Seperti matahari yang terbenam, kemudian bersinar kembali tanpa syarat. Aku berharap kamu selalu tersenyum layaknya senja yang datang bersama jingga.
.
.
.
Angin bulan September masih menyapa, menemani aku dan mereka semua melalui hari sampai detik ini juga. Berhembus pelan, membiarkan aku memejamkan mata untuk merasakan hangatnya suasana senja yang jingga. Langit kini berubah menjadi jingga, memberikan warna kemerahan yang indah.Aku suka suasana itu. Aku suka dengan senja yang datang bersama jingga. Warna yang terlihat cantik nan indah untuk melebur menghiasi cakrawala. Semburat kemerahan yang mampu membuatku takjub atas keindahan Tuhan untuk kesekian kalinya.
Aku tertegun. Seharusnya aku menjadi pribadi yang lebih bersyukur. Menjadi manusia yang lebih baik dari sebelumnya. Setidaknya aku merasa bersyukur karena Tuhan masih membiarkan aku melihat keindahan karya milikNya. Membiarkan aku menghirup oksigen di bumi yang terkadang sesak.
Lelahku seharusnya tidak menjadi putus asa, melainkan dijadikan motivasi untuk terus menghadapi hari. Terkadang memang sulit, tetapi harus tetap berjuang.
Suara kicauan burung mengalihkan fokusku. Sorot mata cokelat milikku menatap kagum burung-burung yang terbang berbondong-bondong — pulang kembali dimana tempat mereka berada. Karena mereka juga tahu kapan waktunya pergi, juga tahu kapan waktunya untuk kembali. Bukan pergi tanpa pamit, menghilang tanpa kabar, kemudian kembali tanpa permisi.
Seperti dia yang hilang entah kemana, terbang bersama kalimat dusta yang menyatu dengan angan. Membumbung tinggi hingga tiba di angkasa, lalu hilang tanpa jejak.
Lagi. Kutatap air sungai Han yang terlihat begitu bening juga kemerahan akibat pantulan matahari yang sebentar lagi tenggelam.
Tuhan memang begitu hebat. Menciptakan mahakarya seindah senja dengan semburat jingga di langit, menghiasi cakrawala yang terbentang luas. Sungguh mahakarya yang begitu indah dan sempurna untuk dilihat.
Rasanya nyaman dan damai.
Suara angin kembali terdengar. Berhembus pelan menyisir sungai Han yang tampak tenang. Samar-samar kudengar suara kak Yedam bernyanyi, hanya sebuah lagu dengan nada dasar, tetapi terdengar begitu indah. Aku mengangguk pelan, sedikit mengukir senyum dan membenarkan kalimat pujian yang dilontarkan masyarakat sekolah.
Ada banyak kalimat pujian yang di dapat kak Yedam. Mulai dari dia yang terkenal karena pintar, juga dengan bakat seni yang menakjubkan. Memiliki suara merdu adalah suatu keajaiban besar bagiku. Hanya mendengar kak Yedam menyanyikan nada Do re mi sudah cukup membuat diriku terpaku.
Indah, sungguh.
Kami — aku dan kak Yedam berdiri di pinggir sungai Han. Tidak ada yang kami lakukan, hanya berdiri melihat air sungai yang tenang.
Ah, lupa. Kak Yedam mengajakku singgah disini karena untuk menunggu matahari terbenam. Katanya, menikmati suasana senja ditemani jingga bisa membuat nyaman.
Sungguh, kak Yedam tidak berbohong. Aku bisa melupakan Haruto dan menenangkan pikiran yang terasa penat. Hanya dengan menghirup hangatnya udara sore saja cukup bagiku untuk merasa nyaman.
"Kamu pernah ke sini?" tanya kak Yedam membuka suara. Setelah 20 menit sama-sama terhanyut dalam hening, akhirnya kak Yedam memberanikan diri untuk memulai topik pembicaraan.
Aku menoleh ke arahnya yang masih menatap lurus ke depan. Rahang tegas yang membuatku hanyut dalam tatap.
"Sering, tapi nggak pernah lama. Cuma mampir sebentar, terus pergi tanpa nunggu senja."
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] MONOCHROME (TELAH TERBIT)
Fiksi Penggemar"Teruntuk kak Yedam, laki-laki penyuka hujan dan Pinokio. Laki-laki yang mengaku tinggal di dunia Monokrom, tetapi mampu memberi warna di hidupku." °°°°° Jika Tuhan mengizinkan, aku ingin mengenal lebih dekat hujan. Aku ingin belajar bersama hujan y...