01 : jalani saja dulu

706 71 16
                                        

Jadi, jalani saja dulu.

Dalam saat-saat tertentu kalimat itu bisa membuat tenang. Karena sebenarnya dalam menjalani proses hidup, yang kali pertama dibutuhkan adalah tenang, dengan begitu pikiran jadi jernih dan bisa mencari jawaban untuk setiap permasalahan.

Namun terkadang kalimat ‘jalani saja dulu’ ini bisa menjadi boomerang juga. Sebab sangkin tenangnya bisa-bisa lupa arah, lupa mau apa, lupa mau bagaimana, hingga ketika akhirnya orang yang berhasil tenang itu jadi tersentak. Sadar. Rupanya dia belum mempersiapkan apa-apa semasa tenangnya. Dan itulah yang sedang kualami saat ini.

Sejak kecil hidupku disetir dengan apik oleh orangtuaku—mama yang paling mendominasi, kurasa aku memang kelewat penurut sampai apapun katanya aku pasti mudah terpengaruh dan mengiyakan—atas dasar sayang pastinya. Jadi kalau bukan karena bujukan mama agar aku memenuhi harapannya dan ayahku maka aku mungkin tidak berada di sini.

Oke, mari tinggalkan sejenak asal mula kenapa aku akhirnya mondok, sebab saat ini aku sedang berusaha mengumpulkan sebagian nyawaku setelah terbangunkan oleh dering jam beker yang menjerit sejak tadi.

Ketika sedang mematikan jam beker yang memekik, aku mendapati salah satu temanku sudah menunaikan sholat tahajud. Aku beranjak duduk, menimbulkan suara derik dari ranjang besi tingkat satu yang menjadi tempatku tidur. Kutepikan selimut dan kuulurkan kaki ke lantai. Dinginnya menyentuh telapak kaki.

Bangun lebih awal menjadi kebiasaan yang kudapatkan dari Pondok. Kabar baiknya tubuhku lebih segar di pagi hari, tapi jadi cepat mengantuk di waktu siang. Makanya sebelum ataupun sesudah dzuhur menjadi waktu terbaik yang disarankan untuk istirahat. Tapi percayalah, saat mondok jam tidurmu itu biasanya sedikit, jadi mencuri-curi waktu tidur 10-15 menit adalah hal yang paling nikmat. Mungkin itulah yang disebut nikmat tidur sebenarnya. Kalau salah satu ustadz pernah bilang bahwa tidur itu bukan penting pada kuantitas namun pada kualitas. Ya, aku jadi mengerti sekarang.

Aku beranjak. Merenggangkan tubuh agar tulang-tulangku tidak kaku. Satu persatu teman sekamarku yang berjumlah 9 orang—perkamar diisi 10 sampai 15 orang tergantung besar ruangannya—terbangun dengan cara mereka masing-masing. Ada yang masih dengan mata merem. Ada yang menggaruk-garuk belakang lehernya sampai ke kepalanya—seolah-olah dia kutuan. Ada yang sangkin malasnya bangkit dari tempat tidur memilih menggelindingkan tubuhnya dari ranjang dan mengeluh.

“Maeeek! Aku masih ngantuk.”

Seorang teman mendatanginya dengan mengucap,” astaghfirulah, akhi. Ayo, wudhu sana biar ikatan setan itu hilang,” katanya penuh hikmah. Namun sebaik apapun kata darinya. Si gembul yang menggulung dirinya dalam selimut itu malah makin mengeluh.

“Setannya kuat kali. Aku nggak sanggup,” dia beralasan.

Umar—teman yang penuh hikmah itu berjongkok dan menepuk-nepuknya sambil membaca surah 3 Qul.

“Heh, kau pikir aku kemasukan setan?” protes si gembul—maaf, harusnya kukenalkan juga siapa dia. Namanya Ajis. Abdul Aziz Pasaribu—walau bermarga tapi dia asal Palembang.

Umar tertawa, “kan, tadi akhi bilang setannya kuat. Ini lagi dibacain biar hilang.”

Ajis bangkit.

“Alhamdulillah,” ucap Umar—seolah-olah bacaannya tadi berhasil membuat kabur setan yang mengikat Ajis.

Ajis menatapnya kesal. “Lebai kali, lah!”

Umar tertawa. Dia beranjak dan melipat sajadahnya. Dia lah yang tadi sedang menunaikan sholat. Sehabis tahajud biasanya dia akan membaca Quran, menambah hapalan sampai waktu Subuh datang.

Sebelum melanjutkan rutinitasnya itu, Umar mendatangiku yang masih belum beranjak pergi ke kamar mandi. Sedangkan yang lain sudah mulai sibuk menyiapkan pakaian agar bisa mandi lebih awal. Kalau tidak, bisa-bisa terjebak antrian panjang yang melelahkan dan ujung-ujungnya jadi telat masuk.

HazeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang