⚠️ HARSH WORDS ⚠️
"Kay, hubungan kaya gini gak akan nemuin ujung. Kita yang udah selesai tapi saling nahan tanpa alasan yang jelas. Berhenti satu-satunya jalan keluar buat kita, Kay."
Brengsek. Kalimat perpisahan yang ngga pernah bisa aku cerna itu, lagi-lagi berputar di kepala ku. Bersamaan dengan seluruh sumpah serapah yang aku ucap berkali-kali dihadapan cermin. Aku benci perpisahan. Gak ada jalan keluar dari sebuah hubungan selain perpisahan, bukannya hanya alasan atas keinginan dia sendiri?
Delapan tahun menjaga hubungan yang tidak pernah punya arah itu gak mudah, tapi aku selalu percaya pada Tama. Aku selalu menaruh kepercayaan perihal apapun yang akan terjadi, semuanya akan baik-baik saja selama itu bersama Tama. Akulupa, bahwa sejatinya menaruh harap pada manusia adalah sebenar-benarnya kesalahan.
Berkomitmen dengan Tama itu menjadi sebuah kesepakatan yang paling menyenangkan seumur hidupku, seharusnya perpisahan pun juga menjadi sebuah kesepakatan yang telah dibicarakan, bukannya menjadi keputusan sepihak seorang Tama. Siapapun akan mengutuk kebodohan ku, yang masih saja bertahan padahal Tama hatinya tidak utuh lagi. Perempuan lain yang bersarang di hati Tama, nyatanya masih belum cukup untuk mengusir aku dari sana. Aku ini pemiliknya, sekalipun Tama tidak lagi mengharapkan ku.
Kata Hendery, "Mencintai itu gak selalu bahagia, Kay. Nanti, ketika lo mencintai seseorang tapi ternyata bahagia dia bukan lo, harusnya lo juga sadar dan mundur. Jangan mengikat orang yang gak mau terikat, Kay. Dunia gak berotasi pada kebahagiaan lo aja."
Persetan dengan kalimat yang diucapkan Hendery, aku cuma mau Tama saat ini.
"Kay," panggil Mark membuyarkan lamunan ku
"Iya?"
"Masih tentang Tama?"
"Gue sayang sama dia, Mark"
"Jangan egois, semakin lo menahan Tama semakin rumit semuanya, Kay. Lo gak bahagia, Tama pun gak bahagia"
"Bertahun-tahun sama gue, gak ada artinya ya buat dia?"
"Tama jelas bersalah, Kayana. Tapi, lo harus tetap sadar bahwa setiap hubungan yang gagal selalu diikuti alasan. Gue yakin, untuk memilih berpisah Tama juga memikirkan berbulan-bulan lamanya."
"Memikirkan bagaimana cara terbaik untuk melepaskan gue?"
"Bukan-
Tama pasti memikirkan, apakah hubungannya masih bisa diselamatkan atau tidak. Hambar, Kay. Hubungan kalian udah kehilangan rasa, tapi satu-satunya yang mengelak cuma lo. Tama udah berusaha untuk kembali, mengembalikan semua yang harusnya jadi milik lo, tersmasuk hatinya yang seharusnya dikuasai oleh seorang Kayana, tapi, Tama benar-benar harus melepaskan. Sebab, semakin dia bertahan, semakin dalam pisau yang dia tancapkan ke lo."
"Mark, kalau aja Tama gak mencoba untuk membuka hatinya, gak mungkin hal ini terjadi."
"Kita gak akan tahu hati manusia itu seperti apa. Bisa aja, hari ini lo sangat mengharap Tama dengan banyaknya rasa cinta, tapi besok belum tentu Tama adalah orang yang pingin lo temui.
Kayana, memaafkan dan melupakan itu bukan hal yang mudah. Tapi, gue harap lo bisa memberi jawaban terbaik untuk Tama, untuk hubungan lo dan Tama."
Ucapan Mark terus berputar di kepala gue. Tama jelas punya alasan mengapa genggamannya melonggar.
Aku menggeser layar ponsel untuk mengetikkan sesuatu di roomchat Tama,
"Ayo bertemu."
Kalau benar bertahan adalah alasan hidup aku gak bahagia sampai sekarang, maka melepaskan adalah opsi yang terbaik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hopeless Romantic
Fanfiction"Kayanya, ini waktunya kita buat udahan ya, Hen?" Sebuah awal yang sebenar-benarnya akhir. Perihal rasa yang tersirat di antara kalimat "gue takut kehilangan, lo." Tentang rumah yang tak kunjung ramai. Tentang hubungan yang hanya menyisakan, selamat-