Suara teriakan Hendery terdengar di setiap suduh unit apartement nya. Aku tebak, ia sedang bersumpah serapah di depan komputernya, bermain game favoritnya bersama Laksa di sebrang sana. Demi Tuhan ini lebih menegangkan dari ujian lisan pada mata kuliah Pembangunan yang diempu Pak Rasyid.
Alih-alih menyapa Hendery, aku memilih duduk di depan tv apartnya. Menunggu ia sadar bahwa temannya ini sedang dirundung takut.
"Udah bangun?" tanya Hendery setelah menyadari kehadiranku.
"Hm," jawabku setengah takut.
"Makan, gue bikin sup, maksudnya gue beli sup," ucapnya.Aku bersumpah bahwa diam nya kali ini semakin menimbulkan mual berlebih di perutku. Padahal kalau dia mau berteriak sampai telingaku pengang juga aku tidak apa-apa.
"Abis ini pulang, gue antar." Tuturnya dengan langkah kaki yang ia arahkan kembali ke kamarnya.
Kacau, Hendery terlanjur marah.
Piring-piring yang kami gunakan untuk makan telah aku cuci bersih, sebersih mungkin berharap amarah punya Hendery ikut tercuci bersih. Lantas, aku berjingkat ketika gawai ku bergetar dari balik bantal sofa milik Hendery, "Kenapa?" tanyaku pada Dinda di sebrang sana, "Gue di depan rumah lo, kok kosong?" Tanyanya memburu.
Sial, ketika hendak menjawab pertanyaan Dinda ponsel ku direbut Hendery dengan kasar, "Pulang, Kayana di apart gue. Lo pulang, jangan ketemu dulu lo berdua," ucapnya final.
Setelah menutup telpon dari Dinda, laki-laki ini langsung keluar unit dengan sedikit membanting pintu. Sial, kali ini jangan harap ini cuma prank.
"Dery," panggilku yang masih diabaikannya.
"Maaf," lirih ku pelan ketika kami sudah di mobil kuning kesayangannya.
"Maaf buat apa?" Tanyanya ketus.
"Gak lagi kaya gitu, kemarin gue sama Dinda beneran kalut, Der. Kita sama-sama kehilangan laki-laki yang udah lama sama kita,"
"Bukannya apa-apa ya, Kay, demi Demeter, hidup lo sepenuhnya punya lo, yang menentukan semua hal, baik buruknya juga lo sendiri. Tapi, bisa kan gak pakai buat gue khawatir?"
"Maaf,"
"Kayana, gue tahu bahkan sangat tahu gimana kedudukan Tama di kehidupan lo. Tapi, apa ngga bisa kalau lo lebih menghargai diri lo sendiri?"
"Iya makanya, engga lagi kaya gitu."Suasana canggung menyelimuti mobil yang kami tumpangi. Sebenarnya, bertahun-tahun kami berkawan, Hendery hampir tidak pernah ikut campur urusanku, bahkan ketika aku memutuskan untuk mencampakkan Damar, Hendery tidak benar-benar ikut campur.
Apa aku pernah bercerita tentang bagaimana kejamnya Hendery bermain peran? Tentang bagaimana dia seringkali membuat aku lupa posisiku? Sayangnya, aku tidak bisa apa-apa selain terus-menerus menelponnya ketika diujung rasa sakit.
bersambung
**
Hai! Maaf karena terlalu lama gak meneruskan cerita, karena beberapa keadaan. Huhu, semoga mulai sekarang aku bisa konsisten update dan menyelesaikan ceritaku! Terimakasih sudah bersedia datang ke cerita pertamaku!!
KAMU SEDANG MEMBACA
Hopeless Romantic
Fanfiction"Kayanya, ini waktunya kita buat udahan ya, Hen?" Sebuah awal yang sebenar-benarnya akhir. Perihal rasa yang tersirat di antara kalimat "gue takut kehilangan, lo." Tentang rumah yang tak kunjung ramai. Tentang hubungan yang hanya menyisakan, selamat-