BDSB, CHAPTER 7: SALAH JALUR

1.5K 250 26
                                    

Pembicaraanku dengan Verani terakhir kali membuatku sama sekali tidak fokus pada pekerjaanku belakangan ini. Lagi, aku merasa seseorang mengikutiku seperti pertama kali bertemu Rajendra. Apa itu orang yang sama? Kupikir Verani akan segera mengirimkan polisi untuk menangkapku, tapi itu sama sekali tidak terjadi dan justru membuatku takut akan kemungkinan yang yang lain.

Sebuah pesan notifikasi masuk ke dalam ponselku. Tanpa sadar air mataku menetes melihat pesan yang baru saja kuterima. Undangan pernikahan Lintang tanpa tertulis namaku di sana, tidak ada caption apapun bawah gambar undangan yang kuterima. Apa aku baru saja dibuang? Apa aku harus mengkonfirmasi ini secara langsung dengan Lintang. Benar, kalaupun udangan itu benar faktanya, maka aku dan Lintang harus menyelesaikan hubungan kami kan?

Tanganku menekan tanda panggil diponselku. Tidak lama hingga Lintang mengangkat panggilanku tapi ia sama sekali tidak bersuara di sebrang namun aku tahu benar ia masih berada di sana.

"Undangan itu benar?" tanyaku langsung.

"Ya,"

"Okey, selamat ya,"

"Terima kasih,"

Setelahnya aku mematikan ponselku, bagiku 'ya' adalah jawaban cukup untuk ending kisah kami. Demi apapun aku tak lagi butuh alasan untuk memahami semua ini. Jauh-jauh hari aku telah menyiapkan hatiku untuk hal seperti ini, tapi nyatanya hatiku tak siap apapun ketika hal ini terjadi.

Untuk sesaat duniaku berhenti berputar. Aku sudah menduga ini akan terjadi cepat atau lambat tapi aku tak berpikir secepat ini atau paling tidak ucapkan kata putus untukku, dengan begitu semuanya lebih baik. Seolah satu beban telah terangkat dari pundakku, meski sakit tapi ini cukup meringankan.

"Selamat pagi,"

Rajendra Johardjo, dia tersenyum padaku seperti biasanya. Aku memandangnya dalam diam. Untuk sesaat aku berpikir, apa aku akan baik-baik saja jika aku di sisinya?

"Kamu habis menangis?"

"Mas, bisa ngomong sebentar nggak?" aku mengabaikan pertanyaannya, kemudian aku langsung menarik lengan Rajendra keluar dari kedai tanpa menunggu persetujuannya.

"Kenapa?" tanya Rajendra penasaran.

"Saya masih tidak mengerti apa sebenarnya tujuan anda dan ibu anda mendekati saya, jika ini soal empat setengah miliar saya mungkin tidak bisa membayarnya secara langsung tapi saya berjanji saya akan membayarnya seumur hidup dengan mencicil, tentu saja," kataku dengan nada memohon.

Aku memandang mata Rajendra dengan serius. Tapi, dia malah membalasku dengan tatapan yang berbeda dari biasanya. Tipis memang, tapi aku sempat menangkap seringai di bibir Rajendra. Tangan Rajendra terangkat dan mengusap pelan kepalaku.

"Jadi kamu benar-benar ingin tahu? Tadinya saya ingin mendekati kamu agar kamu jatuh cinta sama saya dan mau menikah dengan saya tanpa paksaan, tapi sepertinya kamu mengharap jawaban lain," katanya dengan rendah. Membuatku jatuh cinta? Maaf saja, aku bukan gadis naif yang mudah terlena dengan cinta.

"Ayo donk Mas, bisa gak sih jangan bawa-bawa simpenan, menikah dan juga ingin saya," rutukku. Rajendra tersenyum tipis, lalu merapatkan tubuhku padanya. Tangannya menyampirkan anak rambutku ke belakang telinga, lalu ia mendekapku dalam dada bidangnya. Tidak erat, hanya sekedar memelukku. Aku tidak menolak karena aku lebih penasaran soal jawaban dari mulutnya.

"Dengarkan saya baik-baik karena saya tidak akan mengulangnya, saya punya seorang perempuan yang saya cintai, tapi Ayah dan Ibu saya membenci keluarganya karena dendam pribadi, saya sempat berpisah dengannya karena orang tua saya dan orang tuanya berseteru, dan belakangan kami kembali menjalin hubungan di belakang keluarga kami," jelas Rajendra di telingaku.

Ah, masalah perseteruan antar konglomerat ternyata. Ck, siapa wanita itu? Apakah pertunangan Rajendra dan Safira sebelumnya juga termasuk tameng hubungan Rajendra dan wanita itu? Kalau begitu Safira benar-benar beruntung bisa lepas dari Rajendra. Paling tidak, dia tidak terjebak dalam pernikahan yang menyakitinya di masa depan. Berarti ucapan Bu Verani soal Rajendra tidak pernah punya pacar sebelum tunangan dengan Safira itu hanya omong kosong? Tentu, mana mungkin pria seperti Ranjendra single? Karena uang empat setengah miliar mereka dengan mudah membohongiku. Bodohnya.

"Ya berjuang donk biar direstui, situkan laki," tukasku mendongak untuk memandang wajahnya.

"Saya pernah lakukan, tapi keluarga saya tidak peduli dan akhirnya kami berakhir," dari pembicaraan ini pun tampaknya ada hubungannya dengan Ibu Verani yang terus mendesakku. Mungkin keluarga Johardjo tahu hubungan Rajendra dan wanita itu, lalu tidak menyetujuinya dan mereka melemparku dalam cerita rumit ini.

"Lalu apa keuntungan menikahi saya di dalam hubungan Mas dengan perempuan itu apa?" tanyaku.

"Saya bebas bersamanya,"

"Em, jadi intinya saya disuruh jadi istri indosiar?" balasku dengan nada kubuat-buat.

"Istri indosiar?" ulang Rajendra.

"Ya istri lemah tak berdaya," jawabku menarik tubuhku dari pelukannya.

"Percaya sama saya kamu tidak akan menderita seperti di sinetron," katanya dengan santai.

"Apa yang saya dapat? Kalau cuma uang bulanan sih, suruh wanita bayaran saja aktingnya lebih terjamin," responku balik memandangnya dengan berani.

"Kamu lupa kamu membuat saya rugi empat setengah miliar," aku mengalihkan pandanganku darinya. Dia benar, aku lupa jika aku ini sedang dipaksa membayar hal itu. Kenapa sih harus ungkit-ungkit soal empat setengah milliar. Segitu niatnya menekanku.

"Iya iya, diungkit mulu padahal kemarin-kemarin bilangnya ikhlas, saya mau menikah dengan Mas, tapi berhubung harga diri saya lebih dari empat setegah miliar tolong buatkan saya kedai seperti ini, dan rumah kos dua puluh pintu aja atas nama saya," putusku membuatnya melempar tawa tak percaya padaku.

Paling tidak dengan pilihanku ini aku masih bisa bertahan hidup dengan mudah karena punya uang. Investasi masa depan itu penting, untuk aku yang sama sekali tidak mengerti soal cara mengelola perusahan, saham, bisnis dan sebagainya seperti yang di miliki Rajendra, meminta dibuatkan kedai dan kos-kosan itu jauh lebih mudah untukku dibandingkan aku meminta saham ataupun meminta posisi penting diperusahaan sebesar itu. Tapi maaf itu bukan mas kawin yang kuminta, kedai dan kos-kosan itu pelengkap dari empat setengah miliar. Mas kawin nanti beda lagi dong. Tanah satu hektar gitu misalnya.

"Kamu ini lama-lama ngelujak ya?"

"Tidak, saya tidak ngelunjak. Ibu Mas Rajendra kayaknya juga ingin banget saya jadi istri Mas, setelah menikahkan saya juga harus hamil buat kasih dia cucu, Mas pikir rahim saya gratis buat nginep sperma Mas selama sembilan bulan sepuluh hari? Jangan bilang saya keterlaluan saya cuma investasi masa depan hidup saya, anak saya anaknya Mas juga dan adik saya," terangku hanya dengan dua kali tarikan napas.

"Setuju ngga? Kos-kosan sama kedai segitu doang kecil kali kalau inget keuntungan proyek perusahaan Mas yang nol koma lima persennya setara empat setengah miliar," komporku.

"Asal tidak mengganggu urusan saya dengan wanita itu?"

Apa aku berhasil? Dia setuju dengan permintaanku?

"Tergantung, masa kalau dia tiba-tiba datang lalu menginjak harga diri saya dan bertindak seperti pelakor indosiar saya diam saja? Gak kan?" jawabku santai. Ah tidak sesantai yang terlihat sebenarnya, karena dasarnya aku sedang gugup dan berusaha menyakinkan diriku sendiri jika semuanya akan berjalan sesuai arahanku.

Benar, Rajendra akan setuju denganku.

"Kita bicarakan ini lagi nanti,"

"Kalau tidak mau artinya empat setengah miliar ikhlas ya," sela melempar senyum termanis padanya.

Rajendra tak menjawab lalu pergi begitu saja. Seketika senyumanku menghilang. Kakiku lemas dan membuatku jatuh terduduk di atas paving. Rasanya sulit sekali mempertahankan diriku yang berani seperti itu di depan Rajendra. Hari ini, aku berada di titik paling rendah hidupku setelah kematian orang tuaku.

Orang yang aku cintai beberapa saat lalu memutuskan meninggalkanku, sekarang aku baru saja memutuskan masa depanku ke arah yang jelas salah. Sesak rasanya dadaku, seolah-olah kehidupan sedang menuntunku ke arah jalan yang sulit.

Bukan Damage Sugar BabyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang