Suara alarm berbunyi berulangkali. Jari lentikku berusaha menggapainya berniat mematikkan suara bising yang tak henti-henti berbunyi itu. Tapi suara pintu terbuka jauh lebih cepat ketimbang tanganku yang menggenggam alarm. Humb, siapa yang datang pagi begini, tak aku pedulikan yang masuk membuka pintu.
Sementara kamar masih berantakan, aku sesekali menguap lalu perlahan-lahan mulai ingin membenamkan kembali mata yang sempat terbuka lantaran bising alarm.
“Arisya bangun! kamu tidak kuliah hari ini? Perempuan itu bangunnya harus pagi Sa, kamu ini kapan nurutnya!” seru Ayah.
Astaga, astaga ... Ternyata Ayah. Aduh, aku pikir ibu tadi. Yasudah deh dari pada di bentak mending bangun saja, toh sudah pukul 07.45. Cukup telat untuk waktu mata kuliah yang akan dimulai jam 08.30. Pikirku dalam hati, sembari membangunkan tubuh dan mengatur posisi untuk duduk.
“Siap Bos, nih mau mandi.”
Enteng ucapku menjelaskan meski rasa ngantuk terus menyerang. Tanpa basa-basi merapikan tempat tidur. Memasukan beberapa buku ke dalam tas dan perlahan berlari masuk kamar mandi. Sementara dari ujung mataku sempat menangkap bayangan Ayah yang tersenyum simpul sembari melangkahkan kakinya untuk keluar dari kamar.
**
Ting!
Satu notifikasi komentar instagram masuk di ponselku. Kulirik sekilas, tertera nama Rene Januartha yang mengirim komentar.
"Rene?" gumamku. Kuletakan pulpen di belahan tengah buku tugas kuliah, lalu meraih benda hitam empat inchi yang berada di kasur itu dengan terburu.
"Cantik." Tulis Rene menanggapi foto profilku.
Bibir ini tak bisa menahan untuk membentuk lengkung mencipta senyum. Apalagi saat mengetahui pemilik akun Rene Januarta adalah sosok yang aku kenal. Kuamati foto profilnya, ya itu memang dia.
Siapa yang tidak tahu Rene, aktivis tersohor di seluruh penjuru kampus. Namanya akhir-akhir ini menjadi rumpian para ladies--sebutan untuk fans garis keras Rene--dari berbagai jurusan. Ketampanan dan kecerdasannya mampu menyihir sebagian besar kaum mahasiswi.
Hanya satu kata yang ditulisnya pada kolom komentar, tetapi memberi efek luar biasa pada degup jantung di dalam sini. Jari-jariku mulai terasa gemetar, sejenak terpaku dalam bimbang. Apa ini harus kubalas? Keluhku dalam kondisi ke-nervous-an yang masih terkendali. Alhasil, pujian itu hanya menjadi seonggok tulisan yang terlantar.
**
Namaku Arisya Stella Farasya. Teman-teman di kampus lebih senang memanggilku dengan sebutan Sasa. Kata mereka, itu lebih simpel dan nggak berbelit saat buru-buru melafalkannya.
Ini adalah tahun kedua aku duduk di bangku perkuliahan, semester empat. Selama semester satu sampai empat, waktu kuhabiskan hanya untuk fokus kuliah dan mengikuti kegiatan organisasi kemahasiswaan. Sisanya, ngadem di kosan dan pulang ke kampung halaman.
Tak heran memang, banyak teman dekat yang melakukan semacam bullying ringan padaku.
"Sa, lu kan cantik. Gak pengen punya pacar gitu?"
"Nyesel loh ntar kamu, Sa. Banyak yang mau tapi ditolak semua."
"Kuliah bukan cuma belajar, Sa. Ambillah waktu buat kenalan sama calon masa depan...."
Dan bla bla bla masih banyak lagi kicauan mereka yang hanya kuanggap sebagai angin lalu.
Bagiku pribadi, masa sekolah maupun kuliah adalah masa-masa prihatin. Perbanyak belajar, usaha, dan berdoa agar tercapai cita-cita yang memang sedang diperjuangkan.
Banyak hal lain yang bisa dilakukan untuk bersenang-senang. Makan di tempat makan yang baru buka dengan harga terjangkau tapi mengenyangkan, atau menghabiskan waktu di kamar untuk membaca novel-novel kesukaan, misalnya. Itu sudah menjadi surga tersendiri bagiku yang sekadar anak kos-kosan.
Kehadiran Rene membawa angin lain bagiku, dia berhasil menggeser kenyamanan rebahan di kamar dan mengurungkan melahap tumpukan novel di meja kamar saat akhir pekan.
Dering ponsel lebih sering terdengar berbunyi, kami aktif berbalas chat di sela waktu kosong. Membahas banyak hal, termasuk tentang berita-berita yang sedang hits di kampus.
"Sa, besok Sabtu sore gue tanding Futsal di lapangan kampus. Lu datang ya," pinta Rene dengan emot memohon.
"Hah? Sorry deh Ren. Keknya nggak bisa." Jujur saja aku nggak pernah menonton pertandingan futsal di kampus.
"Yaah, pliis. Kasih gue semangat dong."
"Mangats, Renn!" balasku dengan emot tertawa.
"Wkwkwk. Datang pokoknya gue tunggu."
"Hmmm ... nggak janji deh Ren, maaf."
"Sekali ini aja, yaa. Ntar kalau gue menang traktir cilor deh," bujuknya tak mau menyerah.
"Gimana, ya ...." Kukirim emot mikir.
"Ajak sapa kek, Ella atau si Rissa kalo nggak berani sendirian. Datang ya, ke lapangan besok ba'da Ashar."
"Tau deh Ren. Lihat besok aja."
Tak kuhiraukan lagi chat balasan dari Rene, demi apa aku harus datang? Bisa-bisa jadi perhatian seluruh mahasiswa kampus yang sedang nonton. Enggak, aku nggak siap menjadi bahan gosipan para ladies yang menggilai pesona Rene.
Saat hal itu aku ceritakan pada Rissa, dia malah mendukung untuk datang. Bahkan, justru dia yang kelihatan semangat dan bersorak senang.
"Dasar member para ladies, lu!" omelku pada Rissa.
"Dih, emang. Lu kan juga tau Sa, gue ngefans bat sama Rene. Pokoknya besok harus bisa selfie sama Rene."
"Jangan malu-maluin deh, Ris. Enggak jadi ajalah. Malu gue," rengekku agar Rissa memberi dukungan.
"Oh tidak bisa! Percaya sama gue, deh. Gue tau tempat yang rahasia buat nonton tanpa langsung berhadapan sama para ladies." Rissa mengedipkan mata seolah meyakinkanku.
"Di mana?" Kunaikkan satu alis mata.
"Udahlah, besok lu juga tau. Beres pokoknya."
"Awas kalo macem-macem," ancamku dengan mencubit paha Rissa dengan gemas.
"Beres, bosque!"
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Jejak langkah Rene
FantasyPerjuangan, dinamika, romansa hingga narasi untuk negeri tersaji dalam antologi cerpen ini.