31. Sorry For Our Last Day

120 16 72
                                    

Pukul 9 malam.

Jalanan kota Seoul masih tetap sama seperti beberapa jam yang lalu, masih terlihat ramai oleh masyarakat yang berlalu-lalang pergi. Mereka yang baru saja pulang dari kantor atau hanya sepasang muda-mudi yang asyik menghabiskan waktu bersama-sama. Terdengar begitu manis hingga membuat senyumku ini mengembang, sedikit. Hanya sebuah senyum tipis, kemudian membuat sepotong memori itu kian menjadi, menembus pikiranku yang sedang dilanda kacau saat ini.

Suara deru kendaraan umum dan pribadi, juga hiruk-pikuknya mereka yang berada disekitar. Membiarkan aku hanyut dalam tatap, memperhatikan setiap inci pergerakan bumi dan sekitarnya. Menorehkan sebuah mahakarya seindah pelangi setelah hujan, lalu membuat sebuah kenangan yang berlalu secara sepihak.

Hembusan napas berat kembali terdengar mengisi udara yang kulalui. Menari di atas sana bersama udara malam yang dingin.

"Gimana? Masih bad mood?" sedikit berteriak, Dobby memperlambat laju motornya. Sedikit membuatku terkejut karena terlalu asyik bergulat dengan pikiran.

Aku mencondongkan kepala ke depan, membawa kepala ini berada di perpotongan leher milik pemuda Kim tersebut.

"Apa? Aku nggak dengar," kataku, setengah berteriak. Karena jujur, aku memang tidak bisa menangkap apa yang baru saja Dobby katakan padaku. Mungkin ini karena efek suara kendaraan atau suara mesin motor Dobby yang bertabrakan dengan udara malam.

Anak laki-laki berpipi chubby itu terkekeh kecil dari balik kaca helm. Melirik aku sekilas melalui kaca spion.

"Masih sedih nggak?" tanya Dobby disela tawa.

"Sedikit..." kataku.

"Mau es krim choco mint lagi?"

"Eh?"

Aku terbelalak kaget mendengar tawaran Dobby. Pasalnya, anak itu sudah membelikanku es krim begitu banyak. Bahkan, kurasa perut ini sudah penuh sampai membuncit. Katanya, dia sengaja membelikanku banyak es krim agar merasa sedikit tenang. Dirinya juga memberitahuku bahwa es krim bisa mengobati rasa sedih selain cokelat. Lucu.

"Kamu mau buat aku gendut, Dob?"

"Hah? E–enggak gitu, Ra." Dobby terkekeh kecil. Aku tergelak di belakangnya, memperhatikan punggung tegap milik pemuda berwajah imut tersebut.

Dobby benar-benar menghiburku dengan caranya sendiri. Laki-laki penyuka seni tari itu sangat mengetahui bagaimana cara untuk membuatku tersenyum kembali. Melalui untaian kalimat singkat dibalut wajah lucu tersebut cukup menjadi alasan mengapa aku bisa seperti sekarang. Membuatku tersadar betapa besar pengaruh dirinya bagiku. Dobby sangat penting dalam keadaan sekitarku yang sedang dilanda kacau. Khususnya untuk sekarang.

Entahlah. Saat ini aku tidak membutuhkan apapun selain kesendirian. Aku hanya ingin menikmati waktu bersama dengan diri sendiri, entah itu untuk terdiam dalam hening atau bahkan merenungi semua kehampaan yang sedang ku alami. Aku butuh waktu sebentar untuk beristirahat sejenak, membiarkan luka terkikis secara perlahan namun tidak sedikit pergi dalam benak. Lukaku masih sama seperti hari ini dan kemarin, masih tetap sama juga dengan nanti dan keesokan harinya.

Ah, sial. Perihal hubunganku dengan dirinya yang hancur lebur dalam sekejap cukup menorehkan garis luka kembali. Padahal, luka yang lama saja belum sembuh.

Lucu bukan? Semesta seakan memporak-porandakan hatiku dalam sekejap mata. Namun, kurasa takdir Tuhan lah yang menjadi alasan mengapa demikian. Mengetahui fakta bahwa aku dan Haruto putus tanpa alasan pasti, juga hubungan kami yang kandas di tengah jalan.

"Hari Minggu mama ngajak kita pergi hangout bareng. Sekalian beli cincin tunangan juga. Aku udah bilang sama Ayah dan Bunda. Ah lupa, kak Jaewon juga."

[✓] MONOCHROME (TELAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang