2.

154 17 1
                                    

Anye melongo melihat pemandangan di depannya. Pasar dalam ilmu ekonomi  adalah tempat bertemunya penjual dan pembeli untuk melakukan transaksi jual beli barang dan atau jasa.

Pasar pada umumnya adalah pusat kesemrawutan ibu - ibu di pagi hari yang dimana didalmnya tercampur bau - bau tidak sedap mulai dari bau amis ikan sampai bau keringat manusia.

Para penjual yang membuka lapak dagangnya kocar - kacir. Saling berebut tempat dan hanya mengandalkan meja peyot yang digotong dari rumah. Atau hanya sekedar mengampar lemek sebagai alas barang dagangannya.

Tapi, di sini, di depan mata Anye pemandangan pasar kumuh di tempat tinggalnya tidak terlihat disni.

Tidak ada kesemrawutan, tidak ada bau - bau menyengat yang membuat Anyelir harus menahan mual saat lewat di depan penjual ikan. Tidak ada meja peyot atau lemek plastik. Tidak juga ada lantai tanah becek penuh genangan air saat hujan.

Pasar di sini sangat rapi, bersih, lantai dan lapaknya terbuat dari keramik membentuk kubikel - kubikel kecil bersekat, penjualnya juga tertata sesuai dengan golongan dagangan mereka. Pasar tradisional bertaraf internasional.

Anye bertepuk semangat. Kalau pasarnya seperti ini, di ajak muter sampai lima jam hayuk lah.

Lapak pertama yang di datangi Anye adalah penjual ikan. Anye harus membeli beberapa macam ikan, udang, cumi, kerang dan lobster kalau ada. Eh, tapi bentuk lobster itu yang seperti apa? Maklum anak desa, lihat lobster hanya dari tivi saja. Ada juga sih di pasar di rumah, tapi jarang Anye melihatnya hadir di pasar. Mungkin karena harganya yang cukup mahal jadi tidak dijual setiap hari karena jarang pembeli.

Ikan selesai lanjut pada daging - dagingan. Kata Bi Rahma, Anye harus membeli iga, daging has dalam, daging has luar, dan tetelan. Jangan lupa daging ayam juga.

Lanjut pada sayur mayur. Anye mengeluh berat setelah dilihat dua kantong belanjaannya di tangannya hampir penuh. Ia melirik jam dan sudah hampir jam delapan. Wah, benar nggak kerasa muter - muter hampir dua jam.

Tujuan terakhir adalah bumbu dapur.

"Bang, beli lengkuas seperapat. Berapa?"

"Goceng, Neng."

Sigap Anye mengeluarkan selembar sepuluh ribuan. Setelah menerima lengkuas pesanannya Anye mengucap terimakasih dan beranjak pergi.

"E e eh, Neng tunggu. Ini kembaliannya,"cegah abang dagang bumbu - bumbu.

"Loh, lengkuasnya goceng kan, Bang?"

"Iya, goceng. Dan ini kembaliannya."

Anye mengernyit melihat abang bumbu - bumbu menyodorkan kembalian lima ribuan. "Kok masih pakai kembalian? Goceng itu sepuluh ribu kan?"

"Lah, kata siapa goceng sepuluh rebu,"abang bumbu tertawa terbahak. "Goceng mah lima rebu atuh, Neng. Kalau sepuluh rebu itu ceban."

Anye seketika mengumpat mengingat pedagang asongan yang memberi harga air mineral sepuluh ribu. Dasar pedagang sialan.

"O- oh, gitu ya. Makasih ya, bang,"Anye menerima kembalian itu sambil tersenyum kaku.

"Si Neng baru, ya disini?"

Anyelir mengangguk.

"Asli mana, Neng? Ayu pisan teh."

Anye meringis kemudian berlalu. Masih mengumpat kesal karena merasa sudah ditipu, Anye sampai tidak sadar kalau ia sudah berjalan keluar dari dalam pasar.

Kejam. Ternyata Jakarta memang kejam, Yah. Anye jadi takut.

Anye tiba - tiba merasa takut. Dalam sesaknya kendaraan yang terparkir berbaur dengan kendaraan lalu lalang di jalan, Anye dilanda serangan panik mendadak.

My Cinderella (OnGoing)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang