03 : menyangkal tuduhan

182 43 0
                                        

“Assalamua’laikum, boleh, ya gabung,” Umar mendatangi kami setelah selesai dengan tugas piketnya. Saat itu makanan Ajis sudah tandas, sedangkan aku baru makan setengah isi piringku.

“Wa’alaikumsalam, boleh, tapi bagi lah,” ujar Ajis. Aku menahan senyum.

Umar cuma tertawa, mengira itu candaan. Karena responsnya begitu Ajis cuma bisa mengecap-ngecapkan mulut tanda dia belum puas makan.

“Harusnya porsi laukku kau tambahin. Nggak puas aku makannya.”

“Makan itu, kan pemenuhan jasmani, bukan sekedar kenyang atau puas aja,” ucap Umar, santai.

“Orang Batak makannya memang jatah kuli, loh.”

“Ya, nggak bisa bawa-bawa suku lah.”

Aku cuma mengawasi perdebatan mereka, sambil sesekali melihat ke arah Ghazi di ujung sana.

Umar ikut menoleh ke arah yang sedang kulihat.

“Kawan SMP-mu itu?” tanya Umar. Informasi itu dia ketahui saat pernah bertanya soal hubungan pertemananku dengan Ghazi. Ini sudah tahun ketiga tapi Umar masih enggan menyebut nama Ghazi dengan cara yang benar. Dia jarang menyebut nama ‘Ghazi’ kecuali di ruang kelas. Kalau bersama-sama kami begini biasanya dia menyebut Ghazi dengan istilah-istilah seperti ; temanmu (aku), si muka datar, si otot muka dan sebagainya. Aku pernah tanya kenapa dia menamai Ghazi begitu, tapi Umar tidak memberikan jawaban yang memuaskanku.

Aku bergumam menjawabnya.

Ajis jadi ikut menoleh ke sana, “oh dia, untunglah nggak sekamar sama kita. Kalo nggak habis juga kamar kita digeledah.”

“Kamar orang itu digeledah?” tanyaku.

“Iya, lah.”

“Terus?”

Ajis mengedikkan bahu. “Katanya nggak ada rokok lain di tempat Goji. Mungkin memang bukan di kamar dia delekkan,” lanjutnya.

Aku melihat pada Umar yang sedang fokus makan. Berbeda dengan cara makan Ajis yang ngebut tadi, Umar makan dengan tenang.

“Mar, kau serius memang nangkap basah Goji merokok?” tanyaku.

“Aku lihat dia bawa rokok.” Umar menjawab santai.

“Lagi ngerokok?” aku memastikan.

“Enggak.” Setidaknya Umar terlihat jujur. Karena aku pun yakin Ghazi tidak mungkin merokok.

“Terus kau nuduh dia merokok?” tudingku tanpa persiapan.

“Astaghfirullah, Akhi. Aku nggak nuduh dia merokok. Aku lapor ke keamanan. Itu aja.” Umar mengurut dada.

“Terus kenapa dia bisa sampe dibotak kalo nggak merokok?”

“Dia bawa rokok, jadi hukumannya sama aja. Dia juga nggak mau jujur bilang rokok itu dia dapat dari siapa.”

“Memangnya pas kau tanya sendiri sama dia, apa katanya, Ri?” tanya Ajis, dia juga ikut penasaran.

“Dia nggak jawab.”

Ajis melipat tangan di depan dada, belagak seperti detektif dengan kesimpulan asal mengatakan, “berarti dia udah nggak beres dari lama. Kalian pernah dengar, kan kalo di pondok pun ada preman. Mungkin Goji udah jadi kaki tangannya.”

Kalau soal preman—aku tidak menemukan istilah yang tepat juga—di pondok, aku juga tahu. Sebab sekolah dalam bentuk apapun tidak bisa luput dari jenis manusia bandel. Tapi kalau Ajis menyimpulkan bahwa Ghazi adalah bagian dari mereka tentu saja tidak dapat kuterima. Aku mengenal Ghazi dengan baik. Dia tidak mungkin mau terlibat dalam hal-hal yang merepotkan seperti itu. Ghazi itu adalah tipekal orang lebih baik mengosongkan lembar jawabannya ketimbang mencontek jawaban orang lain.

HazeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang