3. Tidakkah kamu lelah?

6.2K 984 129
                                    

"Kakak.. maaf.. aku.. aku hamil.. aku mengandung anaknya kakak Zovan" Amy menangis sambil berusaha keras menyelesaikan kata katanya.

Adaline tertegun. Matanya berkedip tak percaya pada apa yang baru saja dia dengar.

"Ka-kamu.. apa?"

Amy makin keras menangis, dia juga semakin mengencangkan pelukannya di kaki Adaline.

"Kakak... hiks.. maaf.. aku..."

Brak!

Adaline menoleh dan melihat sosok Zovan berdiri di depan pintu yang terbuka lebar. Dia terlihat terengah engah, seolah baru saja berlari untuk datang kesini.

Zovan berjalan mendekat dengan cepat. Dia mengangkat Amy yang sebelumnya bersujud di kaki Adaline.

"Amy, berdiri. Ini bukan salahmu sama sekali! Jangan menyiksa bayi kita dengan berlutut seperti itu!" Zovan berkata dengan panik. Sepenuhnya mengabaikan Adaline yang masih terkejut di dekatnya.

Sementara Zovan membantu Amy berdiri, Adaline hanya bisa termenung.

Zovan membiarkan Amy duduk di sofa sambil menangis, kemudian dia akhirnya menoleh ke arah Adaline.

"Maaf Ann, aku bisa menjelaskan semuanya. Aku berniat memberitahumu secepatnya, tapi aku belum menemukan waktu yang tepat. Amy sedang shock sekarang. Bisakah kita membicarakan ini setelah aku menenangkannya?" Zovan bertanya.

Adaline membuka mulutnya, ingin bicara. Tapi pada akhirnya dia hanya tersenyum dan mengangguk. "Ya sayang, aku akan menunggu dan menerima apapun keputusanmu" katanya.

Kemudian Adaline berjalan keluar dari ruang tamu dan bahkan menutup pintu.

"Nyonya.." Lili memanggil. Tepat saat itu juga, tubuh Adaline rubuh.

Lili dengan cepat menangkap nyonyanya itu dengan panik. Dia bisa merasakan tubuh wanita itu bergetar, sebelum akhirnya sepenuhnya kehilangan kesadaran.

◇▪︎◇

Adaline duduk di bangku kayu yang berada di bawah pohon besar sambil menangis.

Dia bahkan sudah tak memperdulikan dimana dia berada saat ini. Meski matahari terlihat sangat menyengat, tubuhnya sepenuhnya terlindungi oleh daun daun rimbun yang membawa angin sejuk.

Tiba tiba, Adaline merasakan kehangatan lain menjalar dari tangannya.

Dia membuka matanya dan melihat sosok wanita tua yang terkesan sangat bercahaya dan jauh dari dunia.

"Nyonya, apakah kamu tidak lelah?"

"Lelah? Apakah aku berhak? Ini adalah kewajibanku sebagai seorang istri" Adaline berusaha berhenti menangis, karena dia tumbuh dengan tidak boleh menunjukkan kelemahan apapun pada orang lain.

Wanita tua itu menggenggam tangannya dan menghapus air mata dari pipi Adaline.

"Ya, kau benar. Seorang istri wajib melayani suaminya dengan sepenuh hati. Tapi, seorang istri juga berhak dilayani oleh suaminya sama tulusnya. Bekerja keras, menangis, menahan diri, semuanya nyonya lakukan sendiri bukan? Nyonya menjalankan tugas nyonya dengan baik. Tapi, coba pikirkan kembali, apakah suami nyonya sudah melakukan tugasnya dengan baik?"

"Tugas... suami?"

Wanita tua itu tersenyum lembut. "Ketika lelah, seorang wanita juga bisa beristirahat sejenak dari kewajibannya. Kamu tak perlu merasa malu. Kita seorang wanita, juga punya hak"

Mata Adaline kembali berair. Ujung hidungnya makin merah ketika dia berusaha kerasa menahan air matanya jatuh.

"Bolehkah? Bolehkah aku berhenti dari semua hal yang melelahkan ini? Tidak.. bukan begitu.. tapi, bisakah aku berhenti? Seorang wanita yang bercerai tak mungkin bisa hidup sesuai dengan derajatnya lagi.."

New Married LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang