Untuk saat ini atmosfer semesta tampaknya sedang tidak baik-baik saja. Semesta sedang tidak ingin bercanda perihal dinding penghalang antara bumi dan langit. Kali ini semesta benar-benar tidak ingin tertawa dalam jarak yang terbentang, juga tentang kenyataan yang ada dalam garis takdir. Kembali membuat tamparan keras bagi sosok gadis cantik yang kini diam dengan rasa cemburu.
Ego nya kembali meluap dengan gemuruh sesak yang kian berdesak-desakan. Menyelimuti dirinya yang kini dilanda dusta. Sosok yang selalu berhasil membuatnya tersisihkan, kemudian berujung terlupakan. Lantas dirinya semakin serakah untuk tetap berdiri di tempat yang salah dan membuatnya marah akan takdir semesta.
Bukan tentang bagaimana dirinya yang terus tersakiti namun tetap berusaha tersenyum, bukan juga tentang sosok dia yang menjadi alasan baginya untuk bertahan. Ini hanya sebuah rasa dari daksa, kemudian berubah menjadi rindu dari kalbu, lalu tinggal tanpa tahu untuk berlalu. Dan jika boleh jujur, dirinya juga bosan menjadi benalu seperti ini. Tidak. Lebih tepatnya pengganggu yang menjadi pemicu perdebatan antara sepasang kekasih.
"Kamu ngapain terima telepon dari handphone aku?!"
Kalimat yang terdengar sarkas bahkan suara berat khas pemuda berdarah Jepang itu naik beberapa oktaf. Matanya melotot, merampas kasar handphone miliknya dari genggaman gadis ini. Bahkan, urat-urat lehernya ikut mencuat keluar yang menandakan bahwa Watanabe Haruto sedang marah. Dia tidak suka.
Tatapan mata gadis itu tak hentinya memperhatikan Haruto yang terlihat tidak baik-baik saja. Lelaki bertubuh tinggi tersebut sedang asyik mengotak-atik benda persegi dalam genggamannya. Sesekali terlihat menempelkan benda tersebut di telinga. Dia sedang menelepon, namun tak kunjung mendapat jawaban.
"Sayang, aku mohon angkat teleponnya. Aku mau ngomong sebentar, sayang. Tolong jangan salah paham."
Bahkan, disaat seperti ini Yerim masih merasa kesal akan kalimat yang baru saja ia dengar. Untaian kalimat permohonan dari pemuda yang selama ini menjadi alasan baginya untuk bertahan, tetapi enggan untuknya pergi meninggalkan. Karena demi Tuhan, Kang Yerim sangat mencintai Haruto tanpa peduli siapa pemilik hatinya.
Ternyata selama ini Yerim baru tahu bagaimana rasanya melihat dia bersama yang lain. Bagaimana sakitnya melihat dia yang sangat takut kehilangan sosok semesta yang ia punya. Sakit, sumpah. Yerim benar-benar tidak berbohong akan hal itu. Bahkan, dadanya terasa sesak melihat wajah kusut Haruto, juga kecewa mendengar kalimat yang Haruto kirimkan lewat sebuah pesan suara.
Haruto begitu cemas akan gadisnya yang marah. Haruto terlihat frustasi kala nomor telepon Jung Ara tidak bisa dihubungi. Terlihat kalut dan sangat menyayat hati Yerim saat ini.
Saat ini dia bertanya, kapan Haruto merasa cemas seperti itu padanya? Kapan Haruto takut jika Yerim marah ketika dirinya tidak mengabari? Dan kapan Haruto tersenyum bahagia ketika bersamanya?
Tidak. Jika kalian mengira Haruto terlihat bahagia ketika bersamanya, maka kalian salah besar. Haruto merasa sangat tersiksa dan Yerim tahu itu. Namun, itu tidak menjadi alasan untuk Yerim menjauh dari bayang-bayang Haruto. Yerim semakin haus untuk selalu bersama Haruto dan tidak ingin anak laki-laki itu pergi jauh darinya.
Bolehkah Yerim merasa cemburu jika Haruto lebih peduli terhadap Ara? Bolehkan Yerim marah ketika Haruto diam-diam mengirim pesan singkat ketika sedang bersamanya? Atau bolehkah Yerim terus menjadi benalu antara Haruto dan Ara hingga keduanya lelah dan berpisah?
"Kamu kenapa-"
"Aku minta maaf, Haruto." Entah apa yang harus Yerim katakan kepada Haruto selain kata maaf. Hanya menyela ucapan Haruto, berharap pemuda bermarga Watanabe tersebut meredam amarah.
"Aku benar-benar menyesal dan minta maaf karena udah buat Ara marah. Aku minta maaf karena buat kamu kecewa. Aku emang egois." Kedua mata Yerim menatap Haruto lurus, kemudian menundukkan kepala guna menyembunyikan bulir bening yang kian menumpuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] MONOCHROME (TELAH TERBIT)
Fanfiction"Teruntuk kak Yedam, laki-laki penyuka hujan dan Pinokio. Laki-laki yang mengaku tinggal di dunia Monokrom, tetapi mampu memberi warna di hidupku." °°°°° Jika Tuhan mengizinkan, aku ingin mengenal lebih dekat hujan. Aku ingin belajar bersama hujan y...