Kalau ada hal yang sangat aku syukuri, aku sangat bersyukur Tuhan tidak membiarkan aku bersedih sendirian. Karena, ketika Tama benar-benar pergi, rasanya aku mulai muak dengan kisah cinta orang lain. Sedikit terdengar kejam, tapi, aku bersyukur Dinda juga turut merasakan patah hati sebab harus menelan pahit keputusan Yasa untuk berpisah. Sampai-sampai, satu bulan ini, hampir setiap hari aku bertemu Dinda. Lebih tepatnya aku dan Dinda banyak membuang-buang waktu dengan goleran di kamar kos Dinda, dengan playlist konyol milik Dinda. Bagaimana tidak konyol, playlist nya saja diberi nama lagu-lagu galau banget.
Hari ini lagi-lagi aku merebahkan punggungku di kasur milik Dinda, yang entah kemana pemilik kamar kos ini pergi. Lagu berjudul Ingkar milik Tulus terputar secara acak, membawa pikiranku melayang pada waktu aku berusaha melupakan Tama dengan cara paling tidak masuk akal. Waktu Mark tiba-tiba datang memperkenalkan Damar padaku, padahal perpisahanku dengan Tama baru berjalan tiga hari. Dengan tidak tahu dirinya, aku mencoba memberi harapan pada Damar yang jelas-jelas tidak memiliki ruang sedikitpun.
Aku coba dengan yang baru, ku kira hilang bayangmu
Namun tiap dengan yang baru, rasanya seperti ku berbohong dan curangimu
Konyol. Padahal Hendery berkali-kali mengatakan untuk tidak gegabah, tapi, lagi-lagi aku congkak. Menganggap ucapannya angin lewat. Membiarkan setiap perkataannya keluar sia-sia. Sedang aku berakhir merasa bersalah lagi. Waktu itu, kalau Hendery bisa menamparku, mungkin ia akan menamparku sekencang yang ia bisa.
"Patah hati bukan artinya lo boleh mematahkan hati orang lain, Kayana."
"Gue Cuma berusaha ngelupain Tama, Hen."
"Kalau gue boleh lancang, lo gak perlu berusaha sebegitunya buat ngelupain Tama, karena akan selalu nihil. Kayana, delapan tahun itu gak sebentar. Lo pikir kehadiran orang baru bisa menggeser kedudukan Tama? Lo cuma perlu mulai mengikhlaskan perpisahan, Kay. Jangan coba untuk cari bahagia dengan cara sekejam itu, Kay."
"Lo gak ngerti rasanya."
"Oke bukan ranah gue buat kasih wejangan ke orang kaya lo. Ada juga kita makin ribut."
Perkataan Hendery sebenarnya tidak ada salahnya. Saat itu aku hanya terselimuti emosi yang teramat tebal. Sampai aku lupa memikirkan sudut pandang orang lain. Lupa caranya menekan ego ku. Aku sengaja menjadi baik-baik saja, yang ternyata tidak membuahkan hasil malah semakin mencekik ku.
"Kay" suara Dinda berhasil membuyarkan lamunanku, rupanya dia masih sama kacaunya dengan aku.
"Lo abis nangis apa gimana sih, Din?" tanyaku khawatir, sebab matanya yang saat ini hampir menyamai warna piyama hello kitty miliknya.
"Gue keinget Yasa lagi. Kok dia tega sih ngelepasin gue?"
"Lo bawel kali, dia jadi males sama lo"
"Gue vaksin juga mulut lu. Ngomong sembarangan banget."
"Din, serius deh, kita gak bisa kaya gini terus."
"Maksud lo?"
"Kita gak boleh cuma goleran sambil dengerin lagu Geisha aja sampai kaya orang nolep. Kita harus cari kesibukan."
"Kesibukan yang lo maksud itu gimana? Ke perpus bacain jurnal? Di kosan juga bisa."
"Apa gitu kek, yang asik."
"Yang asik ya dugem tiap malem. Biar kaya geng nya Kak Johnat."
"Mau coba gak?"
"Jangan macem-macem. Kita mati kalau ketahuan Mark sama Hendery, Kay."
"Makanya jangan sampai tahu."
"Terserah lo deh"
"Oke, gue balik dulu. Malem gue jemput. Jam 9 kali ya?"
"Lo serius?"
"Serius."
**
Seharusnya aku mendengarkan Dinda tadi siang. Siapa yang mengira kalau Desparados—salah satu club and bar di Surabaya ini ternyata bukan hanya tongkrongan Kak Johnat dan teman-temannya tapi, juga menjadi tongkrongan Mark. Mau pulang juga kepalang puyeng. Kepala ku benar-benar pusing, mungkin sedikit lagi tumbang. Terakhir yang aku ingat, aku meneguk segelas minuman dari Kak Devan—teman Kak Johnat, yang aku tidak tahu jenis minuman apa ini.
Kepala ku terasa berat ketika kesadaranku perlahan kembali. Setelah benar-benar sadar, aku tahu kalau sebentar lagi telingaku akan pengang. Aku-ada-di-apartemen-Hendery.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hopeless Romantic
Fanfiction"Kayanya, ini waktunya kita buat udahan ya, Hen?" Sebuah awal yang sebenar-benarnya akhir. Perihal rasa yang tersirat di antara kalimat "gue takut kehilangan, lo." Tentang rumah yang tak kunjung ramai. Tentang hubungan yang hanya menyisakan, selamat-