"Apa aku pernah berkata seperti itu?" balas Milly.

Esme hanya terkekeh tanpa menjawab lagi. Dia sudah tahu bahwa Milly tidak suka dengan pekerjaannya, tapi bagaimana lagi karena dengan beginilah dia merasa bahagia.

"Hari ini Milly akan pergi mencari pekerjaan. Tolong berhenti dari tempat hiburan itu," ucap Milly ketika sudah sampai di rumah.

Esme tidak mengatakan apa-apa. Dia berlalu pergi begitu saja dan masuk ke dalam kamarnya.

"Meskipun aku tidak suka tapi kau tetap ibuku," gumam Milly dengan tatapan sendu.

Make You Mine (18+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang