Udara segar pagi hari, ternyata tidak membuat aku melupakan Tama sedikit pun. Semakin aku melangkah, semakin banyak sakit yang aku rasakan.
Setiap pertemuan itu pasti memiliki akhir. Baik bahagia atau tidak, itu semua tergantung bagaimana kita menyikapi sebuah perpisahan. Mungkin Tama bersalah sebab penghianatan yang dia lakukan, dalam hubungan yang aku jaga mati-matian, namun, pada akhirnya Tama memilih untuk tidak bertahan. Jauh dalam hati, seringkali aku mengutuk Tama yang tidak menepati janji-janjinya untuk terus disamping ku, tapi, Tama tetap pernah menjadi alasan aku masih sanggup berdiri saat ini. Tama boleh menjadi brengsek, tapi, pengakuan Tama seharusnya cukup untuk menjadi hukuman untuk Tama.
Mengaku berkhianat itu gak mudah. Mungkin dalam benak Tama, alih-alih mengaku ia ingin berlari sejauh mungkin. Melupakan dirinya yang berdosa, hidup seolah tidak pernah menyakiti siapapun. Menjadi Tama yang dikagumi setiap perempuan, tapi, Tama memilih untuk meminta ampun pada ku. Mengakui segala hal buruk yang dia lakukan dalam hubungan ini. Tama, memilih untuk dihukum.
Pernah Tama membicarakan perihal Dandelion yang tumbuh di tanah kosong komplek rumahnya. Katanya, Dandelion itu penggambaran tentang kesetiaan, kehidupan, keceriaan, "Kayana, kamu tahu Dandelion bukan cuma bisa tumbuh di tanah kosong perumahan seperti ini, dia juga mampu tumbuh di tebing jurang yang curam. Jadi, Kay, dalam hidup pasti kita akan menemui saat-saat sulit, mungkin kamu berpikir untuk mengakhiri hidup, kamu harus tetap ingat bahwa semua manusia, termasuk kamu harus tetap bertahan hidup. Kita bukan Dandelion yang bisa bertahan ditebing jurang, tapi kamu bisa menjadi seberani Dandelion."
Ucapan Tama mungkin seperti celetukan random yang gak perlu diingat untuk jangka waktu yang panjang. Lagi-lagi apa yang terjadi saat ini, menjadikan ku mengingat lagi kata demi kata yang terucap dari mulutnya. Perihal hidup yang harus seberani bunga Dandelion.
Tapi, Tama, bukankah sebagai manusia kita juga serapuh Dandelion? Yang bertebaran ketika ditiup, hilang tanpa sisa. Mati tanpa jejak. Bukankah, aku juga begitu, Tam?
**
Kembali pada tahun 2007, pertama kali aku memijakkan kaki di sekolah dasar, pertamakali aku bertemu dengan Hastanta Hendery Haribawa.
"Kata Mama aku, kalau sudah sekolah dasar, gak boleh cengeng."
Hari itu seperti anak kecil lainnya, aku menangis ketika Mama pergi dari sekolah setelah mengantar ku sampai kelas. Hendery menghampiri ku dan menceritakan banyak hal, menenangkan ku selama di sekolah.
Sejak itu, pertemanan ku dan Hendery di mulai, berlanjut ketika ternyata kita menduduki bangku SMP dan SMA di tempat yang sama, hingga menduduki bangku kuliah yang sama, beruntung gak satu jurusan, walaupun tetap satu fakultas.
Kalau ada yang bertanya, "Siapa orang yang paling mengenal kamu?" maka dengan sangat yakin aku akan menjawab, Hastanta Hendery Haribawa lah orangnya.
Aku gak tahu Tuhan sedang merencanakan apa, tapi, Hendery selalu muncul di waktu-waktu paling sulit di hidup ku, tanpa aku minta sekalipun. Seolah hidup ku adalah tontonan paling menarik untuk dipertontonkan pada Hendery.
"Kenapa lo gak putus aja dari Kak Tama?"
"Gue sayang dia."
"Kayana, ini pertama dan terakhir kalinya gue akan sedikit ikut campur masalah percintaan lo ya. Kay, sejauh gue kenal lo, lo adalah perempuan yang hebat, jadi, jangan takut gak ada yang mau sama lo. Tama brengsek. Lo juga tahu sebrengsek apa Tama. Kalau lo tanya gue, gue maunya temen gue putus sama cowo brengsek. Tapi, gue siapa? Gue punya hak apa untuk ikut campur memutuskan hubungan seseorang? Jadi, karena lo yang paling tahu tentang hubungan itu, gue harap lo punya keputusan yang tepat. Kalau lo disakitin lagi sama Tama, jangan cerita ke gue."
Aku tahu hari itu Hendery marah. Pada apapun yang menyangkut aku dan Tama, sejak saat itu, Hendery tidak akan mau tahu. Sampai puncaknya perpisahan ku dengan Tama dua hari yang lalu. Hendery tidak memiliki minat sedikitpun untuk menanyakan alasan aku akhirnya memilih berpisah.
Ah, Bulshit, Hendery gak akan mungkin ninggalin aku sendirian. Lihat, sekarang aku sedang menikmati secangkir Latte sambil menonton series netflix kesukaannya. Ya, aku di apartement Hendery. Aku bilang 'kan? Dia adalah orang yang akan ada di saat-saat sulit hidup ku. Hendery, disini, gak mempertanyakan apapun selain menggenggam tangan ku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hopeless Romantic
Fanfiction"Kayanya, ini waktunya kita buat udahan ya, Hen?" Sebuah awal yang sebenar-benarnya akhir. Perihal rasa yang tersirat di antara kalimat "gue takut kehilangan, lo." Tentang rumah yang tak kunjung ramai. Tentang hubungan yang hanya menyisakan, selamat-