06 : hubungan yang harus dijalin

108 32 1
                                    

Pertanyaan soal masa depan itu masih menjadi PR hingga hari ini. Hari demi hari terlewati, mempertemukan minggu ke minggu. Kepala Ghazi yang gundul, mulai ditumbuhi rambut lagi. Akhirnya dia sudah pede menunjukkan kepalanya itu tanpa peci lagi di jam istirahat. Dia juga sudah tidak menghindariku, jadi aku menyimpulkan mungkin keadaan Ghazi sudah baik-baik saja. Kami pun sudah menjalani aktivitas makan dan belajar bersama.

Siang itu terjadi sedikit keributan di rayon, ada penataan ulang penghuni kamar yang dibuat oleh penanggung jawab asrama. Sudah menjadi tradisi ketika tahun ajaran baru untuk santri tahun terakhir dibuat satu rayon, dipisahkan dengan adik-adik kelas guna terjalankannya aktivitas belajar yang lebih produktif.

Salah satu penghuni kamar lain akan diungsikan ke rayon kami, yang sama sekali tidak kusangka-sangka adalah Ghazi. Aku—satu-satunya—yang bersorak senang karena akhirnya dia satu kamar dengan kami. Reaksi Ajis tampak abu-abu, antara senang tapi tidak senang, kesal juga tidak. Mungkin dia lebih terlihat mencoba ramah tapi tidak bisa pada orang seperti Ghazi—yang punya wajah serius.

Umar, sudah pasti tidak banyak berkomentar. Tidak protes pada penanggung jawab, tidak juga beramah tamah pada Ghazi. Sedangkan yang lain menyambut seadanya saja.

Ghazi, jangan tanya bagaimana reaksinya. Dia tampak biasa saja. Lalu dengan seenaknya mengambil tempat tidur tanpa memastikan apakah itu ada yang menempati atau tidak. Untungnya memang tidak ada.

Aku mendatangi tempat Ghazi dengan wajah yang—mungkin kelihatan sekali—senang. Sementara itu Ghazi datar-datar saja. Dia sibuk menata barang bawaannya yang tidak banyak.

“Ehem,” Umar berdeham, sebagai ketua kamar sudah seharusnya dia berkewajiban memiliki hubungan yang baik dengan teman sekamarnya. Kupikir Umar pasti sedang melawan egonya ketika mendatangi aku dan Ghazi. Tangannya terulur ke arah Ghazi, sementara wajahnya dibarengi ekspresi ramah. Tidak terlihat dibuat-buat karena alamiahnya wajah Umar memang ramah dan tampak mudah senyum.

Ghazi sudah pasti melihatnya dengan wajah bingung, walau tahu itu bentuk keramahan Umar padanya.

“Kenapa?” aku ingin menjitak kepala Ghazi karena caranya bertanya kedengaran ketus begitu. Aku yakin betapa Umar berusaha mengalahkan ketidaksukaannya pada Ghazi namun dia tetap suportif menyapanya.

“Yaa, cuma mau jalin silaturahmi aja.” Umar menegaskan uluran tangannya agar mendapat sambutan. Aku membuat isyarat agar Ghazi menyambutnya saja. Untungnya dia menurut kali ini. Aku bernapas lega. Sama sekali tidak berharap dua orang ini adu jotos walau aku rasa mustahil, sebab Umar tidak suka main fisik dan Ghazi tidak suka repot.

“Setiap kamar punya aturan yang beda-beda tergantung ketuanya, jadi ana harap antum patuh sama aturan yang ada,” Umar mengatakan itu dengan tegas namun pembawaan wajah yang santai.

Ghazi tidak menyahut, dia cuma berdeham kecil. Mungkin itulah jawaban ‘iya’ darinya.

“Tenang aja, Mar. Aku yang bakal ingatin dia.”

Umar menoleh ke arahku lalu mengangguk-angguk. Dia kemudian menepuk pundakku sebelum kembali ke tempat tidurnya.

“Memangnya aturan apa yang dia bikin? Sini biar kulanggar,” ujar Ghazi begitu Umar pergi. Walau pelan, aku yakin Umar masih bisa mendengarnya. Jadi kuhadiahkan tepukan agak keras ke lengan Ghazi. Sikapnya malah santai seolah nggak ada dosa.

“Udah lah jangan cari musuh.”

“Siapa yang cari musuh?” dia malah balik menantang. Aku memilih tidak menggubrisnya. Dalam saat seperti ini lebih baik mencari topik pembicaraan lain.

“Eh, jatah nelponmu semester ini udah berapa kali?” kuharap ini topik yang tepat. Sebab aku agak khawatir kalau menyinggung soal keluarga.

“Kenapa? Mau kau pake lagi?”

Tentu saja tidak! Itu cuma basa-basi supaya kami membahas hal lain. Ah, sekadar informasi biasanya di pondok setiap santri mendapat jatah menelepon keluarganya. Per semester biasanya hanya 3 kali dan berlangsung selama maksimal dua jam saja. Melewati dua jam biasanya telepon akan diputus sepihak oleh operator yang berjaga.

Ketika Ghazi bilang ‘lagi’ hal itu lantas mengingatkanku akan kejadian di mana aku sering menggunakan jatah meneleponnya untuk menghubungi mama. Sindrom anak mama yang rindu rumah. Itu kulalui saat masih tahun pertama di pondok. Semua keluh kesahku biasanya akan tumpah pada Mama. Biasanya Ghazi yang menungguiku akan menguap tanda bosan. Ketika aku yang gantian menunggui Ghazi menelpon orangtuanya, dia tidak banyak menghabiskan waktu. Lebih banyak diam. Kurasa sebaliknya, justru orang tua Ghazi yang banyak berkeluh kesah padanya. Apalagi setelah menelepon biasanya Ghazi selalu menghela napas, seolah ada beban.

Jika kutanya ‘tadi nelpon siapa?’ dia akan jawab singkat, ‘bapakku.’ Tapi tidak pernah membahas apa yang mereka bicarakan. Mungkin Ghazi hanya mendapatkan kalimat motivasi dari ayahnya sebelum dia meminta nasehat apapun. Kebanyakan motivasi pun kadang tidak berguna kalau yang diberikan motivasi pada dasarnya memang bukan orang yang menginginkan adanya motivasi itu.

“Masuk akal nggak, kalo kita tanya nasib masa depan kita sama orang tua kita aja, Ji?”

Ghazi mendecak. “Bahas itu lagi?”

Aku tidak menyahut. Jadi dia lantas mengembangkan selimut, niatnya mau tidur. Tapi aku menghalangi. Decakan Ghazi terdengar lagi, kali ini tanda kesal.

“Kalau itu solusimu ya tanya aja lah!”

“Masalahnya kalo tanya mama, pasti jawabannya… ‘terserah’”

“Ya, coba tanya sama ayahmu, lah kalo gitu.”

Aku jadi bungkam. Ghazi bukannya tidak tahu soal hubunganku yang lumayan kaku dengan papa. Jika kami bersama-sama—maksudnya ada aku, mama, papa—hubungan kami sekilas tampak biasa saja. Namun beda kalau sudah ditinggal berdua. Rasanya masih canggung. Padahal sudah sekitar empat tahun aku tinggal dengannya—ah secara harfiahnya aku tinggal setahun penuh dengannya karena selebihnya aku mondok tiga tahun berikutnya.

Aku ingat sekali bagaimana akhirnya cara papa membuatku berada di sini.

Malam itu sebelum UN, aku berkutat di depan meja belajar. Mengerjakan beberapa contoh soal-soal UN tahun lalu. Saat itu, pintu kamarku diketuk. Namun belum sempat menyahut, pintunya malah sudah dibuka. Dan langkah kaki mendekatiku.

“Masih belajar?” suara mama. Jelas saja, yang sering mendatangi kamarku cuma mama. Papa tidak pernah, ya pernah hanya sesekali. Itu pun tidak pernah lama.

HazeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang