Pertengahan semester awal, acara MTQ Nasional akan dilangsungkan. Mengundang seluruh ponpes di seluruh Sumatera Utara untuk berpartisipasi di dalamnya. Dari ponpes kami didaftarkan sekitar 20 santri dan santriwati. Salah satu di antaranya adalah Umar.
Aku melihat dia jauh lebih banyak murojaah dan latihan tahsin dengan ustadz-nya. Sebagaimana hari ini, selepas sholat subuh, Umar masih menyempatkan diri untuk latihan membaca, padahal bagiku bacaannya itu sudah sangat bagus.“Masya Allah…” Ajis melayangkan pujian dengan gaya lebai saat Umar menuntaskan bacaannya. Kukira hanya aku yang sedang memperhatikan, ternyata ada Ajis bahkan Ghazi juga. Walau dia bersembunyi di balik buku yang dibacanya. Ah, kali ini Ghazi membawa sirah nabawiyah yang sangat tebal. Aku yakin kalau kitab itu jatuh ke kepalanya, dia pasti langsung hilang ingatan.
Umar tersenyum kecil.
“Menang lagi lah ini, yakin aku,” kata Ajis lagi. FYI, Umar memang memenangkan MTQ tahun lalu. Juara kedua. Yang pertama diraih oleh santri dari ponpes lain. Kalau tidak salah yang berasal dari daerah Padang Sidempuan.
“Doakan ya, Akhi.”
Aku dan Ajis seolah kompak mengacungkan jari jempol.
Acara MTQ dilakukan di Tebing Tinggi yang menjadi tuan rumah untuk tahun ini. Peserta yang berpartisipasi kurang lebih ada ribuan orang setiap tahunnya. Setiap ponpes menjagokan minimal 20 santri mereka. Belum lagi tim pendukung yang diizinkan meramaikan acara. Aku, Ajis dan Ghazi ialah orang-orang yang hadir dalam acara sebagai tim pendukung.
Persiapan dari pondok kami terbilang heboh. Selain menyediakan dua bus, satu untuk santri dan satu lagi untuk santriwati, juga menyewa jasa fotografer untuk mendokumentasikan acara. Padahal tahun lalu tidak seheboh ini.
“Mungkin karena ini tahun terakhir bintang kita,” kata Ajis, yang membuat Umar tertawa.
Di dalam bus yang belum melaju, aku duduk bersama Ghazi. Dia melamun. Sedangkan Umar duduk bersama Ajis, di depan kami. Samar-samar aku mendengar Umar yang sedang membaca Al Quran, sedangkan Ajis memujinya dengan lebai—seperti biasa.
“Eh, itu Kiya, kan?” suara dari belakang membuat mataku mengarah ke luar jendela. Di bawah sana, di depan bus untuk santriwati, ada beberapa gadis yang mengantri masuk ke dalam bus. Aku mendapati sosok Kiya di antaranya, bersama teman-temannya. Aku termangu memandang ke sana.
“Si Kiya ikut juga, ya?” kali ini suara dari depan, milik Ajis.
“Iya, dia juga perwakilan santriwati sejak tahun pertama.”
Kalau Ajis sudah berbicara maka aku tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Dia bangkit dari duduknya lalu melihat ke belakang, ke arah kursi kami.
“Ri, Ri, kau tengok, kan?” aku mendapati alis hemat Ajis naik turun memberikan kode.
Aku cuma berdeham pelan. Si Ajis malah tertawa.
“Eh, Mar coba lah agak kau jodohkan kawan kita ini sama si Kiya,” tukasnya pada Umar.
Umar membalikkan badan ke arah kami, tepatnya dia melihat ke arahku.
“Antum mau?” tanya Umar padaku. Situasi ini menjadikan aku canggung. Kenapa Ajis harus mengungkit hal ini coba?
“Bilang iya loh, Ri,” Ajis ngomporin.
“Apa, sih kalian. Bahas begituan sekarang, kan nggak etis juga.”
Alis Ajis menyatu tanda tak setuju. “Mana tahu kau mau nikah muda juga. Kayak sobat kita si Umar ini.”
Umar langsung menghadiahkan sikutan cepat ke tulang rusuk Ajis. Membuatnya mengaduh. Sepertinya itu rahasia yang cuma Ajis tahu, atau Ajis tanpa sengaja tahu. Sebab aku yakin Umar tidak mungkin sesembarangan itu membagikan soal pribadinya.
“Udah lah, bukannya penting bahas itu sekarang,” ucapku agar obrolan soal ini tidak dilanjutkan. Tapi Ajis terus mengoceh. Aku memilih bisu saja, tidak menanggapi apapun yang dikatakan Ajis soal Kiya. Dia dengan sok tahunya mengatakan Kiya begini dan begitu padahal kenal pun tidak.
Soal kenapa akhirnya Kiya menjadi bahan ledekan Ajis padaku ialah karena waktu itu aku pernah bilang kalau aku mengenal gadis itu. Yaa… sebenarnya juga tidak bisa dibilang kenal sebab Kiya sendiri tidak mengenalku.
Di dalam pondok, bagi santri punya kenalan santriwati pasti akan menimbulkan kehebohan. Langsung di-cie-cie-kan walau sudah menjelaskan berulang-ulang bahwa hanya sekadar tahu dan kenal saja. Beda lagi kalau memang ada perasaan suka, bisa-bisa habis digoda sampai orangnya malu sekali.
Awal mula aku mengenal Kiya ialah enam bulan setelah kepindahanku. Saat itu ada acara yang melibatkan seluruh sekolah di kabupaten tempatku tinggal. Semua peserta didik setiap sekolah melakukan baris berbaris di lapangan kota. Upacara dilangsungkan dengan iringan marching band.
Keseluruhan acara itu sangat membosankan, ditambah diamnya Ghazi dan berisiknya Mey. Gadis itu entah kali ke berapa ditegur guru saat ketahuan mengoceh terus di dalam barisan. Entah apa saja yang dia ocehkan, padahal Ghazi juga sama sekali tidak memberikan respons apa-apa padanya.
Sebelum berakhir, acara ditutup dengan pertunjukan marching band. Seorang mayoret berjalan dengan penuh percaya diri ke tengah lapangan, diikuti oleh anggota marching band yang berbaris dengan alat-alat musik yang mereka bawa.
“Hahaha, tengok yang bawa drum besar di belakang itu, Ji! Kayak udah mau tejatuh dia.” Mey heboh menertawakan.
Aku tidak sempat melihat ke arah apa yang ditertawakan Mey, karena sedang terpaku melihat aksi sang mayoret yang memainkan tongkatnya. Memberikan aba-aba lalu melakukan aksi memutar tongkat di udara sebelum melemparkannya ke atas. Aku berdebar-debar melihat aksinya itu.
Hap! Berhasil ditangkap. Aku jadi lega.
Gadis yang memainkan tongkat itu juga terlihat lega, senyum tipis hadir di wajahnya. Aku terkesima, tanpa sadar berkata pelan, “cantik.” Yang rupanya didengar oleh Ghazi dan Mey.
“Siapa?” tanya mereka hampir bersamaan.
Aku kaget, mengira kalau ucapan itu hanya dalam hati saja.
“Ah, mayoretnya,” kujawab saja.
Ghazi tidak berkomentar, dia malah mendapat pertanyaan dari Mey. “Menurutmu cemana, Ji? Cantik?”
Ghazi menatap lurus ke depan—ke arah si gadis mayoret itu, “mungkin, nggak tahu lah.”
“Nggak normal kau, Ji!” Mey meninju bahu Ghazi sampai dia menyenggolku juga.
“Mey! Udah berapa kali kau ribut dari tadi?!” teguran guru membungkam Mey. Setelah itu dia tidak bersuara lagi.
Suara klakson bus yang dibunyikan membuyarkan lamunanku itu. Mengembalikanku pada realita saat ini, bahwa Kiya telah beranjak masuk ke dalam bus bersama teman-temannya. Membawa pandanganku mengarah ke sana sampai dia menghilang di antara rapatnya santriwati lain. Kiya memilih duduk di sisi seberang hingga sosoknya tertutup oleh yang lain.
“Ehem, dilihatin terus sampai hilang ya, Ri.” Suara Ajis yang membuyarkanku sekali lagi. Menyebalkan sekali, aku jadi salah tingkah, buru-buru membuang muka. Lalu jadi kaget karena bertemu mukanya Ghazi yang sedang melihatku.
“Astaghfirullah!”
“Awas hilang hapalanmu,” katanya, lalu kembali tunduk membaca buku.
Aku mengusap-usap dada karena sisa kaget yang masih ada. Aku lantas membalas kemudian, “awas muntah kau, baca buku di dalam bus.”
Ghazi cuma memberikan decakan pelan sebagai tanggapan.
Bus pun melaju. Perjalanan menuju Tebing Tinggi akan memakan waktu sekitar satu jam lebih. Perjalanan yang semua diisi dengan suara-suara heboh para santri berganti lengang karena tertidur. Ghazi adalah salah satu yang tertidur. Tidak punya teman bicara membuatku ikut mengantuk, namun belum sempat tertidur, bus berhenti mengisi bahan bakar di pom bensin. Setelah itu bus menepi sejenak, menyilahkan bagi santri yang mau buang air kecil.
Aku menyikut Ghazi, dia terbangun.
“Udah sampe?”
“Belum, masih ngisi bensin. Kau nggak turun? Entah mau pipis?”
Ghazi mengerjapkan mata melihat sekitar, lalu manggut-manggut. “Ya udah, ikut.” Katanya.
Kami turun bersama, kecuali Umar yang melanjutkan tidurnya.
Antrian cukup panjang di depan toilet. Ajis mulai cemas karena kebelet.
Klik! Suara itu membuat pandangan kami menoleh. Seorang laki-laki berusia 20-an tahun baru saja mengabadikan momen antri kami di depan toilet. Mungkin wajah cemas Ajis tadi pun berhasil di bidik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Haze
Fiksi Remaja::: Graduation Series for Penerbit Republika ::: Judul : The Haze Inside Penulis : Aiu Ahra Lulusan pesantren kerap dianggap akan menjadi ustadz ketika lulus kelak. Tapi, Rigel tidak mau menjadi seperti itu. Mimpinya justru berada di tempat lain, ta...