"Segala apa yang disematkan dalam juang pun doa tiada lengang perhatian semesta, diselipkannya kemudahan-kemudahan dalam segala gerak sekalipun yang sepersekian inci yang kelak merekah di setiap sudut-sudut bumi."
**
Kemilau senja yang keemasan jatuh diatas kertas. Aku sedang menulis surat---isinya akan kuceritakan nanti. Kupandang perahu-perahu milik nelayan di kejauhan, cakrawala berwarna emas. Kubaringkan tubuh diatas pasir dan kutatap senja keemasan yang cahayanya telah menyepuh gelombang ombak yang menggulung dengan pasti.
Aku berada di tepi pantai, tempat paling tepat untuk merayakan kesendirian. Tidak ada gedung-gedung bertingkat layaknya di kota, dan kehidupan berjalan tidak seperti mesin disini. Setiap hari ada senja, tapi tidak setiap senja adalah senja keemasan, dan setiap senja keemasan itu tidaklah selalu sama.
Kutatap senja keemasan itu dengan perasaan yang rawan. Aku tidak mengerti, mengapa hatiku selalu merasa rawan setiap kali senja tiba. Senja ini juga membuat hatiku rawan. Apakah karena senja selalu seperti sebuah perpisahan?
Senja begitu cepat berubah, memberikan pesona yang menghanyutkan, sebentar, lantas meninggalkan bumi dalam kelam. Senja begitu indah, tapi juga begitu fana--apakah segala sesuatu dalam kehidupan ini memang hanya sementara?
Setiap kali senja yang keemasan terbentang di depan mataku, aku berkutat mengabadikannya dalam diriku. Waktu kecil aku sering bertanya kepada diriku sendiri jika senja yang keemasan itu tiba; mengapa senja tidak bisa abadi di sana, seandainya dunia ini berwarna emas, mengapa kita harus menunggu kematian untuk sampai ke surga?
"Kamu sedang menatap senja itu, ya?"
"Ya, aku sedang menatap senja itu, lihatlah cahayanya, langit..."
Maka kemudian, kami bercerita tentang senja yang keemasan itu. Ia bercerita begitu banyak kenangannya dengan senja yang keemasan. Ternyata pemandangan senja bisa menghubungkan seseorang dengan kenangan-kenangan dalam hidupnya. Wanita itu misalnya, bercerita betapa bila senja tampil keemasan, ia akan selalu teringat ketika...
Tunggu dulu, apakah aku punya kenangan dengan senja, yang keemasan maupun yang bukan keemasan?
Entahlah. Mungkin ada. Tampaknya ada. Tapi, aku mungkin hanya sedang lupa. Mungkin sedang tidak ingin mengingatnya. Setiap kali memandang senja, begitulah, aku merasa rawan, merasa sendu, seperti ada sesuatu yang membahagiakan, tapi segera menghilang.
"Kita ketemu lagi nanti, oke?"
"Oke, bye!"
Aku juga mengucapkan kata yang sama artinya dengan bye atau selamat tinggal. Dia pergi, hubungan terputus. Ya, bahkan percakapan paling romantis pun mesti bersedia untuk terputus. Janji sudah dibuat. Hidup sudah dijadwal. Masih untung ada sepotong waktu untuk sepotong senja. Untuk sepotong kenangan, untuk sepotong bayangan yang bermain-main di kepala. Hidup barangkali memang hanya sebuah bayangan, suatu ilusi.
Bumi berputar, cakrawala yang tadinya keemasan perlahan mulai menghilang, menggantikan kelam yang tak tertahankan. Matahari kembali ke peraduan, digantikan bulan untuk memimpin malam. Aku masih di tepian pantai, masih berusaha melupakan kenangan-kenangan yang bersarang di dalam kening.
***
Perjalan pulang selepas penat dengan tumpukan deadline memang selalu menenangkan terlebih ini adalah akhir pekan dan aku tak harus mandi pagi esok hari. Rasanya seperti menemukan ujung pada benang kusut, belum selesai urusan, namun setidaknya cukup jadi langkah awal penguraian.
Malam itu, di tengah udara dingin Kota Serang yang semakin kuat seiring bergesernya jarum pada jam analog di pergelangan tangan. Pikiranku berkutat pada banyak hal yang saling bergantian mengambil atensi. Mood yang tiba-tiba sendu beriringan dengan gerimis yang mulai terdengar riuh di luar sana.
Aku mengecek handphone ku yang sedari tadi bergetar kecil, menandakan pesan yang masuk bergantian.
"Tumben gak nimbrung di grup sebelah"
Pesan masuk pada notifikasi teratas, menunjukan nama yang familiar. Benar juga, hari ini rasanya begitu padat sampai tidak sempat membuka gawai. Lebih tepatnya terlalu malas untuk sekedar mengikuti ramainya jagat maya.
"Hmm lagi males aja" jawabku sekenanya.
Ahh sepertinya dia faham aku sedang tidak dalam mood yang baik. Tentu dia tahu betul aku lebih pasif ketika mood ku buruk, berbeda sekali ketika mode cerewet ku sedang on.
Pada akhirnya aku dengan perlahan memulai percakapan asal, walau tak terlalu asal jika ditilik dari mana mula pikiran dari topik itu berasal. Mencoba membagi cerita dengan sahabat ku itu.
"Sadar ga sih, kayak nya manusia lebih sering menduga-duga dari pada berusaha buat memastikan. Padahal kita punya pilihan buat dapet yang pasti, tapi malah lebih milih terjebak sama angan sendiri." Ketik ku membuka obrolan random lainnya malam itu.
"Maksudnya, kan bisa aja kita menyampaikan apa yang kita rasain atau pikirin secara langsung. Tapi dengan pengecutnya malah dipendam dan pada akhirnya cuma bisa menduga-duga." lanjutku.
"Hmm emang apa yang lagi dipendam sampe segitunya takut menduga?" tembaknya tiba-tiba, dan sialnya tepat sasaran.
Kadang aku berfikir apa mungkin dia ini sebenarnya cenayang atau orang dari masa depan, karna hanya dengan ketikan saja ia mampu 'membaca' pikiran bahkan perasaan lawan bicaranya. Hmm tapi sepertinya tidak juga, mengingat ini sudah tahun ke 5 kita menjadi sahabat. Tentu sudah tak asing untuknya menghadapi cerita dan pikiran randomku, seperti malam ini. Terkadang aku merasa ia yang lebih mengerti situasi hidup ku dibanding sang empunya sendiri.
"Hmm bukan sengaja dipendam juga sih, cuma kan kesempatan buat menyampaikan itu ga selalu ada. Entah karna waktunya yang ga pernah tepat, atau emang karna ga siap sama resiko sesudahnya." jawabku dengan jujur.
"Ya kalau kita ga siap buat nerima resiko karna mengungkapkan, kita bakal selamanya nerima resiko karna ga mengungkapkan. pada akhirnya kita dihadapkan dua pilihan itu. Tinggal resiko mana yang mau kita ambil" ungkapnya realistis.
"Terus baiknya gimana?"
"Sampein!"
"Kalau responnya mengecewakan gimana?"
"Ya resiko! Bukannya kecewa itu lebih pasti dari pada berharap sesuai angan kita terus-terusan? eh taunya cuma dugaan delusi pribadi haha" Balasnya santai yang sepertinya masih berlanjut, karna ia belum selesai mengetik.
"Merangkai dugaan itu ga salah, sama hal nya dengan memupuk harap. Itu hak kita. Tapi harus siap juga kalau sewaktu-waktu itu semua berbalik dan menyisakan kita dengan kekecewaan yang sebenernya kita sendiri yang ciptain. Pada akhirnya perasaan kita, kita sendiri yang bertanggungjawab kan?" Lanjutnya cukup serius, membuat ku merekonstruksi cara berpikir ku saat itu.
Malam itu, entah mengapa rasa tenang dan sesak yang bercampur membawa ku pada suatu kesimpulan baru. Bukan, bukan artinya aku akan dengan lantang mengungkapkan. Tapi pemaknaan ku pada angan dan harapan mulai bergeser.
Kita memang tidak selalu siap dengan respon orang lain. Angan kita, kita yang atur. Tapi pikiran dan perasaan orang lain tidak demikian. Agaknya ada harapan yang jika ia terus ditanam, ia akan menggerogoti ruang nyata, memenuhi bilik-bilik nya dengan angannya sendiri. Maka pada yang demikian, tak masalah jika secepatnya dihentikan. Menggantinya dengan kenyataan yang bisa jadi menyenangkan atau mengecewakan. Lagi pula, bukannya berharap kepada selain Tuhan itu kecewa yang tinggal menunggu giliran, cepat atau lambat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jejak langkah Rene
FantasyPerjuangan, dinamika, romansa hingga narasi untuk negeri tersaji dalam antologi cerpen ini.