Saat ini Revan berada di ruangan yang dominan berwarna putih. Dengan infus ditangannya dan Ariell yang setia menemani disebelah brankar.
"Pak, tolong maafkan saya. Saya jangan dipecat ya pak. Saya ga tau kalo bapak alergi jamur. Cari pekerjaan sekarang susah loh pak. Belum lagi keinginan saya untuk travelling belum terwujud, please!" Cerocos Ariell dengan muka memelasnya dan telapak tangan yang menangkup jadi satu.
Revan yang baru saja siuman bukannya semakin membaik malah memburuk karena ucapan Ariell yang tak henti-hentinya meminta maaf. Pening sudah tuh kepala, semoga saja kadar ketampanannya tak berkurang karena bintik-bintik merah di seluruh tubuhnya.
"Ak ...."
Baru saja Revan ingin bicara teralihkan oleh suara pintu yang dibuka tergesa."Astaga Revan! kamu kenapa ini, wajah, tangan, kaki! Oh My God," cerocos wanita yang terlihat glamor itu sambil memegang wajah, tangan dan kaki Revan.
Wanita itu melihat kearah Ariell dengan tatapan permusuhan yang kentara.
"Oh, apa jangan-jangan kamu yang udah buat anak saya jadi seperti ini! HAH! JAWAB!" Bentak wanita itu.
"Ma, udah dong. Ini rumah sakit," bujuk Revan kepada wanita tadi yang ternyata mamanya.
"Diem kamu! Kamu ini kan asistennya Revan, jadi harus tahu apapun tentang Revan. Tapi ini apa? Hah! Kamu hampir buat anak saya celaka. Kalau seandainya kamu terlambat sedikit bawa Revan ke rumah sakit nyawanya bisa saja tak tertolong. Kamu denger kan saya ngomong apa?!" Teriak marah wanita itu dihadapan Ariell yang menunduk membendung air matanya.
"Maaf hiks Bu, saya benar-benar tidak tahu kalau pak Revan alergi jamur. Sekali lagi saya minta maaf, tapi tolong jangan pecat saya. Kasih saya kesempatan Bu, saya mohon," Ucap memelas Ariell dengan mata yang masih mengalirkan airnya.
"Huh! Kamu keluar dulu!" Ucap wanita itu kepada Ariell.
Setelah Ariell keluar, barulah Revan bernafas lega.
"Kamu itu gimana sih nak, cari asisten kok yang ga becus kayak dia. Kalau gini caranya, mama akan carikan penggantinya."
"Tapi ma--
"Ga ada tapi-tapian," tukas sang mama--Rani Dawson.
"Ma! Mama engga boleh egois, aku begini juga karena mama ga pernah perhatian sama aku. Yang mama pikirin cuma arisan ga jelas sama teman-teman mama. Aku juga pengen diperhatikan ma! dari dulu selalu abang yang dinomor satukan. Apa segitu engga bergunanya aku Dimata mama?!"
"Nak--
"Apa ma! Aku udah ngalah waktu Abang ga mau urusin perusahaan peninggalan papa. Lalu sekarang apa lagi!" bentak Revan.
Memang sejak lima tahun lalu saat papanya meninggal, ia yang harus menggantikan papanya. Sedangkan kakaknya lebih memilih cita-citanya menjadi dokter.
"Oke, mama beri kesempatan untuk gadis itu."
"Aku ga perlu ijin mama." Revan memalingkan wajahnya menghadap jendela.
Mendengar ucapan Revan, sang mama akhirnya berbalik meninggalkan ruang rawat Revan. Setelah menutup pintu, Rani masih melihat Ariell didepan ruang rawat, dan berlenggang pergi mengabaikan Ariell yang berdiam diri seperti patung.
Ariell segera masuk kedalam. Suasana didalam sangat dingin tak seperti biasanya. Revan yang mulutnya selalu ngoceh sekarang diam membisu menatap jendela yang menampilkan rintik hujan.
"Pak bos,saya minta maaf ya," cicit Ariell tak berani menatap mata Revan.
"Kalo ada orang ngomong tuh liat mukanya, bukan malah ngeliat lantai."
Akhirnya Ariell pun berani menghadap ke arah Revan.
"Aaaaaaaaaa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ariella & Revan (On Going)
RandomNote : Cover buat sendiri, pengen juga dibuatin? DM aja. Karena keinginan Ariella traveling ke beberapa negara membuat ia harus menjadi asisten pribadi CEO tempat lamaran kerjanya. Sifat ngeselin sang bos membuat ia jadi geregetan. Karena terbiasa...