12. Twilight and Orange

143 31 188
                                    

Seperti senja yang datang bersama jingga, indah tetapi tidak bisa dimiliki. Hanya bisa dipandang, namun tidak bisa digapai. Seperti aku yang kagum dengan kamu, tapi aku nggak bisa ngomong secara langsung tentang semburat jingga yang aku pendam. Kamu indah, tapi punya dunia yang lain.
.
.
.
















"Udah agak mendingan?"

Haruto, laki-laki bertubuh tinggi itu bersuara, menyunggingkan senyum manis khas dirinya. Sembari meletakkan mangkuk putih di meja, Haruto mengambil posisi duduk di kursi. Ditatapnya wajah pucat gadis bermata sipit yang sedang terbaring di atas brankar rumah sakit.

Sudah 2 hari Yerim berada disini. Gadis bermarga Kang itu dirawat karena sakit.

Bukan untuk pertama kalinya bagi Yerim dirawat dan merasakan denyut nadi yang terasa sakit karena harus beriringan dengan jarum infus. Sejak 1 tahun terakhir Yerim sering mengunjungi rumah sakit. Sekadar memeriksa kesehatan diri yang terlalu lemah. Yerim mengidap penyakit asma dan sering kambuh secara tiba-tiba.

Kang Yerim, gadis bermata sipit tersebut lahir dengan penyakit asma yang di deritanya. Namun, entah mengapa penyakit asma yang ia derita terasa semakin parah sejak 1 tahun terakhir. Yerim sering kambuh di sekolah dan berujung pulang terlebih dahulu.

Sorot mata itu beralih menatap wajah tampan dengan hidung mancung milik Haruto. Tersenyum tipis dengan bibir pucat. Setidaknya Yerim merasa bersyukur karena Tuhan masih memberi kesempatan padanya untuk melihat wajah itu.

"Aku baik-baik aja. Kamu udah makan?"

Haruto menggeleng sebagai jawaban. Menatap wajah Yerim lembut dalam hening.

"Jangan sakit lagi, aku nggak mau lihat kamu sakit."

"Haru..." panggil Yerim lembut.

Kedua alis Haruto terangkat, membalas tatapan Yerim. "Ya?"

Perlahan, tangan lemah Yerim bergerak. Merambat, menggenggam lembut jemari tangan Haruto sambil tersenyum manis. Senyuman yang penuh arti, namun Haruto sendiri tidak tahu apa maksudnya.

"Jangan jauhi aku lagi."

Suara detak jantung jam dinding yang ada dalam ruang rawat tersebut masih terdengar. Memecah fokus Haruto, kemudian beralih membalas tatapan mata Yerim. Tergambar jelas ekspresi datar dengan senyum yang perlahan menghilang. Haruto diam seribu bahasa.

Terkadang, ada waktu dimana Haruto ingin pergi dari dunia. Ingin rasanya Haruto menghilang untuk sesaat, kemudian kembali tanpa tersesat. Membiarkan waktu yang terus berputar tanpa berniat untuk berhenti sebentar. Untuk memberi jeda pada luka yang entah kapan akan selesai.

Dunia Haruto terasa kelabu, nyaris menghitam. Tubuhnya beku, bungkam tanpa berucap sepenggal kalimat. Karena sumpah, Haruto tidak tahu dia sedang berada di dunia seperti apa saat ini. Haruto tersesat, tidak tahu harus ke mana.

"Haru." Suara Yerim kembali terdengar. Haruto sedikit terhenyak, menatap Yerim bingung.

"Ada apa?"

"Kamu ngelamun? Lagi mikirin apa?"

"Nggak ada kok," jawab Haruto singkat. Menampilkan senyum terpaksa.

"Aku nggak mau kamu jauhi aku lagi, Haru. Aku takut."

"Yerim---"

Ah, sialan. Kenapa disaat seperti ini Haruto tidak bisa mengambil keputusan? Ada saja halangan ketika Haruto ingin berucap dengan jujur. Haruto juga ingin melihat dunia luar seperti pemuda lainnya.

[✓] MONOCHROME (TELAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang