BAGIAN LIMA

9 1 0
                                    

“Adi?” perempuan berambut bergelombang itu tersenyum tipis. Aku tahu ada luka di sana, bola mata itu memancarkan luka yang tidak asing lagi. Aku menghela nafas berat sebelum akhirnya menyuguhkan senyuman tipis.

“Aku sayang kamu, Di.”

Lagi, aku tertampar oleh runtutan kalimat yang baru saja terucap. Ini bukan yang pertama, terhitung sudah kesekian kali sejak pertama kali perempuan itu menyatakan perasaannya.

“Dengan siapa pun aku saat ini, hatiku tetap milik kamu. Nanti kalau kamu sudah bisa mencintai aku, aku pastikan bahwa aku akan datang kepadamu.” Menepuk pundakku.

Pada suatu senja, beberapa tahun lalu.

***

“Kita seolah telah sepakat untuk tidak saling menyapa. Hanya sekedar senyuman kecil ketika tidak sengaja bertemu setelah itu kita akan sama-sama berlalu. Aku dengan aktifitasmu dan kamu dengan aktifitasmu.”

Aku tersenyum. Baru saja selesai membuat runtutan kalimat untuk seseorang yang kusebut ‘cinta’. Perempuan itu dengan suksesnya masuk ke kehidupanku. Memberi banyak warna sejak satu setengah tahun yang lalu. Hingga aku sampai pada titik bernama ‘jatuh cinta’.

“Lagi ngapain kamu, Di?” Ghina mendekati. Ikut duduk disebelahku, menikmati suasana kampus sore hari.

Aku tersenyum kecil. “Menikmati senja seperti biasanya.”

“Enggak kerasa ya, Di. Kita sudah mau lulus, tinggal satu semester lagi.”

“Iya, Ghin. Waktu berjalan tanpa terasa padahal aku masih mau di sini.”

Mata kami saling bertemu. Aku tersenyum kecil begitu pun dengan Ghina. Aku bersyukur, kekasih Ghina tidak pernah marah dengan kedekatan kami. Ray paham bahwa kami sudah bersahabat sejak lama. Anak sastra itu tidak membatasi ruang gerak Ghina. Dia hanya berpesan untuk selalu menjaga hati.

“Kamu masih inggat enggak sama janji kamu?”

“Janji apa?” keningku berkerut.

“Kamu mau ngasih tahu, siapa perempuan yang kamu suka,” Ghina melihatku dan aku memilih untuk menghindari tatapan itu, “Aku enggak mau kamu undur-undur lagi, Di. Sudah cukup!”

“Itu enggak penting buat kamu, Ghin.” Berkata kecil.

Andai saja peristiwa itu tidak pernah terjadi. Sudah pasti sejak pertama jatuh cinta aku berbagi kisah dengan Ghina. Hampir seluruh apa yang terjadi dalam hidupku, kubagi dengan Ghina begitu pun dengannya.

“Penting, Di! Aku harus pastikan perempuan itu perempuan baik-baik.” Ada penekanan di sana. Ghina pasti kesal denganku. Dia sudah menanyakan hal ini sejak pertama kali, aku tidak sengaja berkata bahwa aku jatuh cinta.

“Waktu aku jadian sama Ray aku cerita ke kamu. Kamu bilang kamu harus pastikan kalau Ray lelaki baik-baik!”

Aku menarik nafas panjang. Menatap perempuan itu sejenak. Ada raut kesal di wajahnya. Aku tahu ini tidak adil bagi Ghina. Andai Ghina tahu bahwa aku hanya ingin menjaga perasaannya saja. Aku ingin keadaan tetap baik-baik saja seperti ini. Bagaimana pun juga, aku menyayanginya sebagai seorang sahabat.

“Aku sudah tidak mencintai perempuan itu lagi,” menyandarkan tubuh ke kursi sambil menikmati semburat jingga yang akan usai, berusaha bersikap tenang sebisa mungkin, “Untuk saat ini aku belum mau memulai kisah kisah baru.”

“Siapa perempuan itu, Di?” menatap penuh tanda tanya.

Aku hanya tersenyum kecil, tidak tahu harus bagaimana lagi. Semoga jawabanku barusan memuaskan Ghina. Aku sungguh belum siap untuk mengatakan sejujurnya. Semua ini terlalu rumit. Seketika, aku menyalahkan Tuhan yang telah menjatuhkan hatiku kepada perempuan berkacamata itu.

“Siapa perempuan yang pernah membuat kamu jatuh cinta, Di? Aku mau…”

“Ghin. Aku belum siap untuk memulai lagi, aku ingin fokus dengan kuliahku. Apalagi saat ini kita semester akhir,” sengaja kupotong perkataan Ghina, “Kita pulang yuk! Sudah sore.” Aku berdiri, melihat Ghina sebentar sebelum akhirnya berjalan beberapa langkah di hadapannya.

“Ah, kamu menyebalkan, Adi!” gerutunya.

Ghina menyusul langkahku. Ketika langkah kami sudah sejajar, perempuan itu terus saja menggerutu. Katanya, kesabarannya sudah habis untuk menungguku memberitahu siapa perempuan itu. Aku hanya tersenyum kecil sambil terus melangkah. Biarlah dia memukul dan mengomeliku semaunya, itu lebih baik daripada harus jujur. Aku ingin keadaan tetap baik-baik saja.

***

Dari : Gita

Hai Adi, bagaimana kuliah hari ini? Jangan lupa makan malam ya!

Percayalah, bahwa di antara ratusan pesan yang masuk ke ponselku, pesan dari perempuan berkacamata itulah yang paling kunanti. Aku tersenyum kecil membaca pesan darinya. Sederhana namun sangat bearti. Perhatian kecil inilah yang membuatku yakin bahwa kami saling mencintai meski tidak pernah sekali pun kami berucap kata cinta. Biarlah kami saling mencintai diam-diam. Lagi pula, terlalu beresiko jika Ghina tahu hal ini. Tidak ingin keadaan menjadi buruk. Belum sempat kubalas pesan dari Gita. Sebuah pesan baru masuk. Kali ini dari sahabatku.

Dari : Ghina

Di, kamu bilang kamu   takut untuk memulai kisah baru. Apa kamu masih takut jika memulai kisah baru   denganku? Aku pasti akan membahagiakan kamu. Aku akan menempati kata-kataku, memutuskan lelakiku demi kamu.

Mungkin inilah alasan Tuhan tidak pernah menjatuhkan hatiku kepada Ghina. Nyaris tujuh tahun kami saling mengenal namun perasaan bernama ‘cinta’ itu tidak pernah hadir sedikit pun. Jika memang benar dia mencintaiku, kenapa dia berjalan dengan lelaki lain? Kenapa tidak memperjuangkanku? Apakah tatapan cintanya selama ini hanya sandiwara belaka? Bagaimana bisa? Semua begitu membingungkan.

Kutatap langit-langit kamar. Sesekali terdengar suara pesan masuk, entah dari siapa. Aku malas beranjak dari tempat tidur. Ingatanku berputar pada peristiwa dua tahun lalu.

***

Semester empat. Ketika sesuatu bernama ‘cinta’ itu tumbuh.

“Adi, kamu boleh suka sama siapa pun kecuali satu orang,” kata Ghina sambil menikmati eskrimnya.

“Kenapa? siapa orang itu?”

“Gita. Aku enggak suka sama dia. Karena dia aku nyaris mati.”

“Kok bisa?”

Ghina menghentikan gerakan tangannya. Matanya menatap mataku tajam. “Dia lari dan nabrak aku. Aku hampir saja ketabrak sama mobil dan kamu tahu? Yang punya mobil maki-maki aku. Bilang aku sengaja ke tengah biar ketabrak terus dapat uang. Aku dibilang enggak punya mata. Ih, pokoknya aku sebel banget sama Gita!”

Aku tertawa kecil. Perempuan itu tidak berubah dari dulu.

“Kamu janji ya?” katanya sambil menyodorkan jari kelingking. Aku tersenyum sambil mengangguk, kemudian ikut melakukan apa yang dia lakukan.

***

“Suka nulis juga?” tanyaku kepada seorang perempuan berkacamata. Seorang mahasiswa sastra dan terkenal cuek dan pendiam.

Perempuan itu mengangguk, “Kamu juga suka?”

“Iya,” kataku, “Kenalin aku Adi.”

“Aku Gita.” Ikut tersenyum.

End

Jejak langkah ReneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang