Sebenarnya banyak pertanyaan di kepalaku, sayang nya Hendery menolak untuk berbicara. Padahal ini sudah lewat tiga hari dari terakhir kali ia mengantar aku pulang.
"Gue kalau mabok ngomong aneh-aneh gak sih, Mark?" Tanyaku pada Mark yang sedang sibuk dengan laptopnya. Matanya melirikku kemudian ia lanjutkan dengan satu tarikan nafas yang kelewat panjang, "bukan lagi, lo bacot banget," jawabnya yang semakin membuat aku ketar-ketir.
Suasana gazebo kampus hari ini tidak seramai biasanya, sehingga aku bisa dengan leluasa duduk sambil menemani Mark menyelesaikan makalahnya. Berbicara tentang Hendery, selain ia menolak berbicara, aku rasa ia juga sedang menjalankan aksi mogok kuliah, karena tiga hari ini aku tidak melihat dia di kampus.
Aku tidak pernah banyak berbicara perihal keluarga, karena tepat umur empat belas aku kehilangan kisi-kisi tentang gambaran keluarga yang harmonis. Ayah yang pulang beberapa bulan sekali, bagian lucunya selalu ketika Bunda perjalanan bisnis. Tidak sulit untuk aku menyadari keadaannya, keluargaku tidak utuh. Tetapi, lebih jauh lagi, aku selalu berpura-pura tidak tahu agar Bunda tidak kemana-mana. Kemudian, aku terlampau malu untuk menceritakan kekacauan ini bahkan jika itu dengan Hendery.
Hendery, laki-laki itu banyak berharap untuk keadaanku. Berdoa untuk kebahagiaanku, bahkan lebih kejinya, ia selalu mendoakan agar hidupku selalu seperti ini, padahal setengah mati aku berusaha untuk terlihat baik-baik saja, agar semua orang tidak tahu apa yang sedang aku alami.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hopeless Romantic
Fanfiction"Kayanya, ini waktunya kita buat udahan ya, Hen?" Sebuah awal yang sebenar-benarnya akhir. Perihal rasa yang tersirat di antara kalimat "gue takut kehilangan, lo." Tentang rumah yang tak kunjung ramai. Tentang hubungan yang hanya menyisakan, selamat-