Di dunia ini hanya dua golongan manusia. Gita menyebutnya golongan resah dan golongan ikut arus. Dirinya adalah golongan yang terakhir. Baginya, menjalani hidup adalah perkara cara melewati hari dari awal membuka mata hingga kembali menutupnya. Tak pernah ada tujuan spesifik salah hidupnya. Rene--di masa-masa awal menjalani bangku kuliah dan masih terpesona dengan segala jargon hedonisme mahasiswa--sering meledaknya dengan mengatakan bahwa Gita ditakdirkan sebagai sapi ternak kapitalis; hidup untuk makan, bekerja, beranak, lalu mati. Dia tak keberatan.
Berbeda dengannya, Rene termasuk dalam golongan resah. Orang-orang yang selalu gelisah tentang segala hal yang terjadi di sekitar mereka. Mata mereka dapat dengan mudah menemukan celah, diskrepansi, setitik penyelewengan atau ketidakseimbangan dalam setiap masalah yang ditemui, dan mereka kerap gatal untuk melakukan sesuatu, untuk mengubah atau sekadar memikirkan solusi. Dari golongan resah ini, ada yang aktif bergerak dan menyuarakan kegelisahannya untuk bisa didengar seluruh dunia, tapi ada pula yang hanya menderita dalam pikiran.
**
Kabut masih mengambang tipis di permukaan halaman sekitar parkiran kampus. Matahari pagi melewati sela-sela dedaunan menciptakan bayangan yang bergerak-gerak gelisah di tanah. Tak lama berselang, gerimis gemricik menetes, sepoi angin cukup mampu menghamburkan butiran air yang menempel di aspal depan kampus.
Seperti biasa Rene dan Gita selalu bersama-sama bak sepasang kekasih, sangat lengket bak perangko. Banyak mahasiswa dan mahasiswi yang mengira bahwa mereka itu berpacaran. Tapi, Rena dan Gita hanya tersenyum membalas semua bisik-bisik dari para mahasiswa yang mengira bahwa mereka pacaran.
"Git, gue taruh sini ya berkas buat acara besok." ucap Rene sambil meletakkan setumpuk kertas di atas lemari dekat pintu ruang sekretariat BEM.
Gita hanya menoleh sekilas ke arah Rene dan mengangguk.
"Eh lu kenapa, Git? Nggak enak badan?" Rene yang tadinya berencana untuk langsung pamit pergi dari sekre mengurungkan niatnya karena melihat ada yang tak biasa dari Gita.
"Nggak kok, Ren. Emang gue kayak lagi sakit?" tanya Gita heran sambil menyentuh pipi dan dahinya. Mengecek apakah hangat atau tidak.
"Cuma nggak seceria biasanya aja, sih. Kan biasanya lu bakal seneng kalau ada orang masuk ke sekre. Lu bakal ngajak obrol, cerita ini itu dengan semangat empat lima. Ngalahin orasinya Bang Rian" Rene memutuskan untuk masuk ruang dan duduk tak jauh dari Gita. Rian adalah ketua BEM Fakultas mereka.
"Yakali disamain sama Bang Rian, orasinya mah garang. Apalagi pas aksi. Gue kalau cerita mana ada garangnya. Yang ada garing, recehnya nggak ada yang paham." Gita menopang dagunya dengan tangan kanan.
"Hahaha. Eh gue nggak bilang gitu, lho. Ngomong-ngomong, kenapa mukanya nekuk dan kusut begitu?." tanya Rene sambil menunjuk muka Gita.
"Lagi ada yang dipikirin aja, sih. Ya biasalah. Butuh waktu menata hati dan menenangkan diri aja."
"Yaudah mending ikut gue yuk, biar pikiran lu tenang" bujuk Rene.
**
Siang yang cerah, Rene dan Gita berjalan menyusuri gang-gang pinggiran kota untuk menuju tempat penjual buku, Rene lebih suka membeli buku-buku bekas dibandingkan dengan buku baru.
Ada beberapa alasan mengapa Rene lebih suka beli buku bekas. Menurutnya, membeli buku bekas dipenjual pinggiran kota akan mendaparkan harga yang lebih murah serta dapat membantu perekonomian pedagang kaki lima.
Hal ini sangat penting untuk seorang yang menyukai membaca buku, tetapi bukan itu alasan utama dia membeli buku bekas di pinggiran kota. Hal yang paling penting mendorongnya untuk masuk ke gang-gang yang terdapat lapak penjual buku adalah, dia sesekali dapat menemukan buku-buku langka yang tidak diproduksi lagi, dan hal itu hanya bisa didapatkan pada lapak penjual buku bekas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jejak langkah Rene
FantasyPerjuangan, dinamika, romansa hingga narasi untuk negeri tersaji dalam antologi cerpen ini.