07☕

49 33 15
                                    

Ziva tak bisa menghentikan senyumnya sejak menginjakkan kaki di gedung kantor.

Setelah dua hari kemarin ia menganggur di rumah Adit akhirnya ia bisa mulai bekerja.

Gadis itu mengenakan rok span sepaha yang dipadukan dengan kemeja putih polos dengan tambahan blazer hitam. Ia melangkah anggun dengan sesekali menyunggingkan senyum simpul.

"Ziva Putri Margaretha?"

Ziva terkejut. Lalu menoleh ke belakang mendapati seorang gadis berjalan kearahnya sambil membawa map coklat.

"Apa?" tanyanya memastikan pendengaran.

"Lo Ziva kan?"

"Iya"

"Langsung ke lantai lima aja ya, lo udah di tunggu"

Ziva mengernyit. "Loh mba, bukannya gue tadi disuruh ke ruang depan ya?" tanyanya sambil menunjuk ruang yang dimaksud.

Gadis yang diketahui bernama Rini mengedikan bahu. "Gue nggak tahu tiba-tiba bos minta tolong gue buat panggilin lo ke lantai lima"

Ziva diam sesaat. "Oh... Oke" ucapnya.

"Btw ruangnya yang ada di paling pojok. Pintunya warna coklat tua. Jangan lupa sebelum masuk lo ketuk dulu ya"

"Iya iya"

"Semoga sukses!" ujar Rini semangat sambil mengepalkan sebelah tangannya.

Ziva jadi terkekeh pelan. "Yaudah gue ke atas dulu ya"

"Sip"


Ziva terpaksa ke atas menggunakan tangga darurat karena lif kantor sedang bermasalah. Sebenarnya masih ada lif lagi namun Ziva tidak memiliki izin untuk menggunakan. Katanya karena Ziva masih anak baru.

Ziva cari aman saja. Tidak mau buang-buang tenaga untuk protes.

Tiba-tiba dari arah berlawanan Ziva melihat lelaki berjas hitam lari. Ia mendelik begitu lelaki itu menabrak tubuhnya dan membuat lengan kemejanya basah setengah.

Ziva mendengkus kesal. "Mas kalo jalan pelan-pelan dong!" ujarnya. "Kalo mau lari ke lapangan aja jangan di tangga kaya gini"

Lelaki itu berbalik menatap Ziva. Namun tidak mengatakan satu patah kata pun.

Ia hanya diam mematung.

"Hello mas?" Ziva melambaikan tanganya di depan wajah si lelaki. "Mas nggak kesurupan kan? Kok diem doang sih"

"Maaf..."

Ziva mengangguk "Oke nggak papa asal jangan lari kaya tadi lagi ya mas. Bahaya". Lalu kembali melanjutkan langkahnya menuju ke lantai lima. Namun belum ada dua undakan, tiba-tiba badannya ditarik dari belakang.

Ziva melotot kaget. Lelaki itu pelakunya.

"Mas kenapa narik saya sih kalo misalnya saya guling ke bawah gimana coba?!""

"Aku mau ngomong"

Ziva menggaruk pipinya bingung. "Apa yang mau di bicaraiin ya mas?" tanya Ziva.

"Aku....."

"Aku apa?" Ziva tak sabar.

"Aku kangen" Jawab lelaki itu cepat. "Maaf aku baru bisa nemuin kamu"

Ziva mengerjap. Memandang wajah lelaki itu yang terlihat sangat asing. "Eum... Kayaknya mas salah orang deh"

Lelaki itu menggeleng. "Aku tahu kamu. Kamu tunangan aku!" jawabnya.

Ziva mengumpat dalam hati. Orang gila dari mana ini tiba-tiba mengklaim dirinya tunangan. Pacaran saja tidak pernah apalagi bertunangan.

"Sayang, kamu nggak lupa sama aku kan?"

"Maaf masnya salah orang"

Ziva mendorong kasar tubuh lelaki itu. Namun lagi-lagi tangannya di cekal.

"Aku Rendra. Tunangan kamu"

"Gue jomblo monmaap"

"Nggak! Kamu milik aku. Kamu punyanya aku!"

Ziva mengerjap, sedikit melebarkan matanya perlahan sambil berdehem. Ia menoleh ke kanan kiri yang ternyata hanya ada mereka berdua.

Ia benar-benar takut.

"Gue harus pergi"

"Kamu mau tinggalin aku lagi?" lelaki itu menunduk. Tiba-tiba bahunya bergetar. "Aku mohon jangan tinggalin aku lagi" lirihnya.

Ziva terbungkam. Bingung harus mengatakan apa lagi.

Lelaki itu terlihat sangat menyedihkan.





Bersambung...

Boom Boom HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang