13. Menekanmu di Bawah

4.2K 44 0
                                    

Terkekeh. Brian menikmati ekspresi panik di wajah Milly. Meskipun dia bebas melakukan apa pun, tetapi dia menahannya. Kakinya melangkah mundur dan berjalan meninggalkan Milly yang tertegun.

Setelah Brian benar-benar pergi, barulah Milly menghela napas lega. Matanya terpejam sejenak sebelum terbuka lagi. Dia menatap ke langit-langit kamar yang berwarna putih bersih.

Milly tidak tahu sampai kapan ini akan berakhir. Kadang dia merasa lelah, muak. Siapa yang tidak takut saat seorang gadis diserahkan kepada orang asing?

Dia takut. Itu adalah perasaan nyata yang coba dia sembunyikan. Dia hanya tidak mau dipandang lemah oleh orang lain. Menangis pun tidak akan ada yang peduli.

Sekarang dia benar-benar sendiri. Tidak ada orang lain yang menyokongnya. Ibu yang seharusnya menjadi tempat berteduh, justru menjadi sumber rasa sakit dari semua masalahnya.

Jika ada sesuatu yang dia benci maka itu adalah ketidakadilan yang dia alami. Ketika gadis lain masih bersenang-senang, dia malah berbaring seorang diri di tempat dingin ini.

Ketika gadis lain masih bisa menghambur-hamburkan uang, dia malah merasakan kerasnya bekerja.

Benar. Sejak awal, hidup memang sudah tidak adil. Jadi, dia tidak akan meminta sebuah keadilan.

***

Pagi harinya, Milly mengerjapkan mata beberapa kali. Dia memeriksa keadaannya sendiri yang masih baik-baik saja. Ternyata pria itu benar-benar menepati ucapannya.

Sekarang dia harus cepat-cepat membersihkan diri. Ya, dia akan mencoba pergi dari rumah ini.

A certain type of darkness is stalling me
Under a quite mask of uncertainty
A wait for light like water from the sky
And i am lost again

Bunyi panggilan telepon menundanya yang saat ini akan masuk ke kamar mandi. Milly segera memeriksa siapa si pemanggil. Ternyata itu Joanna.

"Halo, Joanna," panggil Milly.

"Milly! Oh God, di mana kau? Kenapa tidak memberi kabar apa pun padaku?" Joanna bertanya dengan cepat. Dia khawatir karena semalam Milly tidak pulang ke rumahnya.

Hati Milly merasa hangat ketika mendengar suara sahabatnya yang sedang mengkhawatirkannya. Mungkin hanya Joanna yang masih peduli padanya.

"Aku sudah tidak tinggal lagi dengan wanita konyol itu," lirih Milly.

"Lalu? Jangan bilang kalau ...."

"Ya benar. Aku tinggal bersama seorang pria," bisik Milly.

"Ya Tuhan. Kau serius? Di mana kau, Milly? Apa kau tak bisa melarikan diri?" tanya Joanna dengan panik.

"Aku tidak yakin, tapi sepertinya aku harus mencoba. Sekarang aku akan mandi, setelah itu aku akan mencoba pergi dari tempat ini."

"Semoga berhasil. Kau bisa datang ke rumahku, Milly. Atau kau perlu dijemput? Aku bisa menjemputmu."

"Tidak perlu. Kalau begitu aku harus berterima kasih padamu. Aku bisa ke sana sendirian."

Terdengar sura helaan napas dari ujung telepon. "Jika bukan aku, siapa yang akan peduli?” tanya Joanna. “Aku menunggumu, Milly."

Milly tersenyum samar. Setelah mengucapkan sampai jumpa dia pun menutup telepon, lalu bergegas mambersihkan diri. Beberapa saat kemudian akhirnya dia selesai. Kini dia bersiap untuk pergi.

Dengan hati-hati Milly membuka pintu kamar. Kepalanya melongok ke luar dan melihat ke kanan kiri. Sepi. Oh, kesempatan yang bagus.

Milly keluar dari kamar tak lupa menutup pintu dengan hati-hati. Dia tidak ingin menimbulkan suara yang akan membuat Brian curiga.

Kakinya yang tanpa alas melangkah dengan sangat hati-hati. Ia menuruni tangga tak lupa mengedarkan pandangannya untuk memastikan tidak ada orang lain yang melihatnya.

'Hehe, pasti si sialan itu masih tertidur,' pikir Milly.

Dia mempercepat langkahnya. Namun, setelah sampai di lantai bawah, kakinya langsung berhenti seketika. Dia mendapati sepasang mata yang kini sedang menatapnya dengan datar.

'Sial,' rutuk Milly dalam hati.

Hanya dengan menggunakan jubah mandi, Brian duduk dengan manis di sofa. Dia memerhatikan gadis yang sejak tadi mengendap-endap.

"Kemarilah," ucap Brian sambil meletakkan notepad-nya di atas meja.

Milly mendengkus kesal. Upaya pertamanya sudah gagal. "Tuan Anderson, kau tak bisa menggangguku sekarang. Aku harus pergi bekerja."

"Kau tidak perlu bekerja lagi. Aku sudah mengatakannya pada Mrs. Chloe."

Kedua mata Milly langsung melotot. Dia tidak terima dengan keputusan sepihak itu. Hidupnya adalah miliknya. Apa-apaan! Pria itu benar-benar semena-mena.

"Tidak bisa. Kau tidak bisa memutuskan apa pun, terutama tentang apa yang akan aku lakukan!" seru Milly dengan marah.

Brian mengangkat kedua alisnya. Sepertinya gadis itu lupa bahwa dia sudah menjadi miliknya. Mungkin sekarang waktunya untuk membuat Milly mengingatnya.

Dia mendekati Milly dengan senyum miringnya. "Sepertinya kau lupa siapa kau sekarang, statusmu dan apa yang harus kau lakukan."

Sekarang Brian benar-benar terlihat seperti orang jahat. Itu membuat Milly merasa waspada. "Apa maumu?!"

Brian menatap Milly dengan intens. Kemudian dia pun menjawab, "Tidak banyak. Hanya perlu diam dan jadi gadis yang baik."

"Aku selalu menjadi gadis penurut, tapi untuk pria sepertimu ... sepertinya itu tidak berlaku," ucap Milly sambil melirik Brian dari atas ke bawah. Pandangannya tampak meremehkan pria itu.

"Oh?" Brian mengangkat wajah Milly. Dia menyipitkan matanya. "Apa kau yakin tidak akan mendengarkanku?"

"Memangnya siapa kau sampai aku harus mendengarkanmu?" Milly mendecih sambil menyingkirkan tangan Brian. Dia berjalan melenggang sedikit menjauh dari  Brian.

"Ingat, bukankah kau yang ingin aku menjadi Muse-mu?" ucap Milly dengam sedikit ancaman. Sekarang giliran dia yang tersenyum penuh kemenangan.

Hal itu membuat ekspresi wajah Brian mengeras. Dia paling tidak suka saat ada orang lain yang mencoba mengancamnya. Dengan kasar dia mendorong Milly hingga jatuh ke sofa.

"Hey! Apa yang kau lakukan?!" Milly berteriak. Dia merasa sedikit panik. Apalagi saat menyadari bahwa pria itu hanya mengenakan bathrobe saja. Sial! Ini benar-benar buruk.

Brian menekan Milly agar tidak bisa melarikan diri. "Kau tahu? Aku paling benci seseorang yang menekanku dengan ancaman."

Milly menelan ludahnya. Astaga, sepertinya dia telah mengatakan sesuatu yang salah.

"La-lalu bisakah kau minggir sebentar. A-aku tidak bermaksud seperti itu." Dia menelan ludahnya dengan gugup.

Brian tidak memedulikan permintaan Milly. Sekarang kesabarannya hampir habis. Jujur saja, di sepanjang hidupnya baru kali ini dia memperlakukan seorang pemberontak dengan sabar.

Mulai dari saat Milly yang menyiramnya dengan air di kafe, lalu berkali-kali menuduhnya sebagai penipu, juga saat gadis itu bersikap kurang sopan terhadapnya. Jika itu bukan seseorang yang akan menjadi Muse-nya, maka dia sudah lama membuat orang itu menderita.

Akan tetapi kenapa gadis itu bahkan tidak menyadarinya dan sebaliknya malah setiap saat membuatnya merasa kesal?

Melihat bagaimana ekspresi dingin di wajah Brian, akhirnya Milly menyadarinya. Sepertinya kali ini Brian benar-benar marah. Apa yang harus dia lakukan?

Milly menggigit bibirnya. Ayo berpikir, Milly. Bagaimana cara agar dia bisa keluar dari situasi ini?

"Kau ... tidak benar-benar marah, kan?" Milly bertanya dengan takut-takut. Posisinya saat ini benar-benar terlalu intim. Tubuhnya berada tepat di bawah tubuh Brian. Sangat dekat, dia bahkan bisa mencim aroma maskulinnya dengan sangat jelas.

"Kau akan tahu setelah ini," ucap Brian. Dia mendekatkan wajahnya ke wajah Milly, lalu disambarlah bibir semerah cerry itu.

Make You Mine (18+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang